Tetap Terapkan Protokol Kesehatan meski Ada Vaksin
Meski efikasi beberapa vaksin Covid-19 telah diumumkan, efektivitas untuk melindungi masyarakat belum dipastikan. Karena itu, protokol kesehatan harus dilaksanakan untuk memastikan keselamatan kita.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·6 menit baca
Hari Minggu pekan lalu, sebanyak 1,2 juta dosis CoronaVac, vaksin Covid-19 produksi Sinovac Biotech, China, tiba di Indonesia. Menurut rencana, akhir Desember akan datang bahan baku curah untuk diproses Bio Farma menjadi 15 juta dosis. Kemudian, awal Januari tahun depan menyusul 1,8 juta dosis vaksin beserta bahan baku curah untuk diproses menjadi 30 juta dosis.
Vaksin produksi Sinovac menjadi satu dari enam vaksin yang ditetapkan pemerintah untuk digunakan di Indonesia sebagai upaya mengatasi pandemi Covid-19. Vaksin lain ialah produksi AstraZeneca/Oxford, Moderna, Pfizer/BioNTech, China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), serta PT Bio Farma (Persero).
Pemerintah menegaskan penggunaan vaksin Covid-19 hanya bisa dilakukan setelah mendapat izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kini, vaksin Sinovac menunggu hasil kajian ilmiah tim ahli dan evaluasi dari BPOM.
Pemerintah dan sebagian besar masyarakat cenderung mengandalkan vaksin untuk menghentikan pandemi. Sementara sebagian lain meragukan keamanan dan efektivitas vaksin untuk mengendalikan virus dalam waktu singkat.
Tidak berarti vaksin 100 persen aman dari efek samping.
Dari segi keamanan, meski dikembangkan secepat mungkin, vaksin Covid-19 hanya akan mendapat persetujuan jika memenuhi standar ketat terkait dengan keamanan dan efikasi. Tidak berarti vaksin 100 persen aman dari efek samping.
”Setiap obat ataupun vaksin tidak terlepas dari efek yang tidak diinginkan,” kata Stephen Evans, Guru Besar London School of Hygiene & Tropical Medicine, Inggris, seperti dikutip BBC, 9 Desember 2020. ”Yang dimaksud aman adalah keseimbangan antara efek tidak diinginkan dibandingkan manfaatnya.”
Ada kejadian tak diinginkan berupa reaksi alergi pada dua tenaga kesehatan yang disuntik dengan vaksin Pfizer di Inggris, Selasa pekan lalu. Beruntung keduanya segera ditangani dan selamat.
Guru Besar Vaksinologi Fakultas Kedokteran Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Paul Offit, seperti dikutip CNN, 10 Desember, menyatakan, reaksi alergi terhadap vaksin tidak jarang terjadi. ”Di Amerika Serikat, reaksi alergi parah terjadi pada satu dari 1,4 juta dosis vaksin (penyakit lain),” ujarnya.
Sampai saat ini, vaksin Pfizer dinilai aman. Ribuan orang divaksinasi dan dalam kondisi baik. Namun, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) dan Badan Pengawas Produk Kesehatan dan Obat (MHRA) Inggris menyatakan, orang dengan riwayat reaksi alergi terhadap vaksin, obat atau makanan, sebaiknya tidak diberi vaksin tersebut.
Pihak Pfizer menyatakan, berdasarkan laporan Komite Pemantau Data independen, vaksin dapat ditoleransi secara baik tanpa masalah keamanan serius pada uji klinis tahap ketiga yang diikuti 43.000 peserta.
Sementara dokumen yang dirilis Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS menyatakan, data uji klinis Pfizer menunjukkan ada sedikit reaksi alergi terhadap vaksin.
Terkait dengan vaksin Sinovac, berdasarkan laporan peneliti China di the Lancet, 17 November 2020, saat uji klinis gabungan tahap pertama dan kedua, ada satu sukarelawan mengalami reaksi alergi parah dalam waktu 48 jam setelah dosis pertama. Menurut para peneliti, ini mungkin terkait dengan vaksin. Sukarelawan tersebut dirawat dan pulih dalam tiga hari. Pada suntikan kedua, sukarelawan itu tidak menunjukkan reaksi alergi.
Efikasi vaksin
Menurut laporan yang sama, titer antibodi yang diinduksi CoronaVac berkisar 23,8-65,4. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang terbentuk pada tubuh penderita Covid-19 (rata-rata 163,7). Namun, para peneliti yakin, CoronaVac dapat memberi perlindungan yang cukup terhadap Covid-19.
