Sering kencing pada waktu tidur di malam hari bisa mengganggu kesehatan atau justru gejala penyakit serius. Sementara mengompol pada anak akan mengganggu kesehatan fisik dan psikologis. Karena itu, perlu segera diatasi.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Nokturia alias beser di waktu tidur malam hari banyak dialami orang dewasa. Hal ini sebaiknya tidak diabaikan. Sering terbangun untuk buang air kecil setiap malam menyebabkan kurang tidur, depresi, menurunkan sistem imun, serta mengganggu suasana hati, daya ingat dan kemampuan berpikir.
Nokturia juga bisa merupakan gejala penyakit serius, seperti diabetes serta gangguan ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Penyebab lain, kandung kemih overaktif, pembesaran prostat, menopause, mengorok, gangguan psikologis, dan akibat diet.
Selain meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja pada kelompok usia produktif, pada orang lanjut usia yang mengalami nokturia berat (terbangun lebih dari tiga kali semalam) risiko kematiannya meningkat setidaknya dua kali lipat dibanding penderita nokturia lebih ringan.
Hasil survei gangguan saluran kemih bagian bawah di tujuh kota di Indonesia mendapatkan, angka kejadian nokturia 61 persen.
Menurut dokter spesialis urologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Harrina Erlianti Rahardjo, yang juga Ketua Indonesian Society of Female and Functional Urology (Ina-SFFU), cabang keseminatan urologi dengan fokus bidang fungsional urologi, hasil survei gangguan saluran kemih bagian bawah di tujuh kota di Indonesia mendapatkan, angka kejadian nokturia 61 persen. Survei yang dilakukan di rumah sakit pendidikan itu melibatkan 1.555 peserta usia 18-92 tahun dengan rerata usia 57 tahun. Nokturia terbanyak dikeluhkan oleh peserta usia 55-65 tahun.
Dalam konferensi pers virtual Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) dan Ina-SFFU, Jumat (18/12/2020), Ketua IAUI Nur Rasyid menyatakan, IAUI dan Ina-SFFU bersama dokter spesialis bidang lain membuat pedoman untuk diagnosis dan tata laksana nokturia. Hal itu diharapkan membantu dokter spesialis dan dokter umum menegakkan diagnosis serta merencanakan terapi untuk mengatasi gejala nokturia dan meningkatkan kualitas hidup penderita.
Harrina memaparkan, dokter akan melakukan wawancara, sejumlah pemeriksaan fisik dan laboratorium, serta meminta penderita membuat catatan harian berkemih. Hal itu untuk membantu menegakkan diagnosis nokturia dan penyebabnya.
Terapi dilakukan lewat intervensi gaya hidup, seperti membatasi konsumsi garam, protein, kalori untuk mencegah obesitas dan diabetes, membatasi asupan cairan di sore dan malam hari, konsumsi alkohol dan kafein, serta diet dengan kalori seimbang. Selain itu, ada latihan otot dasar panggul untuk nokturia akibat kandung kemih overaktif dan pembesaran prostat. Meninggikan tungkai bawah setelah makan sampai waktu tidur serta mengenakan stoking kompresi untuk mengurangi bengkak di tungkai bawah dan mata kaki juga dapat mengurangi gejala. Jika tidak ada perbaikan, akan diberikan obat yang disesuaikan kondisi pasien.
Dokter konsultan endokrin metabolik diabetes, Dyah Purnamasari dari FKUI-RSCM, mengatakan, prevalensi nokturia pada penyandang diabetes dilaporkan 59,6 persen dan nokturia berat 25,3 persen.
”Kejadian dan keparahan nokturia meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan adanya kandung kemih yang overaktif. Faktor penyebab lain adalah obat tekanan darah tinggi tertentu, riwayat stroke, obesitas, gangguan fungsi ginjal, kadar hormon testosteron rendah, dan infeksi. Nokturia berat meningkatkan risiko kematian 1,9-3 kali lipat pada orang lanjut usia,” ujarnya. ”Pendekatan komprehensif diperlukan untuk mengatasi, terutama pengendalian kadar gula darah yang optimal.”
Mengompol pada anak
Salah satu masalah pada anak adalah enuresis, yakni mengompol saat tidur malam hari pada anak berusia lima tahun atau lebih. ”Mengompol terkait proses tumbuh kembang. Kemampuan mengontrol berkemih saat sadar dan tidur merupakan tahap terakhir, yakni pada anak usia empat tahun. Jika usia lima tahun masih mengompol, sudah tidak wajar,” kata Irfan Wahyudi, Ketua Departemen Urologi FKUI-RSCM.
Prevalensi nokturnal enuresis di dunia bervariasi. Hingga usia tujuh tahun, prevalensinya 5-10 persen. Usia remaja 3 persen dan pada orang dewasa tinggal 0.5-1 persen. Di Indonesia, prevalensi enuresis 2,3 persen. Laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
Selain itu, adanya gangguan sistem saraf dalam mengendalikan kandung kemih, gangguan struktur saluran kemih, kapasitas kandung kemih kecil, genetik, konstipasi, infeksi saluran kemih, diabetes, ataupun kelainan pada hormon antidiuretik (arginin vasopresin).
Seharusnya pada malam hari, hormon yang bertugas menyerap air ke ginjal ini meningkat sehingga produksi urine menurun. Pada 2/3 kasus anak enuresis, hormon arginin vasopresin rendah pada malam hari. Untuk terapi, diberi obat desmopresin yang merupakan analog hormon itu.
Terapi lain adalah perbaikan gaya hidup dengan mengurangi konsumsi garam dan protein yang dapat meningkatkan produksi urine serta mengurangi asupan cairan pada malam hari dan makanan-minuman yang mengandung kafein (kopi, teh, cokelat, matcha, dan cola). Berikutnya, mengingatkan anak untuk berkemih sebelum tidur, memberi penghargaan jika tidak mengompol, serta terapi alarm, yakni anak dibangunkan pada waktu tertentu untuk berkemih.
Akibat enuresis, kepercayaan diri anak bisa menurun, menarik diri dari lingkungan, serta mengalami gangguan emosi dan kesehatan. Dengan terapi sesuai dengan penyebabnya, enuresis bisa diatasi sehingga anak bisa tumbuh kembang dengan baik dan bahagia.