Penerapan Kelas Standar Perlu Pastikan Kesiapan Rumah Sakit
Rencana penerapan kelas standar pada layanan kesehatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar memperhatikan kesiapan rumah sakit yang menjadi ujung tombak pelayanan bagi masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kajian kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat ditargetkan rampung pada Desember 2020. Kajian tersebut diharapkan dapat mempertimbangkan kesiapan rumah sakit sebelum peraturan pelaksanaan serta penyiapan infrastruktur dijalankan.
Penetapan kelas standar rawat inap diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada Pasal 54A disebutkan, kementerian dan lembaga terkait perlu meninjau manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat pada Desember 2020. Selanjutnya, manfaat itu diterapkan bertahap sampai 2022.
Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo saat dihubungi di Jakarta, Rabu (25/11/2020), mengatakan, penerapan kelas standar pada layanan rawat inap peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) perlu dipersiapkan secara matang. Itu karena akan mengubah sebagian besar tata kelola serta infrastruktur layanan di rumah sakit.
”Sejak awal program JKN berjalan, rumah sakit sudah menerapkan layanan rawat inap dengan pembagian kelas 1, 2, dan 3. Apabila harus diubah menjadi satu kelas dengan skema kelas standar tentu membutuhkan investasi tersendiri untuk mengubah fasilitas yang sudah ada,” katanya.
Karena itu, Daniel menyarankan, ketentuan dalam penerapan kelas standar tetap bisa memanfaatkan fasilitas eksisting rumah sakit yang disesuikan dengan batasan yang berlaku. Selain itu, tarif yang diterapkan untuk kelas standar juga perlu ditetapkan dengan nilai yang wajar sesuai dengan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Tarif ini amat memengaruhi keberlanjutan rumah sakit selanjutnya.
Rencana penerapan
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR pada Selasa (24/11/2020) mengatakan, konsep yang diusung dalam kelas standar, antara lain, mewujudukan akses dan mutu sesuai standar pelayanan, menyediakan kebutuhan standar minimal sarana prasarana dan alat kesehatan, serta menyediakan sumber daya manusia yang sesuai dengan rasio pasien.
Menurut rencana, penerapan ruang kamar inap kelas standar akan dibagi dalam dua bagian, yakni ruang rawat inap untuk peserta nonpenerima bantuan iuran (PBI) serta ruang rawat inap untuk peserta PBI. Pada ruang rawat inap peserta non-PBI maksimal terdiri dari empat kamar tidur, sementara ruang untuk peserta PBI maksimal enam tempat tidur. Aturan lainnya seperti harus tersedia kamar mandi di dalam ruangan, tirai antarpasien, serta ventilasi dan pencahayaan ruangan yang memadai.
”Hasil sementara dari survei rumah sakit terkait kelas standar rawat inap program JKN dari status infrastruktur rumah sakit masih ada sekitar 20 persen rumah sakit yang belum bisa memenuhi kapastias maksimal enam tempat tidur. Sementara untuk respons rumah sakit, sebanyak 72 persen setuju dengan penerapan kelas standar dan 16 persen tidak setuju,” ujar Choesni.
Ia menambahkan, konsultasi publik mengenai kelas standar juga telah dilakukan dengan pihak terkait, seperti rumah sakit, asuransi kesehatan swasta, yayasan kesehatan badan usaha milik daerah (BUMD), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, ahli asuransi kesehatan, serta pemberi kerja dan peserta JKN. Dari konsultasi itu ditemukan empat aspek dasar yang perlu dibahas secara lebih lanjut, yakni terkait infrastruktur, pembiayaan, regulasi, dan implementasi.
Pada aspek infrastuktur perlu ditentukan estimasi total kebutuhan pemenuhan infrastruktur seperti tempat tidur. Jumlah tempat tidur yang tersedia di setiap rumah sakit harus memenuhi rasio jumlah penduduk. Pada aspek pembiayaan, pembahasan komprehensif dengan penetapan kebutuhan dasar kesehatan (KDK) diperlukan untuk menghitung estimasi biaya layanan.
”Dengan diterapkannya kelas standar, berarti perlu ada penyesuaian tarif INA-CBGs dan kapitasi. Jumlah iuran yang harus dibayarkan oleh peserta pun harus disesuaikan kembali dengan pertimbangan daya beli masyarakat, terutama untuk segmen peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri,” tutur Choesni.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Chairul Radjab Nasution menuturkan, pemerintah saat ini perlu didorong untuk melakukan komunikasi, koordinasi, dan sosialisasi secara intensif atas implementasi peta jalan penyesuaian kelas standar secara transparan khususnya dengan asosiasi rumah sakit dan pemerintah daerah. Sosialisasi ini diperlukan untuk meminimalkan risiko reputasi bagi BPJS Kesehatan dan program JKN-KIS.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan, selain persiapan untuk penerapan kelas standar, penetapan kebutuhan dasar kesehatan dalam program JKN-KIS juga semakin dimatangkan. Sesuai dengan UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, jaminan kesehatan diselenggarakan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan bagi seluruh peserta, mulai dari layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai.
”Rancangan manfaat JKN berbasis KDK untuk pelayanan yang dijamin JKN, antara lain, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan infeksi termasuk penyakit menular, serta kesehatan penyakit tidak menular termasuk penyakit katastropik. Sementara yang tidak dijamin, antara lain, pelayanan pada KLB (kejadian luar biasa), bencana alam dan nonalam, pelayanan pada kasus hukum, narkotika, dan kecelakaan kerja,” tuturnya.