Menyebabkan Gangguan Hormonal, Paparan Bisphenol-A Perlu Diminimalkan
BPA telah lama diketahui bisa membahayakan bagi anak-anak jika dikonsumsi dalam jumlah tinggi. Namun, jika terpaksa tetap memakai produk ber-BPA, risiko masih bisa diminimalkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Senyawa Bisphenol-A alias BPA yang banyak digunakan untuk melapisi kemasan dan peralatan makan telah lama diketahui berisiko bagi kesehatan jika terkonsumsi dalam jumlah banyak. Risikonya lebih rentan terjadi pada ibu hamil dan anak-anak. Pencegahan paparan BPA bisa dilakukan dengan sejumlah cara.
BPA banyak digunakan untuk melapisi plastik jenis polikarbonat (PC) atau resin epoksi yang biasa melapisi bagian wadah logam. BPA, yang antara lain umum ditemui di botol susu bayi, empeng, alat makan, tempat penampungan air, kertas struk, hingga alat elektronik, membuat permukaan barang yang dilapisinya menjadi kaku dan awet.
Dokter spesialis anak dan ahli neonatologi dari Mayapada Hospital Kuningan, Daulika Yusna, menyebut, paparan BPA dalam jumlah tinggi bisa menyebabkan gangguan hormonal di tubuh. Kelompok orang yang paling rentan adalah anak-anak dan ibu hamil.
”Sebuah review sistematik tahun 2019, yang menganalisis kumpulan berbagai studi, meneliti ibu-ibu yang hamil dengan memeriksa kadar BPA mereka. Anak-anak mereka yang lahir dan tumbuh ternyata ditemukan memiliki perubahan perilaku,” tuturnya dalam webinar ”Dari Rumah Mengenal BPA pada Kemasan Makanan”, Jumat (11/12/2020).
Pada anak-anak dengan kadar BPA tinggi, banyak ditemui gangguan perilaku, seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), hiperaktif, gangguan cemas, dan gangguan perilaku lainnya. Gangguan perilaku juga dilaporkan sebuah penelitian tahun 2016 terdeteksi pada ibu hamil dua bulan.
Selain gangguan perilaku, banyak penelitian menyebut BPA berpengaruh pada kejadian obesitas, gangguan jantung, hingga kanker.
Dokter spesialis kandungan Darrell Fernando dari rumah sakit sama menyebut, risiko keracunan BPA pada organ reproduksi orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan yang mengandung, bisa diabaikan dibanding pada bayi dan anak-anak yang sedang dalam masa tubuh kembang.
”Untuk orang dewasa tidak terlalu berbahaya, tetapi kalau bisa dihindari,” katanya pada kesempatan sama.
Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Azis Boing Sitanggang, menjelaskan, BPA bisa membahayakan jika masuk ke dalam tubuh dalam jumlah banyak. Beberapa studi menyebut, nilai batas kadar BPA yang aman di dalam tubuh adalah 50 µg per kilogram berat badan per hari.
Untuk mengetahui kadar BPA di tubuh perlu pemeriksaan khusus. Oleh karena itu, lebih baik menghindarinya. Jika tidak bisa menghindari barang-barang mengandung BPA, barang-barang tersebut bisa tetap digunakan asalkan diperlakukan sebaik mungkin untuk menghindari migrasi atau lepasnya senyawa tersebut.
”Migrasi BPA ke bahan makanan atau minuman dipengaruhi lama waktu penyimpanan, sifat makanan, dan suhu,” ujarnya.
Beberapa cara untuk menghindari migrasi BPA, menurut dia, dengan menghindari pemanasan. Pemanasan dalam proses sterilisasi, misalnya, bisa digantikan dengan metode penyinaran sinar ultraviolet (UV).
Kedua, tidak menyikat atau mencuci peralatan ber-BPA terlalu keras. Pasalnya, kerusakan permukaan barang bisa melepas lebih banyak BPA. Ia juga menyarankan agar penggunaan barang-barang BPA sebaiknya dikurangi frekuensinya.
Mengganti produk BPA ke produk bebas BPA, seperti polystyrene (PS), jenis plastik yang memiliki simbol dengan kode angka 5 dan kode PP, juga direkomendasikan. Namun, tetap penggunaan plastik, khususnya untuk wadah makanan dan minuman, harus lebih diperhatikan dan sering diganti 3-6 bulan sekali.