Pakar dan tenaga kesehatan menilai perlu adanya standardisasi alat tes PCR. Tanpa ada standardisasi, harga tes PCR dikhawatirkan akan jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah dan pelayanan tidak optimal.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/DHANANG DAVID ARITONANG/IRENE SARWINDANINGRUM/KURNIA YUNITA RAHAYU/HARRY SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Standardisasi alat pengujian sampel tes dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR dibutuhkan dalam penanganan pandemi Covid-19. Sebab, alat PCR yang tersedia saat ini sangat beragam. Pengadaan mesin PCR menentukan kebutuhan lain seperti alat penunjang hingga biaya operasional. Dengan adanya standardisasi, diharapkan pelayanan dapat lebih optimal.
Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ibnu Sina, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, misalnya, terdapat mesin PCR yang akhirnya tidak terpakai karena kebutuhan alat yang berbeda. Rumah sakit tipe B yang jadi rujukan di Gresik ini memiliki dua mesin tes PCR. Mesin pertama adalah mesin yang dibeli dengan APBD Kabupaten Gresik sebesar Rp 3,2 miliar bermerek Abbott. Mesin buatan Amerika Serikat ini, memiliki kapasitas tes hingga 94 sampel per hari.
Tak hanya itu, mesin ini juga bisa digunakan untuk uji sampel HIV AIDS dan Hepatitis. Mesin ini tidak perlu alat penunjang tambahan seperti Uninterruptible Power Supply (UPS) agar bisa beroperasi. Sebelum membeli sendiri, RSUD Ibnu Sina sempat memperoleh bantuan mesin PCR dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mesin itu bermerek MIC, buatan Korea Selatan, dengan kapasitas 22 sampel sekali jalan.
Namun beberapa waktu kemudian, mesin bantuan dari BNPB itu tak lagi beroperasi karena kerusakan optik. Sehingga BNPB memberikan mesin baru sebagai pengganti. Namun, mesin bermerek Heal Force ini tidak menyelesaikan masalah karena berbeda spesifikasi dan membutuhkan alat pendukung baru yakni Unit Power Supply (UPS).
Mesin sebelumnya berdaya listrik 750 watt, sedangkan mesin baru pengganti ini memerlukan daya listrik sebesar 3.000 watt.“Karena keterbatasan dana, saya pikir lebih baik jalan satu mesin dulu saja yang kami beli sendiri itu,” ujar Direktur RSUD Ibnu Sina Gresik Endang Puspitowati, saat ditemui, awal November.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Indonesia Aryati menilai, hingga kini belum ada standardisasi mesin PCR yang digunakan. PAdahal, searusnya ada standar yang membuat pelayanan menjadi lebih optimal.
Aryati menjelaskan, standardisasi belum terpikirkan sebelumnya, sebab, sebelum pandemi, mesin yang ada di laboratorium biasanya digunakan hanya untuk mengukur kadar gula dan kolesterol.
Saat ini, dia telah berkomunikasi dengan jejaring tenaga patologi klinik di berbagai daerah. Ia tengah mendata jenis dan kemampuan masing-masing mesin PCR yang ada di daerah. “Kami data teman-teman dari Aceh, Ternate, sampai Papua. Kami ingin petakan. Alat PCR-nya pakai merek apa? Reagennya apa? Berapa kapasitasnya? Berapa lama mereka bekerja?” ucap Aryati.
Harga mahal
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menjelaskan, belum terstandardisasi-nya perlengkapan untuk tes PCR membuat harga tes PCR bisa beragam di berbagai fasilitas kesehatan. “Kalau semua sudah ada standarnya, kan tidak akan beda jauh harganya. Apakah pelayanan di swasta atau pemerintah, itu mungkin juga ada cost-cost (biaya) yang ditambahkan yang membuat jadi mahal juga,” ujar Pandu.
Mulai 5 Oktober, pemerintah menetapkan tarif maksimal tes PCR sebesar Rp 900 ribu. Hal ini ditetapkan melalui Surat Edaran HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang ditandatangani oleh Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir.
Direktur PT Farmalab Indoutama Arie Genipa Suhendi menjelaskan, dengan tarif Rp 900 ribu sudah cukup untuk membiayai pembelian reagen, alat tes PCR, dan memberi insentif tambahan kepada tenaga kesehatan. Bahkan, nilai Rp 900 ribu itu juga bisa memberikan margin keuntungan bagi pengusaha laboratorium dan fasilitas kesehatan.
“Dengan tarif Rp 900 ribu itu ‘makan enak’, artinya margin yang dagingnya juga besar. Saya yakin pemerintah tetapkan harga segitu sudah sangat lazim kalau ada margin untuk perusahaan,” kata Arie.
Farmalab adalah perusahaan yang menyediakan jasa tes PCR dengan kapasitas sekitar 5.000-7.500 sampel per hari. Cucu usaha dari BUMN PT Indofarma Tbk ini, menyediakan tes PCR dengan tarif Rp 600 ribu dan Rp 885 ribu per pengambilan sampel.
Bahan baku tes PCR mulai dari reagen, mesin PCR, mesin ekstraksi yang dipasok dari anak usaha PT Indofarma yang lain, membuat Farmalab bisa menyediakan harga tes PCR yang dibawah tarif maksimal.
Arie mengatakan, reagen dan mesin PCR juga harus dipastikan cocok. Selain itu kontinuitas pasokan reagen juga penting sehingga tidak akan ada kendala untuk tes masif. “Sejak awal distribusi sampai sekarang, kami konsisten menggunakan reagen dan mesin yang sama yang dipasok dari induk usaha kami. Karena kalau satu mesin pakai reagen jenis berbeda-beda, itu berpengaruh terhadap hasil,” ujar Arie.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Slamet mengakui, sejauh ini belum ada standardisasi alat tes PCR, Sejauh alat tersebut dapat mendiagnosis Covid-19, tetap diperbolehkan.
Menurut Slamet, pemerintah sempat melonggarkan kebijakan impor alat kesehatan pada awal pandemi karena kebutuhan alat tes Covid-19 yang besar. Setelah kebutuhan alat tes itu terpenuhi, Kementerian Kesehatan lalu memberlakukan kembali aturan bahwa importir alat kesehatan hanya yang sudah memiliki izin edar.