Penggunaan Antibiotik Tidak Sesuai Target Masih Tinggi
Penggunaan antibiotik yang tidak pada tempatnya bisa menyebabkan resistensi yang bisa memperberat pengobatan. Permasalahan ini membutuhkan penyelesaian bersama para pihak terkait.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai target masih banyak ditemukan di fasilitas kesehatan, baik di fasilitas kesehatan primer maupun rumah sakit. Hal ini menyebabkan resistensi antimikroba semakin sulit dikendalikan. Tanpa komitmen dan kolaborasi yang kuat dari lintas sektor, ketahanan kesehatan masyarakat bisa terancam.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, penyalahgunaan penggunaan antibiotik banyak ditemui di tengah masyarakat. Di tengah pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang minim, masih ditemui sejumlah dokter yang terlalu mudah memberikan resep antibiotik yang bahkan tidak sesuai peruntukannya.
”Antibiotik pun saat ini masih bisa dibeli tanpa resep dokter. Ada juga antibiotik yang dijual bebas di toko obat. Tidak sedikit juga masyarakat yang mengonsumsi antibiotik tidak sampai tuntas yang kemudian dikonsumsi lagi di kemudian hari. Kondisi inilah yang menyebabkan resistensi antibiotik semakin tinggi,” tuturnya, di Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Berdasarkan survei yang dihimpun YLKI, 40 persen responden menyatakan pernah membeli antibiotik tanpa berkonsultasi dengan dokter. Dari jumlah itu, 30 persen responden mengaku apoteker di apotek tidak menanyakan ataupun meminta resep terlebih dahulu sehingga antibiotik mudah didapatkan.
Selain itu, data Kementerian Kesehatan pada 2016 menunjukkan, penggunaan antibiotik pada diare nonspesifik yang diberikan oleh puskesmas mencapai 40 persen dari target yang seharusnya diberikan hanya 8 persen. Pemberian antibiotik untuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) nonpneumonia juga masih tinggi, yakni 40 persen dari target 20 persen. Kedua penyakit ini hampir 90 persen disebabkan oleh virus sehingga seharusnya tidak membutuhkan antibiotik.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali menuturkan, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan protokol yang ditentukan dapat menimbulkan terjadinya resistensi antimikroba. Kondisi ini menyebabkan penyakit yang diderita sulit disembuhkan, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Biaya pengobatan yang dikeluarkan pun lebih mahal. Kondisi ini sudah nyata terjadi pada pasien tuberkulosis resisten obat. Resistensi ini tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan, tetapi juga dampak ekonomi dan sosial.
Dari tinjauan yang dilakukan ekonom asal Inggris, Jim O’Neill, pada 2050 diproyeksikan ekonomi global akan kehilangan sekitar 100 triliun dollar AS jika tidak ada pengendalian yang signifikan terhadap resistensi antimikroba. Setidaknya diproyeksikan juga ada 10 juta jiwa yang meninggal pada 2050 akibat resistensi ini. Jumlah kematian itu akan lebih tinggi dari penyakit lain, seperti kanker.
”Tanggung jawab pengendalian dan pencegahan resistensi antimikroba tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak saja. Dibutuhkan keterlibatan semua pihak melalui strategi yang komprehensif. Kesadaran dan kepedulian bersama, baik dari tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, industri farmasi, dunia pendidikan, maupun masyarakat sangat dibutuhkan,” kata Imran.
Pengajar dan peneliti di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) yang juga Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan, Anis Karuniawati, menuturkan, pemerintah telah menyusun strategi pengendalian resisten antimikroba pada periode 2020-2024. Lewat rencana aksi yang dibentuk, kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai dampak resisten antimikroba ini bisa semakin baik.
Pengendalian resistensi antimikroba juga semakin diperkuat di rumah sakit. Itu dilakukan salah satunya melalui program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) yang menjadi indikator dalam standar akreditasi rumah sakit.
Upaya peningkatan kualitas data terkait surveilans resistensi antimikroba juga terus diperbaiki sehingga dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat. Tata kelola dan koordinasi yang terpadu juga ditingkatkan untuk mengoptimalkan penggunaan antimikroba pada manusia, hewan, ataupun tanaman.
”Resistensi antibiotik tidak hanya terjadi di sektor kesehatan masyarakat, tetapi juga kesehatan hewan. Karena itu, upaya pengendalian yang dilakukan harus terintegrasi dengan pendekatan One Health. Inovasi pencegahan dan tata cara pengelolaan infeksi serta alternatif pengganti mikroba pun terus dikembangkan,” kata Anis.
Pada hewan ternak
Survei Kementerian Pertanian pada 2017 menunjukkan, 81,4 persen peternak menggunakan antibiotik pada unggasnya untuk mencegah penyakit. Sementara 30,2 persen peternak menggunakan antibiotik untuk pengobatan. Dari survei yang dilakukan itu ada 34 persen yang menggunakan antibiotik jenis colistin, padahal antibiotik ini sudah dilarang oleh pemerintah karena dapat menyebabkan resistensi antibiotik.
Tulus mengatakan, regulasi yang sudah diterbitkan untuk mengendalikan resistensi antibiotik harus disertai dengan pengawasan yang ketat. Penggunaan antibiotik pada hewan ternak harus dihentikan karena bisa berdampak pada ketahanan pangan masyarakat.
”Sertifikat bebas residu antibiotik pada bahan pangan, khususnya pada daging yang dipasarkan di masyarakat sangat diperlukan. Konsumen berhak mengonsumsi bahan pangan yang terbebas dari antibiotik. Penegakan hukum yang konsisten dan sinergis diperlukan bagi peternak yang masih menggunakan antibiotik untuk hewan ternaknya,” ucapnya.