Alat pendeteksi Covid-19 buatan UGM, GeNose C19, perlu terus dikembangkan agar kian memiliki hasil yang akurat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski GeNose C19 telah mendapat izin edar, kualitas alat pendeteksi Covid-19 melalui embusan napas ini terus dikembangkan mengingat cara kerja alat ini berbasis sistem kecerdasan buatan. Dari sisi industri, pihak swasta juga perlu menjaga kualitas GeNose C19 karena akurasi dari alat ini juga sangat menentukan program pemeriksaan, pelacakan, penelusuran, dan perawatan atau disebut 4T.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, kualitas GeNose C19 yang cara kerjanya berbasis sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan semakin baik jika terus dilakukan perbaikan dari sisi perangkat lunak maupun data yang digunakan. ”Artinya, kita tidak boleh berpuas diri dengan jenis GeNose yang keluar sekarang, tetapi harus terus dilakukan upgrade atau perbaikan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”GeNose Inovasi Teknologi Kemandirian Alat Kesehatan Anak Bangsa”, Jumat (15/1/2021).
Pada saat bersamaan, ia mengingatkan agar industri yang terlibat benar-benar menjaga kualitas produk yang nantinya akan didistribusikan ke masyarakat. Bambang mengatakan, Kemenristek terus membuka peluang kepada semua pihak untuk mengembangkan alat penyaringan Covid-19.
Saya lihat dari uji klinisnya memang belum melihat pada pasien dengan komorbid, terutama penyakit paru. (Agus Dwi Susanto)
Alat yang dikembangkan perlu memperhatikan sejumlah kriteria, seperti mudah dan nyaman digunakan, harga terjangkau, serta memiliki akurasi tinggi. Semua kriteria tersebut bertujuan untuk tidak memberatkan masyarakat.
Sebelumnya, GeNose C19 yang dikembangkan peneliti Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini telah mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 24 Desember 2020. Dalam uji validasi, alat ini juga diklaim memiliki tingkat sensitivitas 92 persen dan tingkat spesifisitas sekitar 95 persen. Namun, alat ini ditujukan untuk penyaringan atau deteksi cepat Covid-19 dan tidak digunakan sebagai pengganti diagnosis dari tes usap reaksi rantai polimerase(PCR).
Saat ini, GeNose C19 juga telah mulai diproduksi secara massal dengan target mencapai 5.000 unit pada Februari 2021. Alat ini juga ditargetkan bisa diproduksi kembali sampai 10.000 unit pada Maret 2021 dan disiapkan untuk diproduksi sampai 40.000 unit. Setiap pemeriksaan menggunakan GeNose diperkirakan butuh biaya Rp 15.000-Rp 25.000 (Kompas, 8/1/2021).
Ketua Tim Pengembang GeNose C19 Kuwat Triyana mengatakan, sistem GeNose C19 yang berbasis AI diharapkan dapat digunakan sebagai penyaringan Covid-19 dengan data yang valid. Setelah deteksi dipastikan kembali menggunakan tes PCR, data tersebut nantinya akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan sistem AI yang ada di GeNose C19.
”Terkait dengan data analisis dengan sinyal normal, kami mendapatkan 89 persen sensitivity dan 96 persen specificity. Ini merupakan suatu titik awal yang kami lakukan dan nanti akan terus ditingkatkan atau perbaiki dari aspek parameter ini dengan menggunakan sampel terkonfirmasi valid berstandar PCR,” tuturnya.
Sumber embusan
Ketua Persatuan Ahli Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, dalam perkembangan ilmu penyakit paru sepuluh tahun terakhir, deteksi non-invasif dengan embusan napas memang menjadi tren yang semakin maju. Namun, terkait dengan GeNose yang mendeteksi partikel volatile organic compounds atau senyawa organik mudah menguap, ke depan perlu dilihat sumber embusannya.
”Sumber ini bisa dari eksternal melalui polusi atau rokok dan pengaruh internal penyakit dasar yang diidap seseorang. Sumber-sumber tersebut tentu akan memengaruhi hasil. Saya lihat dari uji klinisnya memang belum melihat pada pasien dengan komorbid, terutama penyakit paru. Jadi, riset pemasaran ke depan tentu harus lebih luas untuk bisa mengurangi bias dari pasien dengan komorbid,” katanya.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menambahkan, penerapan GeNose C19 perlu memastikan tidak ada kontaminasi mengingat Covid-19 memiliki tingkat penularan yang tinggi. Artinya, penularan yang terjadi saat pengujian satu sampel dengan sampel lainnya benar-benar harus bisa dihindari.
Selain itu, terkait dengan pengembangan ke depan, Amin menilai perlunya mempertimbangkan kondisi cuaca dan iklim di Indonesia yang merupakan negara tropis. Oleh karena itu, perlu dipastikan apakah kelembaban suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat memengaruhi stabilitas GeNose C19 dalam mendeteksi Covid-19.