Untuk mengurangi paparan virus saat pandemi Covid-19, orang dengan HIV-AIDS bisa konsultasi dokter lewat panggilan video dan obat dikirim. Pemberian KTP diperlukan agar lebih banyak ODHA bisa akses layanan kesehatan.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Di masa pandemi Covid-19, orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang kondisinya stabil bisa berkonsultasi lewat pesan ataupun panggilan video whatsapp. Kemudian, obat antiretroviral (ARV) akan dikirim lewat Jak-Anter. Namun, layanan ini masih terbatas untuk wilayah DKI Jakarta.
Menurut Ary Bumi Kartini, supervisor Penelitian dan Pengembangan dari Jaringan Indonesia Positif (JIP), yang dihubungi Senin (30/11/2020), layanan yang telah berlangsung 3-4 bulan itu menjadi solusi bagi ODHA yang khawatir terpapar virus korona baru.
Sementara itu, supervisor Program dan Advokasi JIP Timotius Hadi menyatakan, layanan itu tergantung dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), yakni puskesmas kecamatan atau rumah sakit. “Ada yang tidak bisa memberikan layanan antar obat, mungkin karena kesibukan menghadapi pandemi. Jadi ODHA tetap sebulan sekali harus kontrol untuk mendapatkan obat,” katanya.
Zubairi Djoerban, Guru Besar Hematologi Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, salah satu pendiri Yayasan Pelita Ilmu yang bergiat di pendampingan HIV-AIDS, mengatakan, tempat praktiknya, RS Kramat 128, bisa mengirim obat ke pasien ODHA.
Tidak saja yang di Jakarta dan sekitarnya, pengiriman obat juga bisa dilakukan ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, Cirebon, Bogor, Indramayu, Tangerang, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Lampung, Jambi, Riau, Toraja, Kalimantan, dan Ternate.
”Sebelum pandemi, mereka rutin datang untuk kontrol dan mendapat obat. Namun, saat pandemi, karena kesulitan datang ke rumah sakit bagi pasien dari luar Jakarta, konsultasi bisa lewat panggilan video,” kata Zubairi yang juga anggota Panel Ahli HIV-Infeksi Menular Seksual (IMS) Kelompok Kerja Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS Kementerian Kesehatan, serta Ketua Satuan Tugas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia untuk Covid-19, .
Selain alasan cocok dengan dokter, pasien dari luar Jakarta enggan berobat di daerahnya demi menjaga kerahasiaan status HIV mereka.
Selama pandemi, demikian Zubairi, yang dikhawatirkan adalah bertambahnya pasien putus obat. Penyebabnya antara lain bosan minum obat, tidak ada biaya untuk ke fasyankes, serta kekhawatiran pasien tertular Covid-19.
Padahal, obat antiretroviral disediakan gratis oleh pemerintah bagi seluruh ODHA. Biaya periksa dokter juga ditanggung bagi pemilik kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Terapi ARV penting untuk mencegah progresivitas penyakit, menurunkan angka kematian, serta mengurangi penularan.
”Terapi ARV penting untuk mencegah progresivitas penyakit, menurunkan angka kematian, serta mengurangi penularan. ODHA yang fisiknya sehat, viral loadnya rendah dan rajin minum ARV, berisiko rendah tertular Covid-19. Tentu saja tetap menerapkan protokol kesehatan secara baik,” katanya.
Menurut Zubairi dan Bumi, secara umum stok ARV mencukupi, terutama obat kombinasi dosis tetap (gabungan beberapa ARV dalam satu tablet). Sedangkan untuk kombinasi ARV terpisah, stok Efavirenz sempat agak terganggu pada awal pandemi karena hambatan logistik impor. Namun, kini sudah normal.
Ada masalah
Bukan berarti tidak ada masalah. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, saat ini estimasi orang dengan HIV-AIDS ada 543.100 orang. Yang terdiagnosis 398.784 orang, pernah diobati 249.263 orang, dan yang masih mendapat obat ARV 135.400 orang.
