Anemia Remaja Tinggi, Perlu Modifikasi Pemberian Tablet Tambah Darah
Konsumsi tablet tambah darah untuk mencegah terjadi anemia pada remaja dikhawatirkan menurun pada masa pandemi. Padahal, anemia pada remaja sangat tinggi. Ini memerlukan modifikasi pemberian tablet tambah darah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program pemberian tablet tambah darah yang secara rutin diberikan setiap minggu di sekolah terkendala dengan penerapan pembelajaran jarak jauh. Modifikasi dalam pemberian tablet darah ini diperlukan untuk memastikan remaja putri tetap mengonsumsinya. Hal ini penting untuk mencegah peningkatan risiko anemia yang dapat berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia pada masa depan.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang juga pakar kesehatan dan gizi ibu, anak balita, dan remaja, Endang L Achadi, mengatakan, angka kejadian anemia di Indonesia, terutama pada remaja dan ibu hamil, cukup tinggi. Dalam jangka pendek, anemia dapat berpengaruh menurunkan konsentrasi belajar dan mudah terinfeksi penyakit infeksi. Pada jangka panjang, remaja dengan anemia berisiko mengalami gangguan pada kehamilan serta melahirkan anak dengan gizi buruk.
”Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan kekurangan zat besi. Mengapa? Ini karena pola makan pada sebagian besar penduduk berisiko menyebabkan defisiensi besi,” katanya di Jakarta, Kamis (14/1/21).
Ia mengatakan, sumber zat besi yang baik dari pangan hewani, sementara bahan makanan sebagian besar penduduk Indonesia berasal dari nabati. Padahal, zat besi dari nabati lebih sulit diserap oleh tubuh,
Dari Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi anemia pada usia 15-24 tahun sebesar 32 persen. Itu naik hampir dua kali dari tahun 2013 yang tercatat sebesar 18,4 persen. Selain itu, prevalensi anemia pada ibu hamil juga meningkat dari 37,1 persen pada 2013 menjadi 48,9 persen pada 2018.
Menurut Endang, tingginya tingkat anemia pada remaja dan ibu hamil membuat konsumsi tablet tambah darah menjadi sangat penting. Anemia sebenarnya bisa diatasi dengan mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, termasuk pangan hewani. Namun, kandungan pangan harian penduduk Indonesia rendah pangan sumber hewani yang kaya zat besi.
Tablet tambah darah (TTD) adalah suplemen yang berisi zat besi dan asam folat yang berfungsi membantu membentuk hemoglobin darah untuk mencegah terjadi anemia. Pada TTD terkandung beberapa jenis zat besi dan asam folat.
Pemantauan akan didorong melalui pemanfaatan aplikasi Ceria dan Buku Rapor Kesehatanku.
Karena itu, tablet darah ini amat penting untuk dikonsumsi oleh remaja, wanita usia subur, calon pengantin, serta ibu hamil dan nifas. Seorang perempuan dinyatakan mengalami anemia jika konsentrasi hemoglobin di dalam sel darah merah kurang dari 12 gram per desiliter (g/dL).
Kepala Seksi Masalah Gizi Mikro Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Yuni Zahraini mengatakan, pemerintah telah menggalakkan program pemberian TTD bagi remaja di sekolah. Namun, tingkat konsumsi TTD ini masih rendah.
Meskipun dari data pada 2018 ada 76,2 persen remaja 10-19 tahun pernah memperoleh TTD pada 12 bulan terakhir, hanya 3,7 persen yang mendapatkan TTD lebih dari 52 tablet dalam satu tahun sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Jumlah remaja yang minum TTD secara rutin semakin rendah, yakni hanya 1,4 persen.
Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, Yuni menyatakan, konsumsi TTD bisa semakin rendah. Untuk itu, berbagai intervensi lewat modifikasi pemberian TTD perlu dilakukan agar remaja putri tetap diberikan meskipun ada kebijakan pembelajaran jarak jauh atau belajar dari rumah.
”Kunjungan rumah serta konseling dan edukasi mengenai pentingnya mengonsumsi TTD bisa dilakukan melalui daring atau virtual. Pemberian TTD juga bisa dilakukan melalui fasyankes (fasilitas layanan kesehatan), sekolah, ataupun bisa diperoleh secara mandiri. Pemantauan akan didorong melalui pemanfaatan aplikasi Ceria dan Buku Rapor Kesehatanku,” tuturnya.
Modifikasi pemberian TTD itu salah satunya telah dilakukan oleh Puskesmas Karawaci Baru, Kota Tangerang, Banten. Tenaga gizi dari puskesmas tersebut, Rizky Amalia, menuturkan, pemberian TTD biasanya dilakukan oleh pihak sekolah ketika siswa atau orangtua datang ke sekolah saat mengumpulkan tugas. Sementara pencatatan bisa melalui formulir daring. Peran orangtua pun sangat dibutuhkan untuk memastikan TTD diminum oleh remaja.
”Hal lain terkait edukasi dan sosialisasi, kami lakukan dengan membuat video promosi tentang TTD-anemia. Edukasi virtual melalui Grup Whatsapp guru atau pembina UKS sekolah binaan puskesmas. Peran siswi yang menjadi kader juga ditingkatkan untuk menjangkau distribusi TTD ke rumah teman yang dekat dengan tempat tinggalnya,” kata Rizky.
Country Director Nutrition International Sri Kusyuniati berpendapat, masalah anemia pada remaja harus segera dituntaskan dengan melibatkan sejumlah pihak di masyarakat. Anemia tidak hanya terkait dengan persoalan kesehatan, tetapi juga dapat mengakibatkan kualitas sumber daya manusia di suatu negara menjadi rendah.
Generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi aset bangsa justru berubah menjadi beban bangsa. Anemia pada remaja dapat berdampak sampai keturunannya. Remaja anemia akan rentan mengalami anemia saat hamil. Kondisi ini dapat menyebabkan anak yang dilahirkan memiliki permasalahan gizi. Karena itu, tingginya anemia pada ibu hamil juga berhubungan dengan tingginya angka bayi dan anak balita dengan gizi buruk.
”Semua tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program kesehatan remaja tidak bisa diselesaikan sendirian oleh sektor kesehatan. Namun, diperlukan dukungan dan kerja sama dari semua lintas sektor, termasuk masyarakat, sekolah, dan orangtua. Ini penting untuk meningkatkan kesehatan dan gizi remaja usia sekolah,” kata Sri.