Pelibatan Komunitas secara Penuh Jadi Harapan dalam Penanggulangan HIV
Pelibatan komunitas, organisasi masyarakat sipil dan orang dengan HIV/AIDS dalam kebijakan pemerintah menjadi harapan banyak pihak. Kolaborasi itu penting agar penanggulangan HIV bisa dijalankan tuntas.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama puluhan tahun menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS, pelibatan komunitas dalam program pemerintah dinilai masih sangat rendah. Pemerintah perlu menunjukkan kembali komitmen dan upaya pelibatan komunitas dalam setiap proses pengambilan kebijakan atau kegiatan penanggulangan HIV/AIDS lainnya.
Hal tersebut disampaikan sejumlah perwakilan komunitas dan yayasan yang fokus terhadap isu HIV/AIDS dalam diskusi daring bertajuk ”Matinya Kolaborasi di Tengah Selebrasi Hari AIDS Sedunia 2020”, Rabu (2/12/2020).
Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi Natasya Sitorus mengatakan, kolaborasi menjadi penting ketika pemerintah melibatkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan komunitas. Sebab, hal ini bukan tentang mencapai target untuk memecahkan atau mendapatkan rekor. Selebrasi besar-besaran pada hari AIDS sedunia 1 Desember lalu dinilai akan menyakiti ODHA.
”Kolaborasi tidak hanya dibutuhkan ketika akan disorot media, tetapi memang dalam penanggulangan program HIV/AIDS di Indonesia. Komunitas, ODHA, dan populasi kunci harus digandeng oleh pemerintah. Itu baru disebut kolaborasi,” ujarnya.
Akan tetapi, menurut Natasya, kolaborasi yang dilakukan tidak hanya sekadar menggandeng dan menghadirkan ODHA ataupun komunitas untuk menjadi pembicara di acara seremonial. Namun, kolaborasi harus dilakukan dengan cara pelibatan mereka dalam setiap keputusan pengambilan kebijakan. Sebab, masyarakat sipil juga memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam memberikan masukan apalagi kebijakan tersebut menyangkut masa depan ODHA.
”Faktor yang mendukung penanggulangan ini yatu kolaborasi yang tidak basa-basi dan bukan sekadar harmonisasi. Jika masyarakat sipil atau anak dengan HIV diberikan ruang untuk bersuara, itu juga harus masuk di dokumen akhirnya. Jangan seakan-akan kami sudah mengikuti proses yang panjang untuk menyampaikan kebutuhan, tetapi akhirnya seperti draf dari rencana aksi nasional kemarin tidak ada fokus yang betul-betul mengenai anak dengan HIV,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Program Manager Yayasan Karisma Wahyu Khresna. Menurut dia, selama 30 tahun Yayasan Karisma menjalankan program penanggulangan HIV, sedikit sekali pelibatan ODHA dan komunitas oleh pemerintah. Padahal, mereka menjadi motor penggerak penanggulangan penyakit ini.
”Pemerintah menjadikan kami sebagai pelaksana proyek saja, sedangkan dalam setiap keputusan penting pemerintah sedikit sekali melibatkan kami. Contohnya ada panel ahli dan saya tidak melihat satu pun teman-teman yang positif atau komunitas menjadi panel ahli tersebut,” ungkapya.
Tidak dilibatkannya komunitas juga terjadi dalam pengelolaan pendanaan. Menurut Wahyu, sedikit sekali komunitas yang diberikan kepercayaan oleh pemerintah atau donatur untuk dikelola sendiri. Ia pun berharap ke depan hal ini tidak terjadi lagi dan pemerintah bisa memberikan pelibatan penuh kepada komunitas dan ODHA.
Koordinator Nasional Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) Tengku Surya Mihari menyatakan, kolaborasi yang dilakukan saat ini merupakan kolaborasi di ujung jalan. Artinya, ODHA dan komunitas baru dilibatkan saat kegiatan penanggulangan atau kebijakan yang dikeluarkan sudah hampir jadi dan dengan waktu yang sangat singkat.
”Kalau melihat situasi saat ini, untuk tahun 2020 atau sepuluh tahun yang akan mendatang saya rasa (kolaborasi dan penangulangan HIV/AIDS) tidak memungkinkan. Apalagi teman-teman populasi kunci masih dikriminalisasi, dikejar-kejar, dan alat-alat yang biasa digunakan untuk pencegahan juga masih dijadikan barang bukti, menurut saya, ini tidak akan berhasil,” ungkapnya.
Ketua Sekretariat Nasional Jaringan Indonesia Positif Meirinda Sebayang menambahkan, kolaborasi hanya bisa dimulai apabila ada rekognisi atau pengakuan terhadap pentingnya para ODHA dan komunitasnya. Mereka tidak boleh dilihat sebagai korban atau pasien, tetapi merupakan bagian dari solusi dan untuk menjawab tantangan.