Lebih Besar Risiko daripada Manfaatnya, Penggunaan Darurat Klorokuin Dihentikan
BPOM mencabut persetujuan penggunaa darurat klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pengobatan Covid-19. Ini karena temuan yang menunjukkan penggunaan obat tersebut lebih tinggi risiko daripada manfaatnya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil studi klinik dan data penelitian di Indonesia menunjukkan, risiko dari penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin lebih besar dari manfaat yang didapatkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan mencabut persetujuan penggunaan darurat dari kedua obat tersebut untuk pengobatan Covid-19.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan, obat yang mengandung hidroksiklorokuin dan klorokuin diharapkan tidak digunakan lagi dalam pengobatan Covid-19 di Indonesia. BPOM telah mencabut persetujuan penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/ EUA) dari hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan Covid-19.
”Izin edar obat yang mengandung hidroksiklorokuin dengan indikasi selain pengobatan Covid-19 masih tetap berlaku dan dapat digunakan untuk pengobatan sesuai dengan indikasi yang disetujui pada izin edarnya. Sementara untuk obat yang mengandung klorokuin dicabut izin edarnya karena tidak digunakan untuk indikasi lain,” tuturnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Keputusan ini sesuai dengan hasil uji klinik dan hasil pemantauan dari BPOM bersama tim ahli dan organisasi profesi terkait, seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, serta Perhimpunan Dokter Spesialis Farmakologi Klinik Indonesia.
Dari hasil pemantauan yang dilakukan, penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin pada pengobatan Covid-19 memiliki risiko yang lebih besar daripada manfaatnya. Pada akhir Oktober 2020, BPOM menerima laporan keamanan penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin.
Laporan itu didapatkan dari hasil penelitian observasional yang dilakukan selama empat bulan di tujuh rumah sakit di Indonesia. Laporan tersebut menunjukkan dari 213 kasus yang mendapatkan hidroksiklorokuin atau klorokuin diketahui 28,2 persen mengalami gangguan ritme jantung berupa perpanjangan interval QT.
Sebelumnya, United States Food and Drug Administration telah mencabut EUA untuk klorokuin dan hidroksiklorokuin. Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menghentikan uji klinik (solidarity trial) dari hidroksiklorokuin karena dinilai memiliki risiko lebih besar daripada manfaatnya.
”BPOM terus memantau, menindaklanjuti, serta melakukan pembaruan informasi dengan berkomunikasi dengan profesi kesehatan terkait berdasarkan data terkini di Indonesia, informasi dari WHO, dan badan otoritas obat di negara lain,” kata Penny.
Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, seluruh anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia juga organisasi kedokteran lain telah diimbau tidak menggunakan hidroksiklorokuin dan klorokiun untuk tata laksana Covid-19. Hal itu sesuai dengan surat edaran yang disampaikan BPOM pada 13 November 2020 tentang pencabutan EUA dari kedua obat tersebut.
”Buku pedoman penatalaksanaan Covid-19 akan kami lakukan revisi secepatnya,” katanya.
Pada surat Badan POM Nomor R-PW.01.14.3.35.11.20.986 tentang pencabutan EUA hidroksiklorokuin dan klorokuin disebutkan, setidaknya ada 11 obat yang mengandung hidroksiklorokuin yang persetujuan penggunaan darurat/ EUA-nya dicabut. Obat itu, antara lain, hydroxin, hidroxychloroquine sulfate, hyloquin, esele, farneltik, dan sanloquin. Sementara itu, ada 12 obat yang mengandung klorokuin yang izin edarnya dicabut, yakni riboquin, erlaquin, chloroquine phosphate, dan merquin 250.