Pengendalian HIV di Indonesia masih jauh dari target yang ditetapkan. Berbagai kendala yang dihadapi diperparah oleh adanya pandemi Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target pencapaian pengendalian HIV/AIDS pada tahun 2030 terancam gagal jika tidak ada upaya masif dan agresif. Karena itu, peran masyarakat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengendalian penyakit menular tersebut.
Berbagai negara, termasuk Indonesia, memiliki target pengendalian HIV/AIDS dengan indikator 90-90-90, yaitu 90 persen orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengetahui status HIV-nya, 90 persen ODHA yang tahu statusnya menjalani terapi, serta 90 persen yang menjalani pengobatan tidak lagi terdeteksi virus di dalam tubuhnya. Target ini dirumuskan sejak 2018 dan ditargetkan tercapai pada 2030.
Dari catatan Kementerian Kesehatan per September 2020, persentase capaian yang didapatkan jauh di bawah target. Pada indikator angka ODHA yang mengetahui status HIV-nya tercatat 65 persen.
Namun, angka ODHA yang menjalani terapi hanya mencapai 26 persen. Jumlah ini makin rendah pada jumlah ODHA yang tidak lagi terdeteksi virus dalam tubuhnya atau virus yang tersupresi, yakni hanya sebesar 4,5 persen.
”Pandemi Covid-19 membuat kendala dalam pencapaian target semakin besar. Kita perlu kuatkan kembali komitmen dan berupaya mengatasi ketertinggalan di tahun depan. Karena itu, kolaborasi serta solidaritas dari semua lapisan masyarakat perlu ditingkatkan,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Hari AIDS Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Desember ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum memperkuat komitmen pengendalian HIV/AIDS di masyarakat. Hal itu terutama dengan mencapai target 90-90-90 untuk mewujudkan 3 zero HIV, yakni tak ada lagi infeksi baru HIV, tidak ada lagi kematian yang disebabkan HIV/AIDS, dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap ODHA di Indonesia.
Pandemi Covid-19 membuat kendala dalam pencapaian target semakin besar. Kita perlu kuatkan kembali komitmen dan berupaya mengejar ketertinggalan di tahun depan.
Adapun jumlah kumulatif kasus HIV sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1987 sampai 2020 mencapai 409.857 orang dengan jumlah kumulatif kasus AIDS 127.873 orang.
Pada Januari-September 2020 dilaporkan 32.293 kasus baru HIV dan 6.772 kasus baru AIDS dari 484 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Sampai September 2020, dari kumulatif kasus AIDS berjumlah 127.873 orang, sebanyak 17.646 orang meninggal dunia.
”Tahun ini, penemuan kasus HIV belum optimal karena dari perkiraan jumlah kasus 52.000 kasus, baru sekitar 32.000 kasus ditemukan. Selain itu, peningkatan kasus AIDS pada tahun ini yang sebanyak 7.200 kasus, dari tahun sebelumnya 6.200 kasus, bisa disebabkan pasien HIV menunda berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan,” kata Nadia.
Direktur Jaringan Indonesia Positif Meirinda Sebayang menyampaikan, akuntabilitas penerapan program HIV yang komprehensif dan berkelanjutan harus tetap dilaksanakan meskipun terjadi pandemi Covid-19. Program penanggulangan, termasuk layanan terapi, sangat diperlukan karena ODHA harus mengonsumsi obat secara rutin seumur hidupnya.
Inovasi yang dijalankan di beberapa daerah, seperti melalui program pengiriman obat dengan jasa transportasi daring, perlu diperluas di daerah lain. Pemerintah juga diharapkan bisa memastikan ketersediaan obat antiretroviral (ARV).
”Pandemi ini menjadi tantangan besar bagi ODHA, dari kehidupan ekonomi, sosial, hingga kesehatan. Tidak sedikit ODHA yang kehilangan pekerjaannya, padahal tetap harus memenuhi kebutuhan hidup serta biaya pengobatannya. Kecemasan lain terjadi pada akses obat karena masih ada beberapa orang yang hanya dapat mengakses obat untuk satu sampai dua minggu,” tutur Meirinda.
Pencegahan dan deteksi dini
Nadia memaparkan, upaya pencegahan dan deteksi dini HIV juga tetap berjalan selama masa pandemi. Pencegahan yang dilakukan, antara lain, dengan uji saring darah donor, penerapan kewaspadaan pencegahan infeksi di fasyankes, penemuan dini kasus infeksi menular seksual dan pengobatan infeksi menular seksual, pengurangan dampak buruk narkotika/napza, serta pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
Pencegahan penularan dari ibu ke bayi dilakukan lewat penapisan awal sebelum persalinan dilakukan. Dari 1,7 ibu hamil yang diperiksa pada 2019, telah ditemukan sekitar 0,3 persen yang positif HIV. Deteksi dini ini dilakukan agar intervensi bisa segera dilakukan agar tidak sampai menularkan kepada bayinya.
Ketua Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PP POGI) Ari Kusuma Januarto menuturkan, setiap tahun setidaknya ada lima juta kelahiran. Dari jumlah itu, baru sekitar 33 persen yang melakukan pemeriksaan untuk penapisan HIV.
”Sosialiasi untuk deteksi dini HIV pada ibu hamil perlu lebih masif dilakukan agar penanganan bisa dilakukan sedini mungkin sehingga bayi tidak tertular. Sekitar 90 persen infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibunya. Jika penanganan bisa dilakukan sejak dini mulai dari trimester pertama, bisa membuat risiko penularan menjadi hanya kurang dari 1 persen,” tuturnya.