Warita Kedua Penyintas yang Samar Tuntas
Semangat Natal yang melahirkan kasih dan persaudaraan menginspirasi kalangan penyintas Covid-19 yang merasa perjuangan menghadapi penyakit belum jelas kapan berakhir.
Kalangan pasien Covid-19 kerap terburu-buru merasa lega karena menerima hasil tes negatif setelah isolasi berminggu-minggu. Mereka merasa telah sembuh atau bebas dari Covid-19. Padahal, penyintas justru memasuki ronde pertarungan baru yang belum jelas kapan berakhir.
Mereka sudah melalui perjuangan panjang dan lama untuk sembuh. Namun, kesembuhan yang didapat masih mengandung potensi ancaman.
Terinspirasi semangat Natal dan Tahun Baru, kalangan penyintas Covid-19 saling menguatkan, memelihara persahabatan, terus berbagi informasi seputar ancaman, keluhan, gangguan kesehatan. Pertarungan belum usai ketika dinyatakan sembuh, melainkan memasuki babak kedua.
Tes usap PCR Landhyta Swastika (27) pada 19 November 2020 menunjukkan hasil negatif. Walakin, masih ada kecemasan karena sulit membaui. Kehilangan kemampuan indera penciuman menjadi salah satu tanda seseorang terjangkit virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19. Selain itu, sakit kepala bagian belakang.
Memang, dua keluhan tadi tidak selalu kambuh. Namun, Landhyta tetap waspada dengan karantina mandiri di rumah beberapa hari. Terus terang, masih ada keraguan terhadap kondisi kesehatan meski dokter menyatakan Landhyta telah sembuh.
Baca juga: Jangan Sampai Semua Bakal Covid-19 pada Waktunya
Kegelisahan tak juga pergi meski hasil tes usap pada 3 Desember 2020 tetap negatif. Landhyta masih bermasalah dengan indera penciuman. Bahkan, sesak napas masih menyerang saat olahraga dan nyeri di dada setiap bernapas.
”Aku konsultasi ke dokter beberapa hari setelah itu. Dokter bilang aku mengalami tension headache karena stres. Keluhan soal sesak napas enggak diperiksa. Kata dokter, enggak perlu cek toraks, enggak kenapa-kenapa,” kata Landhyta.
Warga Depok, Jawa Barat, ini lalu mencari pendapat dokter lain. Sang medikus bilang ada sejumlah keluhan lanjutan dari pasien Covid-19 setelah sembuh. Walakin, dokter cuma memberi multivitamin.
Landhyta seolah tersiksa karena berbagai keluhan dan nyeri masih terasa. Karena masih penasaran, belantara informasi di internet dijelajahi dan ternyata ada istilah long covid, mirip dengan gejala-gejala yang dialami.
Yang bikin tambah cemas, long covid dapat terjadi dalam jangka panjang. Bahkan, kalangan pasien di dunia, termasuk Indonesia, mengeluhkan kondisi tubuh yang tidak pulih sediakala karena Covid-19.
”Apa selamanya aku bakal kayak gini?” kata Landhyta, karyawan lembaga pendidikan busana di Jakarta Selatan.
Baca juga:Mewaspadai Fenomena ”Long Covid”
Juno (36), penyintas, kerap merasa lemas dan amat letih setelah beraktivitas. Gejala ini dirasakan selepas sembuh pada akhir Agustus 2020. Bulan itu telah memasuki 90 hari sejak Juno dinyatakan negatif alias sembuh dari Covid-19.
Akan tetapi, Juno kerap diserang nyeri sekujur tubuh, telinga berdengung, dan rambut rontok. Juga kesulitan berpikir atau mengingat sesuatu. Padahal, gejala-gejala tadi bahkan tidak dirasakan selama perawatan Covid-19.
Juni heran kerap tercium aroma karet terbakar yang menusuk. Padahal, saat keluhan itu menyerang, tiada asap atau benda terbakar di dekatnya.
”Istilah medisnya disebut phantosmia, mencium bau yang sebenarnya tidak ada,” kata Juno.
