Daerah Abaikan Tes PCR Masif
Jumlah tes PCR di beberapa daerah di Indonesia masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia. Padahal, tersedia anggaran, infrastruktur, dan sumber daya untuk tes PCR masif.
JAKARTA, KOMPAS - Memasuki sembilan bulan pandemi Covid-19, jumlah pemeriksaan dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR di Indonesia masih menjadi salah satu yang terendah di dunia. Penelusuran Kompas di sejumlah daerah menemukan pemerintah setempat mengabaikan pelaksanaan tes PCR masif untuk mendeteksi kasus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan rasio pemeriksaan PCR 1 tes per 1.000 populasi setiap pekan. Dari data Satgas Penanganan Covid-19 per 1 Desember 2020, Indonesia hanya mampu melakukan sekitar 242.000 tes setiap pekan atau 90,6 persen dari standar WHO yakni 267.700 tes per minggu. Indonesia pun hanya menempati urutan ke-160 dari 220 negara dalam hal jumlah tes per populasi.
Padahal kunci penanganan pandemi Covid-19 adalah tes PCR yang masif (testing), pelacakan kasus (tracing), dan perawatan disertai isolasi (treatment) yang disebut 3T.
Salah satu daerah yang angka tes PCR-nya rendah adalah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada minggu keempat Oktober, tes PCR di Banjarnegara hanya 16 persen dari standar WHO atau baru 151 tes PCR per pekan dari semestinya 928 tes per pekan.
Saat ditelusuri lebih lanjut, kondisi tersebut salah satunya dipicu minimnya anggaran penanganan Covid-19 bidang kesehatan dan komitmen kepala daerah untuk serius menangani pandemi di wilayahnya. Data Kementerian Dalam Negeri mencantumkan, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara menetapkan besaran realokasi anggaran penanganan Covid-19 Rp 149,9 miliar atau sekitar 7,5 persen dari total APBD.
Dari jumlah tersebut sebesar Rp 13,7 miliar di antaranya untuk penanganan bidang kesehatan yang kemudian hanya terealisasi Rp 7,5 miliar hingga pertengahan November 2020. Artinya, pengeluaran bidang kesehatan dalam penanganan Covid-19 di Banjarnegara hingga November hanya 0,3 persen dari total APBD (Rp 2,01 triliun). Hal ini berpangkal dari kebijakan kepala daerah dalam menangani pandemi.
Bukan prioritas
Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono menyatakan, tes PCR masif tidak menjadi prioritas dalam penanganan pandemi di Banjarnegara. Hanya warga yang memeriksakan diri ke rumah sakit dan bergejala yang akan dites. Sebab, tes PCR masif hanya menghabiskan anggaran.
“Kita lakukan swab (PCR) yang betul-betul sudah ada di rumah sakit. Lha kalau orang-orang di jalan di-swab terus negatif semua, duit dibuangi. Satu swab PCR berapa..? Rp 900 ribu. Duitnya siapa itu, kita harus pakai otak,” ujar Budhi Sarwono saat ditemui Kompas di rumah dinasnya di Banjarnegara, Jumat (6/11/2020).
Bahkan, Budhi tidak mempersoalkan jika jumlah tes PCR di Banjarnegara masih jauh dari standar WHO dalam penanganan pandemi. “Nggak masalah. Lha apa duitnya mau dibeliin swab terus..? Kita kan harus berinovasi. Wong dengan swab juga enggak sembuh,” ucap Budhi.
Sebagai gambaran, data sampel PCR dari Banjarnegara yang dikirim ke laboratorium RSUD Margono Soekarjo Banyumas dari 26 Oktober-1 November 2020 hanya 200 sampel. Padahal kapasitas laboratorium RSUD Margono mampu memeriksa 2.000 sampel perhari. Laboratorium ini menerima sampel dari empat kabupaten yakni Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.
Alhasil, di tengah wabah yang terus mengancam, pengambilan sampel tes PCR masih menjadi hal yang jarang ditemui di Banjarnegara. Puskesmas tidak menerima pelayanan tes PCR. Warga dapat melakukan tes ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hj Anna Lasmanah Banjarnegara jika disertai gejala.
