Manajemen emosi penting agar publik tidak terjebak stres akibat pandemi Covid-19 yang masih belum kunjung berakhir. Manajemen emosi juga penting agar masyarakat tidak kehilangan motivasi mematuhi protokol kesehatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Manajemen emosi penting agar publik mampu mengelola stres setelah sembilan bulan hidup dengan pandemi Covid-19. Rasa jenuh terhadap peraturan dan protokol kesehatan pun perlu diatasi. Ini agar kepatuhan masyarakat tidak kendur dan mencegah munculnya kasus baru Covid-19.
Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Association Nova Riyanti Yusuf saat dihubungi dari Jakarta, Senin (21/12/2020), mengatakan, ada tiga hal penyebab stres pada publik. Pertama, ketakutan terinfeksi ataupun menginfeksi Covid-19. Kedua, stres akibat isolasi sosial. Ketiga, stres akibat tekanan ekonomi selama pandemi.
Ketiganya menyebabkan masalah psikologis pada publik. Ini sesuai dengan hasil swaperiksa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) terhadap 4.010 responden yang rilis Oktober 2020. Hasilnya, 75 persen responden mengalami trauma psikologis, 65 persen cemas, dan 62 persen depresi. Masalah psikologis ini paling banyak ditemui pada kelompok usia 17-29 tahun dan di atas 60 tahun.
Berdasarkan survei serupa pada Mei 2020, sebanyak 69 persen dari 2.364 responden mengalami masalah psikologis. Dari jumlah itu, sebanyak 77 persen mengalami trauma, 68 persen cemas, dan 67 persen depresi.
”Risiko lain dari pandemi adalah burnout, yaitu respons psikologis terhadap paparan stres dalam jangka panjang. Burnout ada tiga macam, yakni kelelahan emosi, depersonalisasi, serta penurunan prestasi dan produktivitas kerja. Orang bisa burnout karena tidak punya pilihan menghadapi masalah. Belum lagi, kita tidak tahu harus seperti ini sampai kapan,” kata Nova.
Ada beberapa cara menghadapi rasa khawatir akibat pandemi. Publik direkomendasikan menjalani meditasi untuk memfokuskan pikiran ke masa kini. Latihan pernapasan pun disarankan untuk relaksasi.
Risiko lain dari pandemi adalah burnout, yaitu respons psikologis terhadap paparan stres dalam jangka panjang. Burnout ada tiga macam, yakni kelelahan emosi, depersonalisasi, serta penurunan prestasi dan produktivitas kerja. Orang bisa burnout karena tidak punya pilihan menghadapi masalah. (Nova Riyanti Yusuf)
Cara lain mengatasi stres dengan berlatih mengolah pikiran. Berpikir positif penting karena akan diikuti oleh perilaku positif dan optimistis, termasuk mengupayakan diri menghindari Covid-19.
”Ada banyak upaya baru untuk menghadapi masa sulit ini, misalnya menggunakan aplikasi di ponsel untuk meditasi dan membantu tidur. Ada pula anak muda yang mendengar ASMR (autonomous sensory meridian response) agar tenang. Cara lain adalah mengatur waktu menatap layar, membatasi melihat berita tentang pandemi, dan tetaplah berupaya melakukan kontak sosial,” ucap Nova.
Kelelahan
Publik di seluruh dunia terindikasi mengalami kelelahan pandemi atau pandemic fatigue. Pandemic fatigue secara sederhana ialah manusia yang secara alami lelah dengan peraturan yang berlaku. Hal ini tampak dari demotivasi seseorang menjalankan protokol kesehatan, hingga malas mencari informasi seputar Covid-19. Ada juga yang merasa tidak berdaya akibat pandemic fatigue.
Hal ini dinilai wajar. Itu sebabnya manajemen stres diperlukan. Harapannya orang kembali termotivasi menjalankan protokol kesehatan. Nova menambahkan, publik perlu diberi pemahaman bahwa manajemen stres tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, tapi juga keluarga dan masyarakat.
Direktur Medik Rumah Sakit Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini Inolyn Panjaitan mengingatkan publik agar menjaga diri saat libur akhir tahun. Berkumpul dengan keluarga besar di momen Natal dan Tahun Baru tidak disarankan.
”Natal dan Tahun Baru identik dengan kumpul keluarga. Tapi, kami sering melihat ada kluster keluarga. Jika bisa, kumpul keluarga saat pandemi baiknya dilakukan secara virtual. Kalaupun ada kumpul keluarga agar jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan,” kata Inolyn melalui kanal Youtube BNPB.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Jacklevyn Frits Manuputty sependapat. Menurut dia, Natal tahun ini dapat dilakukan secara sederhana tanpa perayaan semarak. Ia mengimbau agar ibadah tetap dilakukan di rumah secara virtual.
”Ibadah dari rumah tidak akan mengurangi keimanan seseorang. Biarlah Natal tahun ini menjadi peristiwa keluarga. Makna Kristus supaya memperkuat solidaritas dan spiritualitas berbasis keluarga,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta Vincentius Adi Prasojo juga merekomendasikan umat Kristen dan Katolik beribadah dari rumah. Jemaat yang ingin beribadah tatap muka harus menjalani protokol kesehatan yang ketat, seperti wajib mengenakan masker, mendaftarkan diri secara daring sebelum beribadah, dan menjaga jarak.
”Kami membatasi jemaat hanya 20 persen dari kapasitas maksimal gereja. Selain itu, ada penyesuaian tata ibadah, misalnya kini ibadah paling lama satu jam,” kata Vincentius.