Terjadi juga pembengkakan sejumlah kelenjar getah bening di leher bagian atas. Terkadang pula terasa detak jantung berdebar lebih tinggi tanpa pemicu yang jelas.
Baca juga: Pasien Sembuh Masih Rasakan Sejumlah Gejala, Efek Jangka Panjang Covid-19 Didalami
Nyaris Diabaikan
Keluhan penyintas yang masih merasakan berbagai gejala setelah sembuh ternyata kurang dipandang serius.
Juno bilang, setelah konsultasi ke beberapa dokter, berbagai keluhan dianggap sebagai psikosomatik dan dampak depresi. Juno bingung karena gejala-gejala terasa nyata dan menganggu aktivitas.
Bahkan, tak sedikit uang hasil menguras dompet, saku, atau simpanan. Di luar biaya yang ditangguh oleh asuransi kantor, Juno mengklaim menghabiskan uang Rp 16 juta kurun Mei-Desember. Walakin, gejala Covid-19 dan serangan yang menyakitkan ternyata masih ada dan mengganggu.
Alida Susanti (40) yang keluar dari perawatan pada 4 November 2020 mengeluhkan yang sama. Masih terasa lemas dan nyeri dada. Dokter cuma memberi ”obat” dan menyarankan agar menjaga kesehatan.
”Konsultasi ke dua dokter, jawaban relatif sama. Saya belum konsultasi lagi,” ujar Alida, warga Depok.
Baca juga: Gejala Sisa yang Tak Kunjung Reda
Informasi amat minim dan tergerak oleh situasi yang sama, Juno menginisiasi forum komunikasi di Facebook untuk para penyintas. Grup bernama ”Covid Survivor Indonesia” menjadi tempat berbagi informasi keluhan lanjutan pasien Covid-19.
Dalam konteks Natal dan Tahun Baru, grup menjadi wadah memompa dan memelihara asa kehidupan. Mereka pantang menyerah dan sadar perjuangan belum selesai. Kasih, tepa salira, yang beradaptasi dalam jagat virtual menjadi ”vaksin” dan ”vitamin”.
Fenomena baru
Keluhan berkelanjutan yang dialami para penyintas perlu diwaspadai. Sindrom kelelahan kronis, sesak napas, nyeri sendi, jantung berdebar-debar, bahkan gangguan secara psikologis, termasuk gejala lanjutan. Berbagai serangan bisa menyiksa tubuh berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Sejumlah pasien Covid-19 mengalami penurunan fungsi paru 20-30 persen. ”Berpotensi menimbulkan keluhan pasien terkait gangguan pernapasan,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto dalam diskusi virtual ”Mewaspadai Efek Jangka Panjang Covid-19”, Kamis (3/12/2020).
Sembilan bulan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi, masih sulit untuk mendapatkan angka prevalensi kasus gejala lanjutan. Walakin, diprediksi jumlah yang cukup besar.
Fenomena gejala berkepanjangan tak asing untuk penyakit akibat virus korona. Pada 9 September 2020, WHO mengutip penelitian gangguan kesehatan berkepanjangan setelah infeksi SARS 2003. Gangguan serupa dialami penyintas Covid-19.
Penyintas SARS tetap merasakan penurunan kemampuan fisik dan kesehatan secara umum hingga lebih dari 24 bulan. Pasien Covid-19 dapat mengalami gangguan ginjal. Dari sistem organ kulit atau dermatologi, gejala lanjutan juga dapat mewujud pada gejala ruam memerah di kulit dan rambut rontok. Juga ada dampak pada sistem saraf, indera perasa dan pencium, gangguan tidur, kesulitan konsentrasi, dan gangguan ingatan.
Baca juga: Ahli Mendalami Rehabilitasi Penyintas Bergejala Sisa
Di Inggris, National Health Service (NHS) akhir November membuka 40 klinik khusus melayani dampak lanjutan penyintas Covid-19. Langkah ini disebut contoh ideal oleh jurnal kedokteran The Lancet dan Nature Medicine.
Selama vaksin dan obat belum ada, solidaritas dan saling percaya menjadi energi kehidupan.