Vaksin gratis untuk mengatasi pandemi Covid-19 disambut gembira warga. Selain persoalan biaya, dibutuhkan juga transparansi dari pemerintah terkait pemilihan vaksin yang akan diberikan ke semua warga.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya menggratiskan vaksinasi Covid-19 untuk seluruh masyarakat. Kebijakan ini disambut baik sebagian warga. Namun, pemerintah diminta menambah pilihan vaksin dan jangan hanya bergantung pada vaksin dari Sinovac Biotech yang belum selesai menjalani proses uji klinis.
Presiden Joko Widodo, Rabu (16/12/2020), melalui akun Youtube Sekretariat Presiden menyampaikan, vaksin Covid-19 diberikan secara gratis ke masyarakat. Kebijakan ini ditempuh setelah menerima masukan dari masyarakat dan menghitung ulang keuangan negara.
Presiden memerintahkan kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah memprioritaskan anggaran 2021 untuk vaksinasi Covid-19. Dia juga meminta Kementerian Keuangan untuk melakukan realokasi pos anggaran lain untuk mendukung pembiayaan vaksin gratis.
Setelah rangkaian uji klinis selesai, Presiden akan menjadi orang pertama yang diberi vaksin. Ini untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa vaksin yang digunakan aman.
Merespons hal itu, Maria Nanik Rahayu (30), warga Pekanbaru, Riau, merasa sangat senang. ”Alhamdulillah, semoga kebijakan ini mempercepat pengendalian virus korona,” kata pedagang tumpeng yang usahanya terimbas pandemi Covid-19 ini.
Sebelum vaksin gratis untuk seluruh masyarakat diumumkan, pemerintah menyiapkan dua program vaksinasi, yakni vaksin mandiri atau berbayar dan vaksin bantuan dari pemerintah. Vaksin bantuan diprioritaskan untuk tenaga kesehatan, pelayan publik, dan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan penerima bantuan iuran.
Nanik dan suami awalnya juga bersedia mengikuti vaksin mandiri asalkan biaya per dosis tak terlalu mahal. Sebagai pedagang, pemberian vaksin akan membuatnya lebih leluasa untuk menjalankan usaha di luar rumah.
Saat ini, Nanik hanya berjualan tumpeng di rumah. Dia mengandalkan order melalui media sosial. Namun, selama pandemi, pesanan sangat sepi. Nanik pernah membuka gerai di salah satu mal di Pekanbaru tiga bulan sebelum Covid-19 merebak di Tanah Air.
Di mal, Nanik tak membayar sewa tempat karena sistemnya bagi hasil. Dia hanya membayar biaya listrik setiap bulan serta memberikan deposit Rp 2,5 juta untuk satu tahun kontrak.
”Ketika Covid-19, mal sempat tutup. Aku putuskan mundur dari kontrak dengan risiko deposit hangus. Tidak apa-apalah daripada berjualan tapi tidak ada yang beli,” ujarnya. Setelah program vaksinasi mulai berjalan, Nanik berencana membuka dagangan di mal lagi.
Dila Anindita (32), warga Bandung, Jawa Barat, termasuk salah satu orang yang mendorong penyediaan vaksin gratis. Sebelum Presiden mengumumkan kebijakan vaksin gratis, Dila tak menerima pembedaan perlakuan terhadap warga negara terkait akses vaksin.
”Sekarang, vaksin sudah gratis, alhamdulillah. Tetapi, yang jadi masalah, vaksin mana, nih, yang tetap digunakan? Apakah tetap vaksin yang belum jelas kerjanya itu (Sinovac) atau pakai vaksin lain yang sudah teruji?” tanya lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, ini.
Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9860 Tahun 2020, pelaksanaan vaksinasi masih menunggu izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat (emergency use authorization) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Indonesia menggunakan vaksin Covid-19 dari Sinovac.
Febrian Bartes (32), warga Tanah Datar, Sumatera Barat, menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait vaksinasi. Ini karena pengetahuannya terkait vaksinasi masih minim. Oleh sebab itu, dia akan mengikuti setiap program yang dibuat pemerintah.
”Karena enggak ada pengetahuan tentang Covid-19 dan semua kerumitannya, aku putuskan ikut apa kata pemerintah saja. Kalau memang solusinya adalah vaksin, aku bakal ikut,” kata aparatur sipil negara ini.
Sekarang, vaksin sudah gratis, alhamdulillah. Tetapi, yang jadi masalah, vaksin mana, nih, yang tetap digunakan? Apakah tetap vaksin yang belum jelas kerjanya itu (Sinovac) atau pakai vaksin lain yang sudah teruji?
Yulvia (30), warga Bekasi, Jawa Barat, berpendapat, vaksin merupakan bagian dari hak dasar warga, yakni hak kesehatan. Oleh sebab itu, biaya vaksin sudah semestinya ditanggung negara.
Vaksin berbayar yang sebelumnya dicanangkan pemerintah, katanya, hanya membuat kelompok menengah bawah makin bebal terhadap pandemi Covid-19. Dengan estimasi harga mencapai ratusan ribu rupiah, vaksin akan menjadi barang mewah bagi mereka.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Tauhid Ahmad, kapasitas fiskal pemerintah cukup untuk menggratiskan biaya vaksin jika pemerintah mau memberikan prioritas. Anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional pada 2020 yang belum terserap bisa dialokasikan untuk pengadaan, distribusi, dan vaksinasi.
Dalam ABPN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan Rp 169,7 triliun dengan Rp 40,5 triliun di antaranya untuk pengadaan vaksin. Sebagai perbandingan, anggaran kesehatan lebih kecil daripara anggaran infrastruktur yang naik drastis 47,2 persen jadi Rp 417,4 triliun. Dengan asumsi harga satu dosis vaksin Rp 450.000, dibutuhkan Rp 144 triliun untuk membeli 320 juta dosis vaksin (dua kali vaksinasi) untuk 160 juta orang. ”Jadi kapasitas fiskal kita masih bisa menanggung vaksinasi gratis,” katanya (Kompas, 15/12/2020).
Terkait uji klinis, hingga kini pihak pengembang vaksin Sinovac belum merilis data kemanjuran dari vaksinnya. Jadi, belum ada kejelasan dari pihak pengembang terkait dengan efektivitas vaksin bernama Coronavac itu. Sejauh ini, hanya ada pernyataan dari Pemerintah Brasil yang menyatakan vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac merupakan yang paling aman yang pernah diuji di negara tersebut. Meskipun begitu, klaim ini perlu dilihat secara skeptis mengingat Brasil sempat menghentikan sementara proses uji klinis fase ketiga vaksin dari Sinovac, awal November lalu (Kompas, 11/12/2020).
Hasil laporan akhir uji klinis vaksin Covid-19 dari Sinovac di Indonesia dijadwalkan selesai Oktober 2021. Pada Januari 2021 baru selesai uji imunogenisitas pada 540 subyek.
Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil mengatakan, rangkaian uji klinis vaksin sesuai target. Dari hasil sementara uji klinis, vaksin Sinovac tak menunjukkan gejala klinis serius. Namun, tingkat efikasi dan imunogenisitas vaksin belum didapatkan karena masih menanti serangkaian tahapan (Kompas, 16/12/2020).
Anita (32), warga Bogor, Jawa Barat, mengaku terus mengikuti perkembangan uji klinis vaksin tersebut. Apabila pemerintah menyatakan vaksin itu sudah aman, dia dan keluarga bersedia diberi vaksin.