Baca juga : Mahal dan Sulitnya Tes PCR bagi Warga
Tergantung kebijakan
Kondisi yang kontras terjadi di Purbalingga. Dalam dua bulan terakhir, jumlah tes PCR di Purbalingga terus dipacu hingga akhirnya melesat melampaui standar WHO. Padahal, sebelumnya, jumlah tes PCR di Purbalingga juga salah satu yang terendah di Jawa Tengah.
Pada Juni 2020, jumlah tes PCR di Purbalingga hanya 207 tes sebulan atau rata-rata 52 tes per pekan. Padahal, seharusnya 943 tes per pekan sesuai standar WHO. Pada Agustus, jumlah tes juga baru 287. Peningkatan jumlah tes PCR mulai terjadi akhir September. Sebagai perbandingan, selama 1-21 Oktober jumlah tes PCR di Purbalingga mencapai 1.698 tes atau rata-rata 566 tes per pekan. Jumlah tes ini meningkat hampir 10 kali lipat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Hal ini terjadi setelah tampuk kepemimpinan Purbalingga dipegang Sarwa Pramana selaku penjabat sementara bupati sejak akhir September. Adapun Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi sedang dalam masa cuti kampanye hingga 5 Desember 2020 karena maju kembali dalam pilkada.
Begitu dikukuhkan sebagai Pjs Bupati Purbalingga, Sarwa Pramana langsung menginstruksikan tes PCR secara masif. Anggaran penanganan Covid-19 difokuskan untuk kepentingan pengetesan, penelusuran kasus, dan penyiapan ruang isolasi bagi pasien.
Untuk itu, setiap Puskesmas di Purbalingga ditarget melakukan 56 tes PCR per pekan demi mengejar target sesuai standar WHO, yakni 943 tes PCR per pekan. Ada 22 Puskesmas di Purbalingga. Penelusuran kontak erat diperketat. Pelacakan kasus yang tadinya melalui tes antibodi diganti dengan tes PCR. "Kebijakan yang saya ambil setelah saya masuk, melaksanakan perintah presiden, mendagri, dan juga gubernur untuk melakukan testing dan treatment memenuhi standar WHO,” ujar Sarwa.
Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga Hanung Wikantono mengungkapkan, setelah Pjs Bupati Purbalingga menjabat kebijakan penanganan Covid-19 diarahkan untuk menggalakkan tes PCR. Dengan tes PCR yang masif, penanganan Covid-19 jadi lebih terarah karena dapat terpetakan kondisi sebenarnya. “Akhirnya kita menambah tenaga, sumber daya, kemudian juga logistik. sehingga kita bisa memenuhi itu setiap minggu rata-rata 1.200 orang. Kemudian dari situ lah maka mulai tampak pemetaannya secara signifikan,” ujar Hanung.
Baca juga : Nomor Pribadi pun Jadi Call Center Covid-19
Kepala Badan Keuangan Daerah Purbalingga Subeno menjelaskan, pada saat awal pandemi, realokasi anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp 52,5 miliar, dibagi untuk sektor kesehatan Rp 25,6 miliar, jaring pengaman sosial Rp 23,7 miliar, dan stimulus ekonomi Rp 3,2 miliar.
Namun, anggaran untuk kesehatan dipangkas menjadi Rp 12 miliar pada saat APBD Perubahan sehingga prioritas penanganan diarahkan ke jaring pengaman sosial. Kini anggaran untuk penanganan Covid-19 tersisa Rp 5,4 miliar.
“Dari sisa anggaran itu, Rp 4,4 miliar difokuskan untuk testing, tracing, treatment tadi. Sedangkan Rp 1 miliar lagi untuk cadangan kalau ada bencana lain. Jadi untuk saat ini prioritas kita di kesehatan,” kata Subeno.
