Pengawasan dan Edukasi Dinilai Minim, Kental Manis Masih Dianggap Susu
Hasil penelitian Yaici, PP Aisyah, dan PP Muslimat NU, 1 dari 7 anak di Indonesia mengonsumsi produk kental manis setidaknya sekali dalam sehari. Ada juga 28,96 persen responden ibu menyatakan kental manis sebagai susu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman masyarakat akan peruntukan kental manis sebagai bahan makanan masih kurang. Tidak sedikit orangtua yang masih memberikan produk kental manis pada anaknya sebagai pengganti susu pertumbuhan. Padahal, konsumsi kental manis yang berlebihan dapat menyebabkan malanutrisi dan gangguan kesehatan jangka panjang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (Yaici) bersama dengan PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU, satu dari tujuh anak di Indonesia mengonsumsi produk kental manis setidaknya sekali dalam sehari. Selain itu, 28,96 persen dari ibu yang menjadi responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan.
Ketua Harian Yaici Arif Hidayat, di Jakarta, Jumat (11/12/2020), mengatakan, penelitian itu juga menunjukkan bahwa kategori usia anak yang paling banyak mengonsumsi kental manis adalah usia 3-4 tahun, yakni 26,1 persen. Sementara itu, pada usia 2-3 tahun 23,9 persen, usia 1-2 tahun 9,5 persen, dan usia 5-4 tahun 15,8 persen.
Bahkan, informasi yang salah itu juga didapatkan dari tenaga kesehatan. (Arif Hidayat)
”Kesalahan peruntukan produk kental manis sebagai minuman pengganti susu pertumbuhan terjadi karena rendahnya literasi gizi di masyarakat. Sementara itu, masih banyak informasi yang salah yang disampaikan kepada masyarakat lewat berbagai media. Bahkan, informasi yang salah itu juga didapatkan dari tenaga kesehatan,” katanya.
Dari penelitian itu menyebutkan, 48 persen ibu yang menjadi responden mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak dari media, baik media cetak, elektronik, maupun media sosial. Selain itu, 16,5 persen ibu juga mengatakan informasi tersebut juga didapatkan dari tenaga kesehatan.
Karena itu, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Chairunnisa menuturkan, edukasi secara masif tentang peruntukan produk kental manis, terutama pada ibu dengan bayi dan anak balita, perlu dilakukan. Masyarakat perlu paham bahwa kental manis tidak baik diberikan pada bayi dan anak balita, apalagi digunakan sebagai pengganti susu pertumbuhan.
Pengawasan dalam penyiaran iklan produk kental manis harus ditingkatkan lagi. Ini merujuk pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam aturan itu disebutkan, pelaku usaha dilarang menggambarkan produk kental manis sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan iklan produk kental manis juga dilarang menampilkan anak di bawah usia lima tahun.
Selain itu, pada label produk kental manis juga wajib mencantumkan peringatan berupa tulisan ”perhatikan! tidak untuk menggantikan air susu ibu”, ”tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan”, dan tulisan ”tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.
”Badan POM juga diharapkan lebih tegas terkait batasan usia untuk konsumsi produk kental manis pada balita selepas pemberian ASI di usia dua tahun. Monitoring dan evaluasi yang berhubungan dengan penyimpangan konsumsi kental manis di masyarakat juga perlu diperkuat,” kata Chairunnisa.
Dosen Program Studi Gizi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Tria Astika Endah Permatasari, menuturkan, anak balita yang mengonsumsi kental manis rentan mengalami malanutrisi, baik gizi kurang maupun gizi berlebih. Kental manis mengandung lebih dari 50 persen gula.
Jika kental manis diberikan sebagai produk tunggal, anak dapat mengalami gizi buruk. Sementara jika diberikan berlebihan juga dapat memicu terjadinya obesitas.
”Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya kental manis meningkatkan konsumsi kental manis secara terus-menerus,” katanya.
Selain dapat menyebabkan kekurangan gizi, konsumsi kental manis juga dapat memicu terjadinya masalah kesehatan gigi dan mulut. Secara jangka panjang, kata dia, bisa menyebabkan anak mengalami penyakit degeneratif seperti diabetes dan obesitas.