Pengendalian produk tembakau di Indonesia masih lemah. Intervensi industri masih terjadi sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Ini bisa menghambat upaya perlindungan kesehatan masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen pemerintah Indonesia dalam mengendalikan produk tembakau amat lemah. Ini terutama pada upaya menekan pengaruh industri rokok dalam pengambilan kebijakan terkait isu kesehatan. Akibatnya, upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui pengendalian produk tembakau pun menjadi tidak optimal karena kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada industri.
Berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA) mengenai indeks campur tangan industri rokok pada 2020 di beberapa negara di seluruh dunia, Indonesia menempati peringkat ke-33 atau peringkat terakhir kedua sebelum Jepang. Semakin tinggi peringkat yang didapat menunjukkan semakin tinggi tingkat campur tangan industri rokok di negara tersebut.
Dalam lima tahun terakhir, indeks Indonesia bahkan selalu menempati urutan tertinggi di antara sembilan negara Asia Tenggara lain, yakni 84 (2015), 81 (2016), 79 (2017), 75 (2018), dan 82 (2019).
Dari sebagian besar indikator yang dinilai dalam indeks tersebut terlihat peran Pemerintah Indonesia dalam menekan campur tangan industri rokok sangat lemah. Itu terlihat, antara lain, dari tingkat partisipasi industri rokok dalam penyusunan kebijakan, bentuk interaksi pemerintah dengan industri rokok yang tidak perlu, serta kegiatan yang diklaim sebagai kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Manajer Pengawasan dan Evaluasi SEATCA Jennie Lyn Reyes, dalam pertemuan virtual yang disaksikan di Jakarta, Jumat (20/11/2020), menuturkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki indeks tertinggi terkait campur tangan industri rokok. Pada bentuk interaksi pemerintah dengan industri rokok, misalnya, indeks yang dicapai Indonesia pada angka 15 yang merupakan indeks tertinggi setara dengan Jordania, Kolombia, dan Argentina.
Selain itu, indeks terkait kurangnya transparansi pemerintah yang memfasilitasi campur tangan industri rokok juga tinggi di Indonesia. ”Di Asia, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama dengan anak perusahaan lokal dari Philip Morris International, PT HM Sampoerna Tbk, untuk melakukan penelitian terkait produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco products/HTP),” ujarnya.
Keterlibatan industri rokok terkait program CSR juga masih tinggi di Indonesia. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh industri rokok untuk mengenalkan ke masyarakat bahwa merupakan perusahaan yang baik.
Bahkan, di Indonesia, industri rokok mensponsori kegiatan turnamen yang cukup besar, seperti voli dan bulu tangkis. Dari kegiatan ini, industri rokok pun dapat memanfaatkannya untuk mempromosikan produk rokok yang dihasilkan.
Direktur Pusat Pemberantasan Tembakau Fakultas Kedokteran Universitas Kolombo Sri Lanka Mahesh Rajasuriya menyampaikan, pemahaman terkait kegiatan CSR belum dipahami secara benar oleh pemerintah di masing-masing negara. Kegiatan CSR sangat berkaitan dengan isu pembangunan berkelanjutan. Hal ini tidak hanya terkait dengan kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan melainkan juga kegiatan operasional dan manfaat produk dari industri tersebut.
Dalam ISO 26.000:2010 pun disebutkan bahwa industri rokok tidak lagi dikategorikan sebagai industri yang bisa melakukan tanggung jawab secara sosial. Industri rokok justru dikategorikan sebagai industri yang tidak bertangung jawab secara sosial.
”Di Indonesia, Philip Morris International telah mendonasikan ambulans untuk Palang Merah Indonesia (PMI). Tidak hanya itu, industri rokok di Korea Selatan bersama dengan mitra Philip Morris International menyumbangkan alat uji Covid-19 ke Indonesia. Begitu pula dengan industri rokok di Indonesia, Djarum, yang menyumbangkan alat pelindung diri ke RSUD Pamekasan. Ini menyebabkan peran pemerintah lemah terhadap campur tangan industri rokok,” kata Mahesh.
Manuver industri
Direktur Konsultasi Asia untuk Pengendalian Tembakau Judith Mackay menegaskan, taktik terkait campur tangan industri rokok di suatu negara dapat dilihat dari beberapa faktor, antara lain melakukan manuver untuk memengaruhi proses politik dan legislatif dan memanipulasi opini publik untuk mendapatkan penghargaan dan perhatian. Selain itu, industri rokok juga berupaya untuk mendiskreditkan ilmu pengetahuan dan ekonomi yang berbasis bukti serta mengintimidasi pemerintah dengan ancaman perdagangan.
Karena itu, kunci utama untuk melindungi kebijakan terkait kesehatan masyarakat ialah meniadakan partisipasi industri rokok dalam penentuan kebijakan publik, menyediakan keuntungan yang spesial bagi industri rokok termasuk industri milik negara, serta melarang kegiatan CSR yang disponsori oleh industri rokok. Kegiatan CSR ini hanya dimanfaatkan sebagai ajang publikasi untuk mengalihkan perhatian publik atas produk mematikan mereka.
”Pemerintah juga harus menegakkan seluruh kode etik yang tercantum dalam pedoman FCTC (Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau) pada Pasal 5.3 serta prinsip antikorupsi,” ucap Judith.
Pada pasal tersebut tertulis, semua pihak harus melindungi kebijakan pengendalian tembakau bagi kesehatan dari kepentingan komersial dan kepentingan lain industri tembakau. Sementara sampai saat ini Indonesia belum mengaksesi FCTC tersebut.
Secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menuturkan, campur tangan industri rokok di Indonesia diatur oleh Kementerian Perindustrian. Meski demikian, Kementerian Kesehatan telah berupaya untuk melindungi pegawai yang berada di lingkungan Kementerian Kesehatan dari benturan kepentingan dengan industri rokok.
Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan dengan Industri Tembakau di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Kebijakan ini dibuat karena benturan kepentingan dengan industri tembakau tidak hanya menyebabkan demoralisasi birokrasi dan kerugian negara, melainkan terdapat dampak ikutan yang lebih luas di masyarakat, seperti kerusakan sosial, kesakitan, dan kematian.