Pada Pencernaan Sehat Ada Tubuh yang Kuat
Kaitan leaky gut syndrome dengan gangguan kesehatan mulai diakui. Namun, dokter tidak mudah mendiagnosis karena gejala muncul lewat berbagai bentuk keluhan yang berbeda pada setiap penderita.
Perut sering kembung, mual, letih, lesu, sakit kepala, cemas tak jelas penyebabnya, bahkan depresi? Terkadang hanya sedikit tidak enak badan, namun ada kalanya tubuh sangat tidak nyaman. Namun, saat diperiksa, dokter tidak menemukan masalah. Semua hasil tes normal.
Bisa jadi, keluhan itu merupakan gejala leaky gut syndrome (LGS) atau peningkatan permeabilitas usus. Gangguan ini beberapa tahun terakhir mulai menjadi perhatian para peneliti dan praktisi kesehatan.
Dinding usus memiliki kanal atau celah antarsel yang memungkinkan zat gizi dan air melewati untuk diserap tubuh. Hal ini dikenal sebagai permeabilitas usus. Kanal-kanal itu bisa melonggar atau permeabilitas usus meningkat. Akibatnya, tak hanya zat gizi dan air, tetapi partikel makanan yang tidak tecerna, zat racun, dan bakteri ikut lolos masuk ke aliran darah.
Kalau jumlah yang lolos sedikit, bisa dinetralkan oleh sistem kekebalan tubuh. Jika cukup banyak, respons imun untuk membersihkan akan membuat tubuh merasa tidak nyaman. Deposit kuman dan zat beracun yang tak tertangani sistem imun pada gilirannya akan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.
Baca juga: Mengatasi Nyeri, Kembung, dan Sakit Perut
Laman Fakultas Kedokteran Harvard, dan berbagai sumber lain menyatakan, penelitian menunjukkan, LGS dapat dikaitkan dengan penyakit autoimun, seperti lupus, diabetes tipe 1, sklerosis ganda (multiple sclerosis), nyeri otot dan sendi (fibromyalgia), rematik artritis, alergi, penyakit radang usus (IBD) seperti penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Selain itu bisa menyebabkan kelelahan kronis, migren, sindrom iritasi usus (IBS), asma, jerawat, obesitas, kesulitan berkonsentrasi, kecemasan, serta depresi.
Matthew A Odenwald dan Jerrold R Turner dari Departemen Patologi Universitas Chicago, Amerika Serikat (AS), di Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology, 16 November 2016, menyatakan, penelitian pada tikus percobaan menunjukkan, peningkatan permeabilitas usus bisa meningkatkan peradangan.
Peningkatan permeabilitas usus disebabkan oleh peningkatan kadar zonulin. Protein yang disintesis pada sel usus dan hati ini secara reversibel mengatur permeabilitas usus. Zonulin yang ditemukan pada 2000 oleh Alessio Fasano dan tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Maryland, AS, sejauh ini diketahui sebagai satu-satunya pengatur permeabilitas usus. Karena itu, tingginya kadar zonulin dalam feses merupakan petanda (marker) peningkatan permeabilitas usus.
Peningkatan permeabilitas usus disebabkan peningkatan kadar zonulin.
Ada dua faktor pemicu naiknya kadar zonulin, yakni gluten dan bakteri. Peningkatan zonulin karena konsumsi gluten merupakan contoh sensitivitas makanan. Ketidakseimbangan (disbiosis) mikrobiota usus, di mana jumlah bakteri berbahaya, parasit, jamur, jauh melebihi bakteri baik sehingga meningkatkan zonulin umumnya akibat pola makan yang buruk, penggunaan antibiotik dan antasida berkepanjangan.
Bakteri baik penting, tidak hanya berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh untuk menjaga tubuh tetap sehat, tetapi juga menghasilkan asam lemak rantai pendek, termasuk butirat, agar permeabilitas usus tetap normal. Asam lemak ini mampu mengurangi risiko penyakit peradangan, diabetes tipe 2, obesitas, dan penyakit jantung.
Faktor lain yang dapat meningkatkan permeabilitas usus adalah tingginya kadar mediator peradangan, seperti tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin 13 (IL-13). Penggunaan obat antiradang nonsteroid (NSAID), seperti aspirin dan ibuprofen dalam jangka panjang bisa menyebabkan iritasi dinding usus. Efek sama ditimbulkan alkohol dan stres kronis.
Mikrobiota usus
Kajian Xin M Luo dan kolega dari Departemen Ilmu Biomedis dan Patobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Virginia-Maryland College, AS, dalam Frontiers in Immunology, 23 Mei 2017, memaparkan berbagai penyakit akibat LGS.
Meski demikian, hal itu bisa diperbaiki. Sejumlah penelitian menunjukkan, pemberian probiotik (bakteri baik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium) dan prebiotik (serat makanan yang meningkatkan pertumbuhan probiotik) dapat memperbaiki kondisi usus dan menekan bakteri buruk.
Probiotik banyak terkandung dalam makanan terfermentasi, seperti yogurt, kefir, tempe, kimchi, miso, natto. Sementara prebiotik didapat dari sayuran, buah-buahan serta biji-bijian.
Adrian Mathias Moser dari Universitas Kedokteran Graz, Austria, dan kolega meneliti pemberian suplemen probiotik (Fecalibacterium prausnitzii dan campuran enam bakteri penghasil butirat) serta prebiotik selama 4 minggu pada 10 pasien IBS diare. Hasilnya, jumlah bakteri baik meningkat, juga sintesis asam lemak rantai pendek dan butirat. Adapun kadar zonulin turun. Keluhan IBS pun berkurang. Laporan dimuat di European Journal of Nutrition, 24 September 2018.
