Rokok elektrik menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat. Namun, pembatasan penggunaan jenis rokok ini di Indonesia masih belum jelas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rokok elektrik dapat menimbulkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan. Meski begitu belum ada pembatasan yang ketat pada peredaran produk tersebut. Aturan yang tegas dalam pengendalian rokok elektrik dibutuhkan segera untuk melindungi kesehatan masyarakat di masa depan.
Ketua Umum Perhimpunan Paru Indonesia Agus Dwi Susanto di Jakarta, Jumat (27/11/2020) mengatakan, berbagai riset dan penelitian telah membuktikan rokok elektrik berdampak buruk bagi kesehatan. Anggapan rokok elektrik lebih baik dari rokok konvensional harus dihilangkan karena dapat memberikan persepsi salah pada masyarakat.
“ Pada paru-paru, rokok elektrik terbukti bisa menyebabkan berbagai gejala mulai dari yang akut hingga kronik. Itu mulai dari menyebabkan batuk, iritasi pada tenggorokan, dan juga bisa meningkatkan serangan asma,” katanya.
Pada paru-paru, rokok elektrik terbukti bisa menyebabkan berbagai gejala mulai dari yang akut hingga kronik.
Selain itu, Agus mengatakan, penelitian di Amerika menunjukkan ada peningkatan kasus gagal napas akut (acute respiratory distress syndrome/ARDS) akibat penggunaan rokok elektrik atau vape. Bahkan, penggunaan rokok elektrik ini bisa berdampak panjang hingga menyebabkan penyakit paru obstuktif kronik (PPOK) serta menimbulkan dampak karsinogenik penyebab kanker.
Sejumlah penelitian lain juga menyebutkan, penggunaan rokok elektrik meningkatkan risiko gangguan jantung. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran University of Kansas Amerika Serikat.
Penelitian ini membuktikan rokok elektrik memiliki kaitan dengan serangan jantung, penyakit jantung koroner, dan depresi. Tercatat, pengguna rokok elektrik 56 persen lebih berisiko mengalami serangan jantung dan 30 persen lebih berisiko terkena stroke dibandingkan orang yang tak menggunakannya (Kompas, 2/8/2020).
Meski berbagai penelitian telah menunjukkan dampak buruk dari rokok elektrik, Agus menuturkan, belum ada aturan jelas yang membatasi penggunaan serta peredaran produk ini di masyarakat. Akibatnya, jumlah pengguna rokok elektrik justru meningkat. Pengguna ganda rokok elektrik dan rokok konvensional pun tinggi.
“Perlu segera ada aturan yang jelas yang membatasi rokok elektrik. Ini menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi masyarakat karena dampaknya bisa jangka panjang yang dapat menjadi beban bangsa di masa depan,” tuturnya.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2019 mencatat, prevalensi perokok elektrik pada usia di atas 15 tahun sebesar 2,10 persen. Jumlah ini tidak jauh berbeda dari tahun 2017 yang tercatat sebesar 2,32 persen.
Sementara itu, dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah perokok elektrik yang juga menggunakan rokok konvensional sebesar 96,7 persen. Data ini menunjukkan sebagian perokok elektrik juga merokok secara konvensional.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Achmad Syawqie, menegaskan, aturan jelas terkait penggunaan rokok elektrik dibutuhkan untuk membatasi pengguna usia muda. Hal ini diperlukan untuk mencegah orang yang tidak merokok menjadi perokok elektrik.
Ia mengatakan, Universitas Padjajaran saat ini bekerja sama dengan Universitas Catania, Italia, membentuk The Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR) untuk meneliti efek dan dampak buruk dari rokok. Penelitian ini khususnya untuk mengembangkan strategi pembatasan dan pengurangan risiko asap rokok melalui penggunaan teknologi baru.
“Harapannya semakin banyak pula rujukan dalam menerbitkan peraturan khusus mengatur produk tembakau alternatif dengan mengadopsi pendekatan pengurangan bahaya tembakau,” ujar Achmad.