Mengingat betapa krusialnya peran vaksin untuk mengendalikan pandemi Covid-19, antisipasi sudah dilakukan sejak saat ini. Harapannya, masyarakat siap menerima vaksin.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Baliho sosialisasi manfaat vaksin terpasang pada bekas tiang monorel di Jalan Asia-Afrika, Jakarta Selatan, Kamis (19/11/2020). Pemerintah masih mengupayakan kesiapan vaksin covid-19 untuk dapat digunakan pada akhir Desember 2020 atau Januari 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Mengingat betapa krusialnya peran vaksin untuk mengendalikan pandemi Covid-19, antisipasi sudah dilakukan sejak saat ini untuk mempersiapkan masyarakat agar siap menerima vaksin. Sentimen antivaksin dapat menjadi kendala dalam mengendalikan pandemi.
Sejumlah perusahaan pemilik platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Google, Jumat (20/11/2020), sepakat bekerja sama dengan sejumlah lembaga penelitian dan organisasi masyarakat sipil di sejumlah negara di dunia untuk mengembangkan tata cara operasi pemberantasan hoaks di media sosial.
Kesepahaman dalam menangkal hoaks pandemi Covid-19 diyakini menjadi kian penting di tengah mulai bermunculannya kandidat vaksin untuk Covid-19.
”Dengan pengembangan vaksin korona yang mungkin tinggal beberapa bulan lagi, gelombang hoaks dapat mengancam kepercayaan publik terhadap vaksin di saat-saat krusial,” kata Nicola Aitken, Policy Manager Full Fact, lembaga pemeriksa fakta dan advokasi antihoaks yang beroperasi di Inggris.
Selain dengan Full Fact, perusahaan media sosial tersebut juga akan bekerja sama dengan Departemen Digital, Budaya, Media, dan Olahraga Inggris; Sekretariat Kabinet Kanada; Africa Check; Boom India; Chequado Argentina; Maldita.es Spanyol; serta Jaringan Pemeriksa Fakta Internasional (International Fact-Checking Network/IFCN) di mana enam media dan komunitas masyarakat sipil Indonesia juga tergabung.
TANGKAPAN LAYAR TWITTER
Contoh cuitan dari Presiden AS Donald Trump yang ditandai Twitter memiliki informasi yang diragukan kebenarannya.
Kelompok ini bertujuan menciptakan standar dalam upaya menanggulangi misinformasi secara akuntabel lintas organisasi tersebut. Harapannya, organisasi yang terlibat, termasuk raksasa media sosial tersebut, dapat melakukan respons secara proporsional, efektif, dan memiliki bukti yang kuat dalam menegakkan suatu informasi sebagai hoaks.
Selama Covid-19 melanda sejak awal 2020 ini, platform media sosial mendapat sorotan publik terkait penyebaran hoaks yang terkait pandemi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut pandemi Covid-19 juga disertai dengan infodemics, yaitu banjir informasi dengan berbagai tingkat akurasi yang mengganggu penanganan kesehatan.
Dari sisi kebijakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mempersiapkan jalur pidana untuk memastikan warga Jakarta bersedia menerima vaksin Covid-19. Pada pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menandatangani Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 yang diundangkan pada 12 November.
Dalam Pasal 30 Perda tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang menolak obat ataupun vaksin Covid-19 dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 5 juta.
Proses mempersiapkan masyarakat Indonesia menerima vaksin sekaligus proses logistik di lapangan akan menjadi kerja besar yang harus diantisipasi.
Survei daring yang digelar Laporcovid19, Fakultas Psikologi UI, Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana pada September-Oktober menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat Indonesia masih rendah.
Hanya 31 persen dari 2.109 responden yang bersedia menerima vaksin Sinovac-Bio Farma dan 44 persen menerima vaksin yang pengembangannya dipimpin oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Kompas, 14/10/2020).
Epidemiolog dan pakar biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan, mengatakan, proses imunisasi Covid-19 dapat menjadi salah satu upaya penanggulangan penyakit menular yang pernah dilakukan di Indonesia.
Dengan mengasumsikan sebuah vaksin Covid-19 memiliki efikasi 70 persen, Iwan mengatakan, artinya vaksinasi harus dilakukan kepada minimal 70-80 persen penduduk Indonesia. Jika penduduk Indonesia 275 juta orang, artinya harus 220 juta yang divaksinasi.
”Kami di epidemiologi menyebut vaksin bukanlah solusi jangka pendek. Kalau perlu (vaksinasi) 220 juta, bisa jadi ini tidak bisa diselesaikan dalam setahun saja,” kata Iwan.
Iwan menyebut proses ini akan sebanding dengan proses imunisasi cacar yang telah digelar lebih dari 50 tahun yang lalu. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, cacar dapat dieradikasi pada 1980 setelah proses imunisasi yang berlangsung sejak 1956.