Litbang Kompas: Warga Kian Optimistis Hadapi Pandemi
Hidup di tengah pandemi Covid-19 selama hampir 10 bulan, membuat publik terus beradaptasi. Survei Litbang Kompas mendapati fakta, persentase warga yang optimistis makin banyak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Hampir 10 bulan masyarakat hidup berdampingan dengan Covid-19 membuat kemampuan dalam beradaptasi terus meningkat. Setidaknya itu tergambar dari survei Litbang Kompas yang dilakukan selama masa pandemi. Persentase warga dengan kondisi psiko-sosial pesimistis menurun, sementara yang optimistis terus meningkat.
Dari beberapa survei yang dilakukan secara periodik pada Juni, Agustus, Oktober, dan Desember 2020, persentase kelompok masyarakat yang optimistis membesar, bahkan mencapai titik tertinggi dari periode survei yang dilakukan. Pada survei terbaru menunjukkan, segmen masyarakat yang optimis mencapai 43,2 persen atau naik sekitar empat persen dari Oktober 2020.
“Kita melihat dari kelompok masyarakat yang optimistis, mereka mempunyai antusiasme yang lebih, dibandingkan dengan yang pesimistis. Kemudian, selain optimistis, mereka juga menyatakan kesiapannya dalam menghadapi situasi pandemi,” ujar Peneliti senior Litbang Kompas, Bestian Nainggolan dalam diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF) yang digelar virtual Jumat (18/12) di Jakarta.
Ia menjelaskan, masyarakat dengan sikap optimistis ini masih bertumpu pada kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Sementara dari aspek sosial, mereka yang optimistis berlatar belakang pendidikan tinggi yang didominasi kaum perempuan dengan usia 17-25 tahun.
Sebaliknya, pada kelompok masyarakat yang merasa pesimistis dalam menghadapi pandemi Covid-19 memiliki latar belakang ekonomi bawah dengan tinggi pendidikan yang rendah dengan usia lebih dari 40 tahun. Dari hasil survei menunjukkan, persentase masyarakat yang masuk dalam golongan pesimis sebesar 39,5 persen pada Desember. Ini menurun dari Oktober sebesar 43,2 persen namun masih lebih tinggi ketika survei dilakukan pada Agustus 2020 dengan persentase 34,8 persen.
Bestian juga menuturkan, masyarakat yang bersifat ambigu cenderung tetap yakni 17,3 persen pada Desember 2020 dan 17,2 persen pada Oktober 2020. Hal ini menandakan kelompok masyarakat ini merasa kurang antusias menghadapi pandemi sekaligus tidak siap juga dengan perubahan. Namun, masyarakat ambigu ini juga sebenarnya merasa antusias tetapi di satu sisi belum siap menghadapi perubahan yang terjadi.
Pada survei yang juga dilakukan terkait kondisi ekonomi rumah tangga, terlihat masyarakat yang pendapatannya berkurang cenderung tetap, yakni 77 persen pada Desember 2020 dan 78 persen pada Oktober 2020. Persentase pendapatan keluarga yang berkurang ini semakin tinggi pada kelompok masyarakat dengan ekonomi bawah.
Meski demikian, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi pandemi justru meningkat menjadi 54,4 persen (Desember) dari 41,0 persen (Oktober 2020). Tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah juga menurun dari 54,5 persen (Oktober) menjadi 41,1 persen (Desember 2020).
Hal ini juga ditunjukkan pada tingkat keyakinan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi. Pada Desember, persentase masyarakat yang yakin sebesar 67,9 persen sementara masyarakat yang tidak yakin sebesar 26,3 persen. Ini berbeda dengan Oktober 2020 yang menunjukkan tingkat keyakinan sebesar 55,6 persen dan ketidakyakinan sebesar 36,4 persen.
Penerimaan vaksin Covid-19
Rencana pemerintah untuk melakukan vaksinasi Covid-19 juga menimbulkan pro-kontra yang dinilai perlu diperhatikan. Respon masyarakat juga cenderung lebih kuat ketika sejumlah vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac BioNTech tiba di Indonesia pada pertengahan Desember ini.
Bestian mengatakan, minat masyarakat untuk divaksinasi Covid-19 cukup tinggi. Dari survei dilakukan, setidaknya sekitar 38 persen responden menyatakan ingin secepatnya divaksin Covid-19 dan 17 persen lainnya ingin divaksin, tetapi tidak saat ini. Sementara itu, sebanyak 16 persen menyatakan kurang berminat dan 7 persen sangat tidak berminat. Sebanyak 22 persen responden lainnya masih ragu-ragu.
Dari survei ini juga menunjukkan ada seperempat penduduk atau 24 persen yang tidak ingin divaksinasi. Sementara, 76 persen lainnya yang bersedia divaksin memiliki pertimbangannya masing-masing. Terdapat 44 persen yang bersedia divaksin, namun jika vaksin itu gratis.
Sementara itu sebanyak 8 persen menyatakan bersedia tetapi ada sebagian subsidi dari pemerintah dalam mengakses vaksin. Sebanyak 22 persen menyatakan bersedia divaksin dengan harga yang sesuai dengan kemampuan dan dua persen lain bersedia divaksin berapun harga yang ditetapkan.
“Resistensi masyarakat terhadap vaksinasi semakin tinggi pada kelompok masyarakat dengan ekonomi bawah. Menariknya, keragu-raguan dalam vaksinasi justru ditunjukkan pada kelompok masyarakat dengan ekonomi atas. Pertimbangan ini tentu tidak semata-mata berbicara masalah ekonomi saja, namun juga pada aspek teknis medis serta politik,” tutur Bestian.
Terkait dengan penerimaan dan penolakan terhadap vaksin Covid-19, resistensi terhadap vaksin produksi China cenderung tinggi pada masyarakat dari kalangan ekonomi bawah dan atas. Di lain sisi, penerimaan atau akseptasi terhadap vaksin produksi Indonesia ditemukan pada semua kelompok ekonomi masyarakat, terutama paling tinggi pada masyarakat kelompok ekonomi atas.
“Pada skenario keberhasilan dalam menghadapi pandemi Covid-19, sepanjang pemerintah ataupun negara mampu menguasai berbagai aspek serta dimensi dalam pengendalian pandemi, keberhasilan bisa didapatkan. Itu tentu tidak hanya pada upaya pengedalian di aspek medis daja,melainkan juga ekonomi dan politik vaksin,” kata Bestian.