Secara terpisah, Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi mengakui, saat awal pandemi hingga dirinya cuti untuk pilkada, tidak menginstruksikan tes PCR masif di Purbalingga sehingga tes PCR di Purbalingga sempat rendah. “Karena dulu instruksi dari pusat memang untuk dilakukan rapid test massal di tempat-tempat keramaian jadi kita mengikuti itu,” ucap Dyah, yang ditemui saat cuti untuk kampanye pilkada, awal November.
Selain itu, kata Dyah, dirinya tidak memberikan target jumlah tes PCR karena penerapan tes PCR masif itu memiliki konsekuensi semakin banyak orang yang terdeteksi Covid-19. Untuk itu, Pemkab Purbalingga harus memperhitungkan ketersediaan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit. “Target tes itu perlu diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan. Semakin banyak orang yang positif kemudian tidak bisa dirawat di rumah sakit, kita juga akan kewalahan,” tutur Dyah.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengaku terus mendorong pemerintah kabupaten/kota yang jumlah tes PCR-nya masih jauh dari standar WHO untuk meningkatkan jumlah tes. Dia menginstruksikan jajarannya untuk menanyakan hal yang perlu dibantu kepada pejabat daerah terkait. “Ini harus dipaksa. Didatangi dan didampingi. Saya pernah bilang ke mereka (pejabat daerah). Kalau anda biarkan saja seolah tidak ada apa-apa, ini bahaya,” kata Ganjar.
Rendahnya tes PCR karena pemerintah daerah abai juga terjadi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selama Maret sampai awal Oktober, jumlah tes PCR di Bogor baru 21.986 tes. Padahal, untuk memenuhi standar WHO, jumlah tes PCR di Bogor semestinya lebih dari 5.900 tes per pekan.
Pemerintah Kabupaten Bogor tidak menggelar tes PCR masif untuk melacak kasus. Puskesmas tidak melayani tes PCR. Sebab, tes PCR hanya dilayani di empat RSUD yang ada di Bogor, yakni RSUD Cibinong, Ciawi, Cileunyi, dan Leuwiliang. Warga hanya dapat tes PCR di RSUD jika hasil tes cepat antibodinya reaktif dengan dipungut biaya Rp 200 ribu.
Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Achmad Zaenudin menilai, akan terjadi pemborosan anggaran dengan pengadaan reagen dan alat PCR jika tes PCR dan penelusuran kontak erat terus dilakukan. "Untuk pengadaan alat PCR saja butuh biaya sekitar Rp 3,5 miliar, belum lagi reagen yang bahannya habis sekali pakai. Kalau semua masyarakat diperiksa, mau berapa pun biayanya akan habis itu (uang) dan tidak berdampak apa-apa," ucap Achmad.
Anggaran dipotong
Adapun di Sampang dan Pamekasan, Jatim, realokasi anggaran penanganan Covid-19 dipangkas saat APBD Perubahan. Padahal, jumlah tes PCR di dua kabupaten tersebut masih sangat rendah.
Pemkab Pamekasan memotong dari Rp 99 miliar menjadi Rp Rp 63 miliar pada APBD perubahan 2020 yang disahkan pada 23 Oktober 2020. Adapun Pemkab Sampang memotong anggaran realokasi untuk penanganan dampak Covid dari Rp 137 miliar menjadi Rp 100 miliar dalam APBD 2020 Perubahan Sampang yang disahkan 15 Oktober lalu.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Keuangan Daerah Pamekasan Sahrul Munir menyebutkan, pemotongan anggaran penanganan dampak Covid dilakukan karena pandemi Covid sudah melandai penularannya. Sehingga, sejumlah kegiatan tidak lagi dilakukan, di antaranya penyekatan pintu-pintu masuk ke Pamekasan dan penyemprotan untuk sterilisasi. Anggaran realokasi yang dipotong dikembalikan ke anggaran program kegiatan.
Secara terpisah, Kepala Bidang Perbendaharaan Badan Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sampang Laili Akmaliyah mengatakan, realokasi pertama pada APBD 2020 di belanja tak terduga (BTT) yang semula Rp 2 miliar menjadi Rp 137 miliar untuk penanganan Covid-19.
