Mewujudkan Transformasi Layanan Jaminan Kesehatan Nasional
Layanan kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat terus bertransformasi. Pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mewujudkan hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik.

Aplikasi BPJS Kesehatan melalui telepon pintar memudahkan warga untuk mengurus jaminan kesehatan, seperti terlihat di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019).
Pandemi Covid-19 kian menunjukkan bahwa kesehatan menjadi hak dasar yang amat dibutuhkan oleh setiap orang. Akses pada layanan kesehatan bukan menjadi kemewahan bagi sekelompok orang, melainkan itu adalah hak yang harus didapatkan oleh seluruh warga negara.
Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengamanatkan, kesehatan dan pelayanan kesehatan adalah hak bagi setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pemerintah pun berkomitmen untuk mewujudkannya. Targetnya adalah tercapainya cakupan kesehatan semesta atau universal health coverage pada 2019.
Namun, pengertian cakupan kesehatan semesta ini sering kali kurang dipahami secara menyeluruh. Cakupan ini tidak hanya sekadar mencapai jumlah orang yang dijamin, tetapi juga memastikan layanan kesehatan yang dihadirkan berkualitas, bermutu, dan mudah diakses oleh setiap masyarakat.
Baca juga: Ketimpangan Akses dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional
Berdasarkan catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, jumlah peserta yang terdaftar dalam program JKN-KIS per 30 November 2020 sebanyak 223.066.814 orang atau sekitar 82 persen dari seluruh penduduk di Indonesia. Jumlah ini masih di bawah target yang seharusnya dicapai pada 2019, yakni 95 persen dari total penduduk.

Selain terkait jumlah kepesertaan, persoalan lain dalam pelaksanaan program JKN ini yakni terkait pelayanan dan ketersediaan fasilitas kesehatan. Per 1 Desember 2020, jumlah rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 2.312 rumah sakit dari sekitar 2.800 rumah sakit yang ada. Ketersediaan rumah sakit ini pun belum merata di seluruh Indonesia.
Merujuk pada UU No 44/2009 tentang rumah sakit, semua rumah sakit, termasuk rumah sakit swasta, wajib menjadi mitra BPJS Kesehatan. Ini penting karena semakin banyak rumah sakit yang bekerja sama, semakin luas pula akses kesehatan yang bisa diakses oleh peserta JKN-KIS.
Ketersediaan layanan kesehatan yang belum merata ini juga berdampak pada masalah aksesibilitas masyarakat. Dari riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2019, terdapat sejumlah persoalan terkait aksesibilitas peserta JKN ke layanan kesehatan.
Baca juga: Pemerintah Dituntut Membenahi Pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional
Itu meliputi jarak tempat tinggal ke fasilitas kesehatan yang jauh berkisar 1-4 kilometer untuk ke puskesmas dan 4-16 kilometer untuk ke rumah sakit pemerintah; waktu tunggu yang panjang selama 2-5 jam; serta kebutuhan biaya nonmedis, seperti transportasi dan uang makan, sebesar Rp 15.000-Rp 250.000.

Dokter Rini Rahman (kanan) menimbang berat bayi di Balai Desa Kibay, Kecamatan Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua. Rini termasuk salah satu dari delapan dokter PTT yang bertugas di daerah pedalaman di Keerom. Rini turut membawa anaknya, Badranaya (baju merah), selama bertugas di Keerom sejak tahun lalu.
Ketersediaan dokter yang mumpuni juga menjadi kendala dalam pencapaian cakupan kesehatan semesta dalam program JKN-KIS. Data Konsil Kedokteran Indonesia per 25 Agustus 2020 menunjukkan, jumlah dokter di Indonesia 147.442 orang untuk melayani sekitar 270.000.000 penduduk atau dengan rasio 1:1.831. Jumlah ini sudah ideal dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan satu dokter melayani 2.500 penduduk atau 40 dokter untuk 100.000 penduduk.
Namun, jika dilihat secara detail, ada 17 provinsi yang rasionya di bawah target WHO, antara lain Sulawesi Barat dengan rasio 11,2:100.000, kemudian Nusa Tenggara Timur 17:100.000, dan Maluku 20:100.000. Kesenjangan tampak jelas, misalnya, jika dibandingkan dengan rasio dokter di DKI Jakarta 180:100.000 dan Sulawesi Utara 110:100.000 penduduk.
Tantangan pada pemerataan layanan kesehatan itu tidak bisa diselesaikan secara cepat. Pembangunan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan bermutu perlu waktu yang tidak singkat. Pengadaan tenaga kesehatan juga perlu proses yang panjang. Sementara kebutuhan masyarakat semakin mendesak, terutama di masa pandemi ini.
Terhentinya layanan bisa berakibat fatal.
Karena itu, transformasi pada layanan kesehatan mutlak diperlukan. Layanan tidak boleh terhenti meskipun pandemi masih berlangsung. Bagi peserta yang memiliki penyakit penyerta yang membutuhkan pengobatan rutin, seperti diabetes, gagal ginjal, jantung, dan kanker, terhentinya layanan bisa berakibat fatal. Kondisi kesehatannya bisa memburuk yang menyebabkan biaya semakin besar atau bahkan bisa berisiko meninggal.