Kajian Megan M Clapp dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Texas Tech, AS, di Clinics and Practice, 2017, mendapatkan, probiotik mampu memperbaiki mikrobiota usus serta mengatasi gejala kecemasan dan depresi.
Hubungan mikrobiota usus dengan gangguan spektrum autisme (ASD) dibahas dalam kajian Piranavie Srikantha and M Hasan Mohajeri dari Fakultas Kedokteran Universitas Zurich, Swiss, di International Journal of Molecular Sciences, 29 April 2019.
Dari pemeriksaan darah dan urine anak autisme didapatkan bakteri, dan endotoksin produk bakteri. Keberadaan zat-zat tersebut dalam darah merupakan pertanda peningkatan permeabilitas usus serta ketidakseimbangan mikrobiota usus.
Selain probiotik, olahraga terbukti meningkatkan bakteri baik. Demikian hasil penelitian Jeffrey A Woods, Guru Besar Kinesiologi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Illinois, AS, bersama Jacob M Allen, menurut laman Universitas Illinois, 4 Desember 2017.
Penelitian pada tikus percobaan yang mendapat mikrobiota tikus yang banyak bergerak memiliki lebih banyak mikroba penghasil butirat dan asam lemak rantai pendek lain yang bisa meningkatkan kesehatan sel-sel usus, mengurangi peradangan, dan menghasilkan energi.
Penelitian pada 18 orang dewasa kurus dan 14 orang dewasa gemuk yang bergaya hidup sedentary (tidak banyak bergerak) menunjukkan, kadar asam lemak rantai pendek, khususnya butirat, pada usus meningkat setelah latihan kardiovaskular selama 30-60 menit, tiga kali seminggu selama enam minggu.
Enam minggu selanjutnya, setelah berhenti latihan, mikrobiota usus peserta kembali ke keadaan semula. Penelitian dilaporkan di Medicine and Science in Sports Exercise, April 2018.
Belum populer
Pelonggaran kanal dinding usus tak terdeteksi oleh kolonoskopi. Sering kali gangguan itu tidak terdiagnosis sehingga tak mendapat pengobatan tepat. Penelitian untuk menegakkan diagnosis LGS dinilai belum cukup. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan dan memastikan diagnosis.
”Kami tahu penyakit itu ada, tetapi kami tidak tahu banyak,” kata Linda A Lee, ahli gastroenterologi dan Direktur Pusat Pencernaan dan Kedokteran Integratif Johns Hopkins, AS, seperti dikutip WebMD.com, 14 Agustus 2013. ”Dengan tidak adanya bukti, kami tidak tahu apa artinya dan terapi apa yang dapat mengatasi.”
Bagi gejala yang berlangsung beberapa minggu, tetapi dokter tidak dapat menemukan penyebabnya, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menggolongkan sebagai gejala medis yang tidak dapat dijelaskan (medically unexplained symptoms). Kasus demikian, menurut laman NHS, mencapai 45 persen dari kunjungan pasien ke dokter umum dan setengah dari kunjungan baru ke rumah sakit di Inggris.
Dokter Spesialis Gizi Klinik pada Rumah Sakit Angkatan Laut dr Mintohardjo, Maya Surjadjaja, yang juga pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana serta Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Ilmu Perhimpunan Dokter Anti-Penuaan, Wellness, Estetik & Regeneratif Indonesia (Perdaweri) menuturkan, peningkatan permeabilitas usus makin diakui kaitannya dengan gangguan kesehatan, Namun, gejala LGS memang sulit dikenali karena tidak spesifik dan tidak tunggal. Keluhan kembung, diare, sakit kepala, nyeri sendi, kulit kering, jerawat, mudah gemuk, sulit berkonsentrasi, suasana hati berubah-ubah juga bisa menjadi gejala penyakit lain.
”Banyak pasien saya seperti itu. Untuk mengatasi, tidak hanya dengan evidence based medicine, tetapi juga personalized based medicine,” ujarnya. Penyakit bisa sama, tetapi akibat pada setiap orang berbeda. Perlu dicari akar masalahnya. Terapi dan obat disesuaikan dengan kebutuhan.
Maya menerapkan strategi 4R, yakni remove, replace, reinoculate, repair. Remove, menghilangkan penyebab penyakit, seperti stres, infeksi, zat-zat beracun seperti rokok, alkohol, serta makanan yang menimbulkan sensitivitas. Sensitivitas makanan merupakan sebab umum sehingga menjadi salah satu metode mengecek adanya LGS.
”Sensitivitas makanan tidak selalu disebabkan oleh gluten. Bisa juga akibat makanan lain. Berbeda dengan alergi yang langsung tampak, efek sensitivitas makanan baru terasa beberapa jam hingga 72 jam setelah makan,” papar Maya.
Pada replace, dilakukan penggantian zat yang tidak ada atau kurang, misalnya enzim pencernaan, asam lambung serta berbagai vitamin. Reinoculate adalah meningkatkan jumlah bakteri baik dengan pemberian probiotik dan prebiotik. Sedangkan repair, memperbaiki kerusakan dinding usus dan gangguan sistem imun dengan berbagai zat yang diperlukan.
Kuncinya, memperbaiki pola makan, mengonsumsi makanan yang mengandung probiotik dan prebiotik, menghindari makanan yang menimbulkan reaksi sensitivitas dalam kurun waktu tertentu. Juga mengurangi makanan yang mendukung bakteri buruk seperti gula, dan produk tepung olahan.
Selain itu, berolahraga teratur, cukup tidur, mengurangi stres, serta menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Secara teori, hal tersebut membantu memperbaiki dinding usus, mendorong keseimbangan mikrobiota usus, sehingga mengatasi berbagai gangguan yang dirasakan.