Dari angka tersebut tampak cukup besar ODHA yang putus obat ataupun yang terdiagnosis tapi tidak berobat. Hal itu tidak terlepas dari stigma pada ODHA, sehingga timbul keengganan untuk diketahui statusnya dan berobat.
Hal itu diperparah dengan pandemi. Hasil survei JIP didukung Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV-AIDS (UNAIDS) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapati, banyak ODHA terdampak secara sosial ekonomi.
Menurut Bumi, survei dilaksanakan dua kali, yakni akhir Maret, pada awal pandemi di Indonesia, dengan 1.000 responden. Kedua, akhir Agustus, dengan 1.035 responden dari 196 kabupaten/kota di Indonesia, kecuali Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
Tujuan survei untuk mendapat gambaran kebutuhan orang dengan HIV-AIDS di masa pandemi Covid-19. Hal itu sebagai bahan advokasi ke pemerintah terkait penerapan kebijakan untuk ODHA dan mendorong penerapan pemberian obat multibulan (MMD) di Indonesia.
”Sesuai anjuran WHO, untuk mengurangi kunjungan ODHA ke fasyankes di masa pandemi, obat diberikan setidaknya untuk persediaan 3 bulan,” ujar Bumi.
Dari survei, secara umum responden tidak mengalami masalah dalam mengakses obat. Hasil survei Agustus, 52 persen responden memiliki persediaan obat untuk 1 bulan, 3 persen memiliki persediaan obat 2-3 bulan dan 2 persen punya obat untuk 3 bulan lebih. Sisanya, 43 persen, memiliki persediaan kurang dari 1 minggu hingga 3 minggu. Alasannya, stok ARV di fasyankes terbatas. Namun, kini stok sudah membaik.
Adapun untuk layanan obat-obatan lain, alat kontrasepsi, tes HIV, maupun tes viral load, sebagian besar responden menyatakan tidak ada masalah.
Seperti yang lain, ODHA mengalami dampak sosio-ekonomi di masa pandemi. Kebanyakan mereka bekerja di sektor non formal, sehingga dampak sangat terasa. Hasil survei menunjukkan peningkatan jumlah ODHA yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangan.
Kalau di bulan Maret ada 236 orang, Agustus naik menjadi 474 orang. Yang kehilangan sumber pendapatan naik dari 275 orang menjadi 458 orang. Pada Agustus, ada 200 responden mengaku tidak mampu lagi membayar sewa rumah dari sebelumnya hanya 48 orang.
Menurut Bumi, meski responden survei I dan II bisa berbeda orangnya, angka itu bisa menjadi gambaran beratnya dampak sosial ekonomi pada ODHA.
Namun hanya 54 persen ODHA yang mengaku mendapat bantuan sosial, baik dari pemerintah, organisasi komunitas maupun lembaga swadaya masyarakat. Mereka yang tidak dapat bantuan umumnya karena tidak mendapat informasi, tidak memiliki dokumen kependudukan, dan sebagian kecil tidak ingin mengakses.
Hadi menyatakan, yang diperlukan adalah terobosan dari pemerintah agar populasi kunci, yakni populasi yang berisiko tinggi terkena HIV-AIDS, seperti transpuan (waria), pekerja seks, pengguna napza jarum suntik, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, bisa mendapat dokumen kependudukan.
Hadi menuturkan, selama ini mereka kesulitan mendapat kartu tanda penduduk (KTP). Sebagai contoh, pada pekerja seks yang merupakan korban perdagangan orang, biasanya KTP ditahan.
Ketika bisa kabur, mereka malu untuk pulang dan berupaya bertahan di Jakarta tanpa dokumen kependudukan apapun. Demikian juga pada transpuan ataupun pecandu, biasanya mereka terbuang dari keluarga, sehingga tidak ada dokumen untuk membuat KTP.
”Padahal, tanpa KTP, mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan kalau sakit ataupun mendapat bantuan untuk bisa bertahan hidup di masa pandemi,” kata Hadi.