Tim pengabdian masyarakat dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia mendampingi kader posyandu di Kota Depok untuk mengalihkan pencatatan kesehatan manual ke basis digital. Pendampingan ini untuk memberdayakan kader posyandu untuk bekerja lebeih efektif dalam melayani kesehatan masyarakat.
Layanan digital
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Primer BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani pada pekan lalu mengatakan, digitalisasi pada program JKN semakin gencar dilakukan pada masa pandemi. Penerimaan masyarakat juga dinilai lebih cepat. Saat ini, uji coba layanan telemedik sedang dijalankan di sejumlah wilayah, antara lain Medan, Serang, Jakarta, Yogyakarta, dan Gorontalo.
Setidaknya ada tiga layanan yang dikembangkan, yakni telekonsultasi, tele-USG (ultrasonografi), dan tele-EKG (elektrokardiogram). Layanan ini diharapkan mengatasi masalah keterbatasan akses layanan kesehatan di sejumlah daerah. Pasien pun bisa mengurangi ongkos perjalanan ke rumah sakit.
Ia menjelaskan, layanan telekonsultasi yang disediakan meliputi layanan Program Rujuk Balik (PRB) kepada pasien yang butuh layanan jangka panjang, seperti hipertensi dan jantung, dan layanan pada pasien non-PRB, seperti layanan daring untuk poli-kesehatan ibu dan anak.

Transformasi digital juga kian masif diterapkan pada layanan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Asisten Deputi Bidang Manajemen Fasilitas Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Unting Patri Wicaksono menyampaikan, ada empat hal yang dikembangkan, meliputi sistem antrean elektronik, tampilan informasi ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, tampilan tindakan operasi di rumah sakit, dan simplifikasi pelayanan hemodialisis di rumah sakit.
Dari catatan BPJS Kesehatan, sudah ada 2.071 rumah sakit atau sekitar 94 persen dari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan yang menerapkan sistem antrean elektronik. Selain itu, ada 650 rumah sakit yang sistem antrean elektroniknya terhubung dengan aplikasi Mobile JKN.
Baca juga: Layanan Telemedik dalam Jaminan Kesehatan Nasional
”Untuk antrean elektronik, itu bisa mengatasi persoalan panjangnya antrean di fasilitas kesehatan yang mengharuskan peserta datang terlalu pagi di rumah sakit, sementara layanan baru diberikan pada siang hari. Waktu yang terbuang ini menjadi bisa lebih efektif karena adanya teknologi,” tutur Unting.

Layanan daring BPJS Kesehatan.
Pandemi Covid-19 seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai momentum percepatan peralihan layanan kesehatan konvensional ke layanan digital. Layanan daring menjadi salah satu solusi strategis dalam sistem pelayanan kesehatan di negara dengan penduduk yang besar serta kondisi geografis berupa kepulauan seperti Indonesia.
Sejumlah kebijakan juga telah diterbitkan untuk memastikan layanan yang diberikan tetap aman dan sesuai standar. Itu antara lain melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antarfasilitas Pelayanan Kesehatan dan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 303 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Namun, sampai saat ini, layanan telemedik untuk peserta JKN-KIS belum berlaku. Layanan itu masih sebatas uji coba sehingga peserta yang mengakses layanan ini di luar wilayah uji coba tidak dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, percepatan dalam penyediaan layanan telemedik harus menjadi prioritas pemerintah. Akibat pandemi, banyak peserta JKN yang sakit menunda pemeriksaannya ke rumah sakti karena khawatir tertular Covid-19. Jika ini terus dibiarkan, kondisi kesehatan peserta tersebut bisa memburuk dan berujung pada komplikasi yang lebih parah.
Baca juga: Pembenahan Tata Kelola JKN Tak Bisa Ditawar Lagi
”Kondisi keuangan BPJS Kesehatan sekarang dinyatakan surplus sampai Rp 2,56 triliun. Namun, itu karena pasien tidak berani ke rumah sakit sehingga biaya manfaat yang dibayarkan berkurang. Padahal, kondisi ini justru bisa jadi bumerang pada 2021 karena pasien dengan komplikasi makin banyak sehingga biaya yang diperlukan kian besar,” katanya.

Suasana di ruang tunggu pelayanan berobat di RSUD Bogor, Kota Bogor, Kamis (23/4/2020). Pemerintah menyarankan warga memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan telemedik karena dinilai lebih dapat mengurangi risiko paparan Covid-19 jika dibandingkan harus berobat langsung ke rumah sakit.
Infrastruktur internet
Hal lain yang tidak kalah penting adalah memastikan layanan kesehatan daring ini bisa dikembangkan lebih luas dan berkelanjutan. Infrastruktur internet menjadi fasilitas dasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Ini tetutama karena sebagian besar wilayah dengan keterbatasan akses layanan ditemukan di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal yang belum terjamah internet, bahkan listrik.
Oleh sebab itu, kerja sama dari lintas sektor amat dibutuhkan. Pemenuhan layanan kesehatan tidak bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan. Diharapkan, program pemerintah untuk membangun infrastruktur internet berkecepatan tinggi juga bisa segera teralisasi. Setidaknya masih ada 12.548 desa/kelurahan dan 150.000 titik layanan publik di Indonesia yang belum tersedia layanan internet.
Di lain sisi, literasi digital pada masyarakat juga perlu ditingkatkan. Meskipun sebagian besar masyarakat sudah bisa mengakses telepon pintar, literasi untuk bisa memanfaatkan perangkat tersebut dengan bijak masih kurang.
Baca juga: Pembenahan Sistem Jaminan Kesehatan Mesti Berbasis Data