Akses masyarakat terhadap sanitasi yang aman masih minim. Padahal, sanitasi yang aman menjadi kunci untuk mengurangi risiko tertular berbagai penyakit dan pencemaran lingkungan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akses sanitasi yang layak di masyarakat sudah baik. Namun, itu saja tidak cukup jika tidak disertai dengan pemenuhan akses sanitasi yang aman. Berbagai risiko bisa terjadi, baik pada kesehatan masyarakat maupun kondisi lingkungan.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan peningkatan tren akses masyarakat terhadap sanitasi di Indonesia. Pada tahun 2011 tercatat akses sanitasi yang layak sebesar 58,44 persen dan meningkat menjadi 77,44 persen pada 2019. Namun, persentase untuk akses sanitasi yang aman amat minim. Pada 2019 tercatat akses sanitasi yang aman di Indonesia hanya 7,5 persen.
Sanitasi yang aman artinya tidak menimbulkan pencemaran limbah domestik pada sumber air. Ini bisa diwujudkan dengan membangun penampungan limbah domestik berupa tanki septik yang sesuai standar, melakukan penyedotan lumpur tinja secara rutin dan disalurkan ke unit pengelolaan, serta tersedianya instalasi pengolahan lumpur tinja yang memadai.
”Akses sanitasi tidak hanya dilihat dari adanya toilet atau jamban, melainkan juga harus dipastikan ada sistem pengolahan yang baik pada air limbah dan lumpur tinja yang dihasilkan. Dengan begitu, ketika air limbahnya disalurkan ke sungai tetap aman untuk lingkungan, bahkan aman dijadikan sumber air baku,” ujar Direktur Perumahan dan Pemukiman Kedeputian Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Tri Dewi Virgiyanti dalam webinar terkait peringatan Hari Toilet Sedunia di Jakarta, Rabu (18/11/2020).
Ia mengatakan, ketersediaan fasilitas pengelolaan lumpur tinja di Indonesia juga masih amat kurang. Sampai 2019, hanya ada 195 kabupaten/kota yang memiliki izin pembuangan air limbah domestik (IPALD).
Akses sanitasi tidak hanya dilihat dari adanya toilet atau jamban, tetapi juga harus dipastikan ada sistem pengolahan yang baik pada air limbah dan lumpur tinja yang dihasilkan.
Selain itu, hanya 255 kabupaten/kota yang memiliki instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT). Dari jumlah ini pun tidak semua instalasi beroperasi optimal karena kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk melakukan penyedotan rutin juga masih rendah.
Persoalan lain yang dihadapi terkait pengelolaan limbah ini ialah banyak layanan sedot tinja yang dikelola swasta yang tidak menyalurkan tinja yang disedot tersebut ke IPLT. Lumpur tinja itu justru dibuang ke sungai untuk memangkas biaya. Padahal, ini dapat mencemari air sungai yang dapat merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai tersebut.
Senior Spesialist On-Site Sanitation program Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene (Iuwash) Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Adri Ruslan menuturkan, kesadaran warga akan akses sanitasi terutama terkait pengolahan limbah tinja yang baik perlu ditingkatkan. Saat ini masih banyak penduduk yang abai terhadap pengelolaan limbah tinja di tempat tinggalnya, termasuk dalam pembuatan tangki septik.
Meski dalam izin mendirikan bangunan sudah ada indikator pembangunan tangki septik yang tersatandar, pengawasan yang minim membuat pembanguan tangki ini menjadi tidak sesuai. Masyarakat pun masih banyak yang tidak paham terkait pemasangan tangki septik yang aman dan sesuai standar.
”Standar spesifik dalam pembuatan tangki septik, antara lain, harus kedap, memiliki pipa masuk dan keluar, memiliki lubang kontrol atau sedot, serta ukurannya harus sesuai standar. Setidaknya, lumpur tinja yang mengendap juga harus disedot secara rutin setiap 2-3 tahun sekali. Jadi, jika tangki septik tidak pernah penuh justru itu bermasalah,” kata Adri.
Kepala Seksi Pengamanan Radiasi Subdirektorat Pengamanan Limbah dan Radiasi Direktorat Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Kristin Darundiyah menambahkan, limbah domestik rumah tangga, seperti limbah tinja yang tidak terolah dengan baik, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Apabila pencemaran yang terjadi sampai berdampak pada mutu air yang dikonsumsi dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti diare, kolera, malnutrisi, dan hepatitis.
Karena itu, edukasi dan sosialisasi yang masif terus dilakukan. Pemerintah juga telah menjalankan program terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan sanitasi total berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan dapat mewujudkan akses sanitasi yang aman di masyarakat.
”Penyakit yang terkait buruknya pemenuhan air bersih dan sanitasi menyumbangkan angka kematian yang tinggi di Indonesia. Upaya pengendalian terhadap persoalan ini harus dilakukan secara komprehensif dari lintas sektor. Pemberdayaan masyarakat serta keterlibatan mitra kerja dari lemabga swadaya masyarakat juga harus ditingkatkan untuk mewujudkan sanitasi yang aman dan berkelanjutan,” ucap Kristin.
Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan akses sanitasi yang layak dan aman bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan. Berbagai kebijakan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat diharapkan bisa diimplementasikan dengan baik sampai di tingkat rumah tangga.
Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Begitu pula tantangan yang dihadapi. Ini seperti tantangan yang ditemui di masyarakat pedesaan dan perkotaan. Wilayah perdesaan biasanya terkendala akan akses layanan sedot tinja, sementara di perkotaan terkendala pada keterbatasan lahan untuk penempatan tangki septik.
”Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, antara lain, dengan membangun tempat penampungan limbah tinja secara komunal atau setidaknya letak tangki septik berjarak 10 meter dari sumber air. Pengelolaannya pun bisa diatur pemimpin daerah setempat sehingga tetap bisa memenuhi standar yang berlaku serta tetap aman dari pencemaran lingkungan,” tutur Kristin.