Memahami Efikasi, Imunogenisitas, dan Efektivitas Vaksin
Kegamangan terjadi ketika hasil uji klinis vaksin produksi Sinovac di Indonesia menunjukkan efikasi lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Ada baiknya kita memahami penyebabnya dan dari mana angka itu berasal.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·3 menit baca
Berbagai pertanyaan muncul terkait rendahnya efikasi CoronaVac, vaksin Covid-19 produksi Sinovac Biotech, China, pada uji klinis fase ketiga di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Disebutkan, efikasi CoronaVac di Brasil 78 persen, di Turki 91,25 persen, sedangkan di Indonesia 65,3 persen dengan imunogenisitas 99,23 persen hingga tiga bulan setelah penyuntikan.
Efikasi atau kemanjuran, demikian laman Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), adalah sejauh mana vaksin mencegah penyakit, dan kalau mungkin juga mencegah penularan, dalam kondisi ideal dan terkendali. Caranya dengan membandingkan kelompok yang divaksinasi dengan kelompok plasebo (mendapat zat yang tidak memiliki nilai terapeutik). Vaksin dengan kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinis, berarti ada penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi atau diberi plasebo.
Adapun imunogenisitas adalah kemampuan zat asing, seperti antigen atau vaksin, untuk memicu respons kekebalan tubuh pada manusia atau hewan.
Mengukur efikasi
Perbedaan efikasi, menurut Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prof Zubairi Djoerban, Selasa (12/1/2021), karena efikasi ditentukan sejumlah faktor, seperti latar belakang kelompok sukarelawan untuk uji klinis dan epidemiologi wilayah uji klinik dilakukan.
Vaksin dengan kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinis, berarti ada penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi.
Di Brasil, kelompok sukarelawan adalah tenaga kesehatan yang setiap hari menghadapi paparan tinggi virus penyebab Covid-19. Ketika dibandingkan dengan kelompok plasebo, penurunan kasus Covid-19 pada kelompok yang divaksinasi menjadi cukup tinggi.
Sukarelawan di Turki adalah tenaga kesehatan dan masyarakat umum. Sementara di Indonesia, semua sukarelawan adalah masyarakat umum yang risiko tertularnya relatif rendah dibandingkan dengan tenaga kesehatan. Jika kelompok plasebo disiplin menerapkan protokol kesehatan, penurunan kasus Covid-19 antara kelompok yang divaksin dan kelompok plasebo tidak akan berbeda jauh. Efikasi vaksin pun terukur lebih rendah dibandingkan dengan sukarelawan yang berasal dari kelompok tenaga kesehatan, seperti di Brasil dan Turki.
Pada negara yang kasusnya lebih banyak, maka penilaian efikasi vaksin bisa lebih baik karena mampu menurunkan kasus dalam jumlah lebih besar.
Terkait epidemiologi, kasus di negara lain jauh lebih tinggi. Per 11 Januari, di Brasil tercatat ada 8.133.833 kasus positif dan di Turki 2.338.476 kasus. Sedangkan Indonesia 846.765 kasus. ”Pada negara yang kasusnya lebih banyak, maka penilaian efikasi vaksin bisa lebih baik karena mampu menurunkan kasus dalam jumlah lebih besar,” kata Zubairi.
Efikasi 65,3 persen bukan berarti yang 34,7 persen sisanya tidak terlindungi. Dengan mendapatkan vaksinasi, meski tetap terinfeksi, penyakitnya tidak parah, bisa jadi tanpa gejala berarti. Apalagi imunogenisitas vaksin 99,23 persen. Kalaupun tertular, kemampuan antibodi melawan virus sangat tinggi.
Bagaimana dengan efektivitas? Kalau efikasi adalah kemanjuran yang diukur dalam kondisi ideal dan terkendali, maka efektivitas merupakan ukuran kinerja vaksin di dunia nyata. Vaksin dengan efikasi 90 persen belum tentu memiliki efektivitas 90 persen setelah diterapkan pada masyarakat luas.
Berbagai faktor, seperti obat-obatan yang diminum, penyakit kronis yang diderita, usia, bagaimana vaksin disimpan, dan prosedur penyuntikan, menentukan efektivitas vaksin dalam mencegah penyakit. Data surveilans sangat penting untuk memahami efektivitas, misalnya kapan orang mendapatkan vaksin dan berapa cakupan vaksinasi di suatu negara. Jika vaksin efektif, kasus yang terjadi adalah pada individu yang tidak divaksinasi.
Efektivitas vaksin tidak selalu harus tinggi agar bermanfaat. Vaksin influenza yang efektivitasnya 40-60 persen pun mampu menyelamatkan ribuan nyawa setiap tahun.
Meski efikasi vaksin yang berasal dari virus inaktif seperti CoronaVac lebih rendah dibandingkan dengan virus yang dibuat dari mRNA seperti produk Pfizer-BioNTech atau Moderna, menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, efek sampingnya juga lebih rendah. Sejauh ini efek samping CoronaVac yang terpantau hanya nyeri dan bengkak di tempat suntikan serta demam ringan.