Pandemi Bisa Jadi Pemicu Percepatan Pencapaian SDG
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada berbagai bidang kehidupan seharusnya dijadikan momentum untuk memacu pencapaian target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19, yang berdampak pada berbagai bidang kehidupan, seharusnya dijadikan momentum untuk memacu pencapaian target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan jadi kunci untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Direktur Eksekutif Center of Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center) Universitas Padjadjaran Zuzy Anna dalam diskusi virtual ”Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk Kebahagiaan” di Jakarta, Kamis (16/11/2020), mengatakan, 17 tujuan dan 169 target dalam SDG adalah indikator obyektif yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan.
Tentu ada indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat, misalnya tingkat kebahagiaan. Namun, indikator tingkat kebahagiaan ini dinilai sangat subyektif, sangat dipengaruhi budaya, waktu, hingga nilai masyarakat. Karena itu, tingkat kebahagiaan sulit digunakan untuk membuat kebijakan.
Hal senada diakui Ketua Badan Penasihat Social Investment Indonesia (SII) Jalal. SDG merupakan jalan yang menuju kebahagiaan yang lebih pendek dan lengkap. Meskipun demikian, penggunaan SDG masih menyisakan catatan berkenaan dengan keberlanjutannya. Hal itu karena sebagian negara-negara dengan nilai indeks SDG tinggi justru memiliki jejak karbon yang juga tinggi.
Dalam diskusi yang berlangsung, sejumlah pihak mempertanyakan apakah indikator yang tercakup dalam SDG bisa digunakan untuk mengukur kebahagiaan masyarakat. Hal itu terjadi karena banyak masyarakat di wilayah dengan berbagai keterbatasan, seperti di wilayah Indonesia timur maupun perdesaan, merasa bisa hidup bahagia.
”Masyarakat perdesaan Indonesia memilki cara tersendiri untuk mencapai kebahagiaan,” kata Duta SDG yang juga Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar. Namun, situasi itu terganggu dengan kedatangan masyarakat luar yang membawa dan mendorong standar kebahagiaan versi mereka yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat lokal.
Indeks Kebahagiaan 2017 yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS) memang menunjukkan, masyarakat Maluku Utara memiliki Indeks Kebahagiaan tertinggi di Indonesia, sebesar 75,68. Peringkat tertinggi selanjutnya dimiliki masyarakat Maluku (73,77) dan Sulawesi Utara (73,69).
Nilai Indeks Kebahagiaan di ketiga provinsi tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 70,69. Indeks Kebahagiaan itu diukur berdasarkan dimensi kepuasan hidup, baik personal maupun sosial, serta dimensi perasaan dan makna hidup.
Namun, masyarakat dengan Indeks Kebahagiaan terendah juga mudah ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu Papua sebesar 67,52 dan Nusa Tenggara Timur (68,98). Di luar itu, masyarakat dengan tingkat kebahagiaan terendah juga ada di Sumatera Utara (68,41).
Kepala Subdirektorat Indikator Statistik BPS Windhiarso Ponco Adi Putranto mengatakan, survei juga menunjukkan masyarakat dengan akses listrik, air minum, hunian, upah, dan tingkat pendidikan yang lebih baik merasa lebih bahagia. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses lebih mudah terhadap berbagai infrastruktur dasar tersebut memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi daripada masyarakat perdesaan.
”Indeks Kepuasan Hidup Personal di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di desa,” katanya. Sebaliknya, masyarakat perdesaan memiliki kepuasan hidup sosial lebih baik dibandingkan dengan warga perkotaan.
Selain itu, penduduk berumur kurang dari 24 tahun merasa paling bahagia dibandingkan dengan kelompok umur lain. Namun, makin tua usia kepuasan hidup sosialnya makin tinggi. Sementara mereka yang memiliki keterampilan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) juga merasa lebih bahagia dibandingkan dengan yang tidak memiliki kemampuan tersebut.
Zuzy menambahkan, pandemi Covid-19 menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. Kualitas kesehatan masyarakat yang buruk bisa memicu ketidakbahagiaan. Demikian pula sebaliknya, situasi ekonomi yang buruk juga tidak bisa membuat orang bahagia.
Namun, pandemi membuat upaya mencapai SDG menjadi terganggu karena hampir semua sumber daya yang dimiliki negara dikerahkan untuk mengatasi dampak pandemi. Isu kesehatan di luar Covid-19, seperti tengkes atau kematian ibu melahirkan, menjadi kurang terperhatikan.
”Pandemi seharusnya memperkuat tekad semua pihak mencapai target SDG karena SDG akan menunjukkan arah kebahagian di masa depan,” tambahnya.