Kritisnya tingkat keterisian ruang perawatan bagi pasien Covid-19 perlu disikapi serius. Berapa pun penambahan kapasitas tidak akan sanggup jika lonjakan terus terjadi.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat keterisian ruang perawatan di sejumlah rumah sakit telah mencapai 100 persen, mengakibatkan pasien tak tertangani lagi. Sementara itu, tenaga kesehatan semakin banyak yang terinfeksi dan berguguran akibat Covid-19. Selain penambahan kapasitas fasilitas dan tenaga kesehatan, dibutuhkan pula pengaturan pasien yang bisa masuk rumah sakit.
”Fakta saat ini, tingkat okupansi di beberapa rumah sakit, terutama daerah episentrum, sangat mengkhawatirkan. Misalnya, sampai tadi malam, semua rumah sakit rujukan Covid-19 di Surabaya sudah penuh, bahkan lebih dari 100 persen karena ada pasien tak tertampung di selasar IGD (instalasi gawat darurat),” kata Ketua Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Lapor Covid-19, Selasa (5/1/2021).
Ketua Satgas Covid-19 Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Timur Av Sri Suhardiningsih mengatakan, saat ini memang rumah sakit di Jawa Timur penuh. ”Bahkan, beberapa rumah sakit besar pun menutup IGD karena tak bisa menampung pasien lagi. Banyak pasien Covid-19 tidak bisa dirujuk dan masuk ruang inap,” katanya.
Menurut dia, sejumlah rumah sakit sudah berupaya menambah ruangan, tetapi penambahan pasien tetap tinggi sehingga kembali penuh. ”Situasinya mengkhawatirkan,” ujarnya.
Tri Maharani, dokter emergensi yang menjadi sukarelawan Lapor Covid-19, juga menyampaikan sulitnya merujuk pasien. ”Sejak November 2020 akhir, rumah sakit di Jakarta mulai penuh dan sejak pertengahan Desember sampai awal Januari sudah penuh sehingga kami kesulitan mencarikan tempat bagi pasien, khususnya yang butuh ICU,” kata Tri.
Menurut Tri, permintaan bantuan dari warga yang membutuhkan tempat isolasi dan perawatan tidak sebanding dengan kapasitas rumah sakit sehingga menyebabkan peningkatan risiko kematian. Apalagi, sistem informasi ketersediaan dan rujukan pasien tidak berjalan dengan baik.
”Dari pendataan kami, ada enam pasien yang meninggal di IGD di sekitar Jabodetabek karena menunggu antrean ICU (intensive care unit/IGD). Bahkan, ada pasien di Depok (Jawa Barat) yang meninggal di taksi setelah ditolak 10 rumah sakit,” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan, situasi saat ini merupakan konsekuensi dari terus meningkatnya laju penularan sebagai akibat dari tingginya mobilitas masyarakat. ”Kalau situasi ini tidak segera ditangani, jumlah korban yang meninggal bakal meningkat dan tenaga kesehatan juga menjadi korban. Untuk atasi ini tidak akan semudah menambah tempat tidur, tetapi harus dipikirkan ketersediaan tenaga kesehatan,” ucapnya.
Tenaga kesehatan
Adib mengatakan, penambahan kapasitas tempat tidur harus memperhitungkan ketersediaan tenaga kesehatan yang saat ini banyak terpapar dan mengalami kelelahan. ”Risiko paparan di komunitas juga meningkatkan risiko tenaga medis. Desember menjadi rekor jumlah dokter meninggal, 53 orang. Dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, rata-rata 32 orang. Bukan tidak mungkin hal ini akan terjadi pada Januari karena banyak laporan sejawat kami yang saat ini dirawat karena Covid-19,” ujarnya.
Data Lapor Covid-19 menunjukkan, hingga Selasa, jumlah tenaga kesehatan yang meninggal telah mencapai 540 orang, terdiri dari 241 dokter, 175 perawat, 70 bidan, 15 dokter gigi, 10 ahli teknologi lab medik, 7 apoteker, 5 rekam radiologi, dan sejumlah tenaga kesehatan lain.
Suhardiningsih mengatakan, jumlah perawat yang terpapar Covid-19 di setiap rumah sakit rata-rata 5-10 persen dan ini terjadi secara bergantian. ”Risiko bagi perawat sangat tinggi karena hampir 24 jam berada bersama pasien Covid-19. Di Jatim saja, saat ini ada 1.876 perawat positif Covid-19 dan yang berada di ICU juga banyak. Karena itu, kami berharap ada relaksasi bagi perawat dengan adanya tambahan tenaga sukarelawan,” katanya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia Emi Nurjasmi mengatakan, risiko penularan saat ini juga terjadi di puskesmas yang menyebabkan banyaknya bidan terpapar dan meninggal. ”Hari ini sudah 67 bidan meninggal dan sebagian besar dari faskes primer, selain di klinik-klinik swasta,” ujarnya.
Menurut Emi, bidan yang terkonfirmasi positif Covid-19 sejauh ini 3.592 orang, 1.086 suspect, dan 2 probable. Sedangkan yang menjalani isolasi mandiri 1.056 orang. ”Sebanyak 317 orang menjalani perawatan di rumah sakit, tetapi banyak juga yang tidak mendapat tempat perawatan,” katanya.
Tentukan kriteria
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher mengatakan, saat ini fasilitas kesehatan telah berada dalam kondisi sangat berat dan dihadapkan pada situasi untuk membuat kriteria pasien yang masih bisa ditangani. ”Dalam kondisi biasa, yang paling berat dan butuh pertolongan segera yang harus dibantu. Namun, dalam keadaan pandemi, targetnya adalah menyelamatkan semakin banyak jiwa dengan memilih pasien,” ujarnya.
Untuk menentukan kriteria siapa pasien yang harus ditangani, bukan hanya masalah medik, melainkan harus juga mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanusiaan. Mengacu pada studi yang dilakukan di 11 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Pakistan, ada kesepakatan bahwa yang didahulukan untuk ditangani yang prognosisnya (peluang hidup) lebih bagus,” katanya.
Kriteria lain adalah umur. ”Di Italia dan Swiss, misalnya, pada umur tertentu tidak lagi bisa masuk ICU. Untuk Swiss yang memiliki usia harapan hidup 80 tahun, yang di atas 85 tahun bisa masuk ICU lagi,” ucapnya.
Aspek lain adalah harus ada keadilan. ”Pasien Covid-19 dan non-Covid-19 harus dinilai dengan fair (adil). Kalau ICU penuh, ya, penuh, tidak bisa diprioritaskan Covid-19 atau non-Covid-19. Seperti kita ketahui, Covid-19 ini bisa menyebabkan kematian ikutan, seperti terjadi di Inggris, ada 5.000 orang meninggal dalam 10 bulan karena kanker akibat terlambatnya pemberian pertolongan,” katanya.
Selain skenario jangka pendek ini, menurut Ede, yang juga harus jadi perhatian utama adalah pengendalian kasus. Seberapa pun dilakukan penambahan kapasitas rumah sakit dan sumber daya manusia, tidak akan memadai jika penularan tetap tinggi. Bahkan, negara yang memiliki fasilitas kesehatan lebih baik dari Indonesia, seperti Amerika dan Eropa, juga tidak sanggup menghadapi lonjakan kasus Covid-19.