Sejauh ini, Sinovac belum mengumumkan hasil uji klinis tahap ketiga vaksin. Menurut rencana, pekan ini mereka akan mengungkapkan.
Bulan lalu, Pfizer dan Moderna melaporkan hasil uji klinis tahap ketiga. Efikasi vaksin mereka masing-masing 94 persen dan 95 persen. Sementara analisis awal dari vaksin AstraZeneca mendapatkan efikasi 70 persen. Badan pengawas obat sejumlah negara dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih mempertimbangkan kelayakan vaksin dengan efikasi 50 persen.
Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dari vaksin, yaitu efikasi atau kemanjuran vaksin dalam melindungi dari penyakit, efek samping yang ada, serta berapa lama antibodi bertahan dalam tubuh.
Kajian dari the New and Emerging Respiratory Virus Threats Advisory Group (NERVTAG), komite ahli yang memberi saran terkait dengan ancaman virus pernapasan bagi Pemerintah Inggris, menyatakan, durasi kekebalan alami ataupun yang diinduksi oleh vaksin Covid-19 belum sepenuhnya dipahami.
Akan tetapi, berdasarkan variabilitas data dan perbedaan respons imun dalam populasi, komite ahli memperkirakan, kekebalan tubuh dapat berlangsung selama 90 hari.
Sementara laporan Alicia Widge dan kolega dari Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional (NIAID), AS, di the New England Journal of Medicine, 3 Desember 2020, menyatakan, tingkat antibodi tetap tinggi selama 90 hari setelah orang menerima dosis kedua pada uji klinis tahap ketiga vaksin Moderna, lalu menurun perlahan. Diharapkan antibodi itu mampu melindungi setidaknya selama enam bulan.
Masalah logistik
Umumnya vaksin harus disuntikkan dua kali untuk mendapatkan tingkat antibodi yang melindungi. Karena itu, sistem rantai dingin untuk penyimpanan dan distribusi vaksin menjadi penting.
Vaksin Pfizer yang menggunakan teknologi baru, materi genetik virus berupa mRNA, harus disimpan pada suhu minus 70 derajat celsius sehingga membutuhkan alat pendingin khusus. Vaksin itu hanya bisa disimpan paling lama lima hari di lemari es biasa.
Vaksin Moderna, yang juga menggunakan mRNA, bisa disimpan hingga 30 hari di lemari es biasa. Untuk bertahan hingga enam bulan, vaksin harus disimpan pada suhu minimal minus 20 derajat celsius.
Adapun vaksin Sinovac dan Sinopharm menggunakan teknologi lama, virus yang diinaktivasi, sehingga bisa disimpan pada suhu 2-8 derajat celsius. Suhu serupa untuk vaksin Cansino yang menggunakan virus flu disisipi fragmen genetik virus korona dan vaksin AstraZeneca dari virus flu yang dilemahkan. Karena itu, vaksin dari keempat produsen sangat diharapkan oleh negara-negara berkembang, di mana sistem rantai dingin masih menjadi masalah.
Oleh karena keterbatasan produksi, jumlah vaksin tidak bisa langsung memenuhi kebutuhan seluruh penduduk dunia. Di semua negara, pemberian vaksin dilakukan bertahap.
Prioritas diberikan kepada tenaga kesehatan yang langsung berhadapan dengan penderita Covid-19, serta orang lanjut usia dan mereka yang memiliki penyakit penyerta. Kemudian secara bertahap pada kelompok usia di bawahnya. Untuk sementara vaksin tidak diberikan kepada anak-anak mengingat uji klinis baru dilakukan kepada orang dewasa.
Inggris melaksanakan vaksinasi bertahap mulai Desember 2020 hingga mencakup seluruh penduduk pada Maret 2021.
Di negara maju, vaksin diberikan secara gratis. Kalaupun ada sedikit biaya administrasi penyuntikan, akan dibayar oleh asuransi kesehatan atau pemerintah.
Meski efikasi, kemampuan vaksin melindungi dalam kondisi ideal, diketahui, informasi masih terbatas terkait dengan efektivitas, kemampuan vaksin untuk mengurangi penularan ataupun keparahan penyakit di masyarakat. Selain itu, belum dipastikan berapa lama antibodi akan terbentuk dan berapa lama akan bertahan dalam tubuh.
Karena itu, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menganjurkan, masyarakat tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan, yakni dengan mencuci tangan secara teratur, menjaga jarak fisik sekitar 2 meter, dan mengenakan masker saat berada di sekitar orang yang tidak kita ketahui status kesehatannya. Jika ada demam, batuk, sesak napas, atau gejala Covid-19 lain, segera periksa ke dokter.