Namun, realokasi anggaran itu tidak akan terealisasi semua sehingga dipangkas menjadi Rp 100 miliar. Anggaran sebesar Rp 37 miliar dikembalikan untuk program kegiatan di dinas-dinas terkait.
Berdasarkan data Satuan Gugus Tugas covid-19 Jawa Timur di infocovid19.jatimprov.go.id, hingga Sabtu (14/11/2020), jumlah tes di Pamekasan hanya 752 tes PCR sejak 3 November. Hingga dua pekan kemudian, angka itu juga tak bertambah. Sesuai standar WHO, jumlah tes seharusnya 863 orang per pekan. Adapun di Sampang, jumlah tes hingga Sabtu (14/11/2020), hanya terdata 577 tes PCR dari semestinya 959 tes per pekan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan Ahmad Marzuki mengatakan, rata-rata jumlah tes PCR di Pamekasan sekitar 10 sampel per pekan. Pengambilan sampel tes PCR dilakukan hanya bila ada pasien yang mengindikasikan tertular Covid-19. Tidak ada tes PCR secara masif.
Komitmen lemah
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito mengakui, peningkatan jumlah tes PCR di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah terkait. Namun, selama ini pemerintah pusat juga terus memenuhi kebutuhan terkait tes PCR maupun penanganan Covid-19 di daerah, mulai dari reagen dan kebutuhan laboratorium.
“Kan tidak semua kepala daerah proaktif. Kalau dia tahu kasusnya segini banyak, maka dia akan usahakan atau lapor ke Satgas juga untuk dapat bantuan,” ujar Wiku yang juga menyebutkan bahwa Satgas tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada daerah yang komitmennya rendah dalam penanganan Covid-19.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng menilai, lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menangani Covid dapat ditunjukkan dengan rendahnya realokasi anggaran penanganan Covid-19, termasuk serapan belanja penanganan Covid-19 yang rendah.
Baca juga : Dalami Modus Intervensi Realokasi Anggaran Covid-19
Padahal, di lain sisi, sebenarnya pemerintah daerah itu mampu secara anggaran. “Jika misalnya pemerintah daerah sengaja menentukan realokasi anggaran untuk Covid-19 itu rendah, maka seharusnya diberikan sanksi. Jangan sampai nanti ada pemerintah daerah menahan anggaran dan kemudian hanya mengandalkan pemerintah pusat saja dalam penanganan Covid-nya,” ucap Robert.
Sesuai ketentuan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/Sj dan Nomor 117/KMK.07 Tahun 2020, pemerintah daerah harus menyesuaikan belanja daerah untuk anggaran penanganan Covid-19. Realokasi anggaran Covid-19 diambil dari rasionalisasi belanja barang/jasa dan belanja modal sebesar 50 persen.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochammad Adrian N menyatakan, SKB Mendagri dan Menkeu mengatur rasionalisasi belanja daerah untuk diarahkan pada realokasi anggaran penanganan Covid-19. Jika rasionalisasi tidak sesuai persentase yang ditentukan, maka pemerintah pusat dapat menunda transfer dana alokasi umum (DAU), seperti pada April silam. “Kalau dari hitungan Kementerian Keuangan, ternyata DAU sudah ditransfer 100 persen maka kita yakini alokasi sudah sesuai semua dengan mandat yang ada di SKB,” kata Adrian.
Terkait dengan masih adanya daerah baik dari sisi realokasi maupun realisasi anggaran penanganan Covid-nya rendah, Adrian menilai, bukan berarti performa penanganan Covid-nya juga lemah. Untuk itu, ada Satgas Penanganan Covid-19 di pusat yang mengevaluasi penanganan covid di daerah. “Begitu karena APBD-nya kurang, baru kami nanti yang akan memberikan woro-woro ke mereka,” ucap Adrian.
Mantan Direktur Perlindungan Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menilai, tes PCR yang masif tidak hanya berfungsi untuk mendiagnosis kasus tetapi juga pemetaan untuk memotong penularan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Untuk itu, tes yang masif, pelacakan, dan isolasi, kunci dari pengendalian pandemi selain penerapan protokol kesehatan yang ketat.