Efikasi 94,5 Persen, Kabar Baik dari Vaksin Covid-19 Buatan Moderna
Setelah Pfizer, kabar bagus soal vaksin Covid-19 datang dari firma biotek Moderna yang vaksinnya memiliki efikasi lebih dari 90 persen. Namun, hal yang utama adalah memastikan keamanan dan juga kelak distribusinya.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data interim atau sementara dari uji klinik fase ketiga untuk calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan firma biotek Moderna dan National Institutes of Health Amerika Serikat menunjukkan efikasi sebesar 94,5 persen. Sebuah kabar menggembirakan, tetapi data masih bisa berubah-ubah hingga uji klinik berakhir.
Data yang diumumkan pada Senin (16/11/2020) malam ini berbasis data terhadap 95 partisipan uji klinik yang terpapar Covid-19. Dari jumlah tersebut, 90 orang berasal dari kelompok penerima plasebo dan lima sisanya dari kelompok penerima calon vaksin bernama mRNA-1273 tersebut.
CEO Moderna Stéphane Bancel menganggap ini sebagai titik penting pengembangan vaksin yang dilakukan pihaknya selama ini. ”Hasil analisis data interim dari uji klinik fase ketiga kami telah memberikan kami validasi bahwa vaksin kami dapat mencegah penyebaran Covid-19,” kata Bancel.
Pakar biostatistik dan epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan, mengatakan, pada prinsipnya, menurut Iwan, untuk vaksin Covid-19, minimal efikasinya adalah lebih dari 50 persen.
Tingkat efikasi ini, kata Iwan, akan berkaitan dengan jumlah orang yang harus divaksinasi dalam sebuah populasi. Vaksin dengan efikasi 70 persen berarti vaksinasi harus dilakukan kepada 70-80 persen penduduk.
Namun, dengan tingkat efikasi mencapai lebih dari 90 persen, seperti data interim dari Pfizer dan Moderna, vaksinasi perlu dilakukan kepada 50 persen populasi untuk bisa mengendalikan wabahnya.
Iwan menganggap ini sebuah kabar bagus bahwa Pfizer dan Moderna memiliki efikasi hingga lebih dari 90 persen. Namun, hal yang utama adalah memastikan keamanan dan juga kelak distribusinya.
”Efikasi hingga 95 persen ini artinya vaksin ini bagus mencegah penularan hingga 95 persen orang yang divaksinasi. Tetapi, yang perlu diperhatikan itu adalah pertama, urusan keamanannya. Kedua, urusan logistiknya,” katanya.
Efikasi hingga 95 persen ini artinya vaksin ini bagus mencegah penularan hingga 95 persen orang yang divaksinasi. Tetapi, yang perlu diperhatikan itu adalah pertama, urusan keamanannya. Kedua, urusan logistiknya.
Dalam keterangan resminya, Moderna juga telah menyatakan bahwa hasil efikasi final dapat berubah dari data sementara.
Iwan menyinggung syarat kondisi penyimpanan untuk calon vaksin pengembangan Pfizer-BioNTech. Vaksin tersebut harus disimpan dalam kondisi minus 80 derajat celsius, yang tentu mengundang persoalan khusus mengenai sistem distribusi dan penyimpanannya.
Namun, untuk yang dikembangkan Moderna-NIH, vaksin ini dapat disimpan dalam lemari pendingin biasa, yakni 2-9 derajat celsius untuk ketahanan hingga 30 hari atau hingga enam bulan. Jika disimpan dalam lemari pembeku minus 20 derajat celsius, vaksin juga masih tetap efektif selama 12 jam setelah dikeluarkan dari lemari pendingin ataupun pembeku.
”Kalau kita tidak bisa mempertahankan vaksin itu dalam suhu tersebut, ya, efikasi jadi 0 persen,” ujar Iwan.
Melampaui harapan Fauci
Vaksin mRNA-1273 adalah hasil kerja sama antara Moderna dan National Institutes of Health (NIH), lembaga Pemerintah AS yang bertanggung jawab dalam pengembangan obat. Secara khusus, vaksin ini dikembangkan oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID/Pusat Penelitian Alergi dan Penyakit Menular), lembaga yang dikepalai oleh Anthony Fauci.
Beberapa bulan lalu, Fauci sempat memberikan keterangan kepada media bahwa ia akan puas jika vaksin yang turut dikembangkan oleh pihaknya tersebut berhasil memiliki efikasi 70-75 persen. Capaian 94,5 persen ini tentu melampaui ekspektasinya.
”Aspirasi kami telah terpenuhi dan ini sungguh kabar yang baik,” kata Fauci.
Di sisi lain, sejumlah pakar menunggu data yang lebih komprehensif mengenai capaian Moderna tersebut. Virolog Pusat Studi Keamanan dan Ilmu Kesehatan Georgetown University, Angela Rasmussen, menyayangkan bahwa Moderna memilih untuk mengumumkan melalui keterangan pers ketimbang publikasi dalam jurnal ilmiah.
Hal yang sama juga disampaikan oleh imunolog Imperial College London, Daniel Altmann. Namun, sejauh keterangan pers yang diberikan, ia menilai data yang disampaikan Moderna cukup meyakinkan.
”Kami tetap harus melihat data hasil peer-review, tetapi sejauh ini, pengumuman Moderna ini adalah kabar baik,” kata Altmann.
Uji klinik fase ketiga yang digelar oleh Moderna dan NIH ini telah merekrut 30.000 partisipan. Direncanakan, dalam register uji klinik Pemerintah AS, studi ini akan berakhir pada 27 Oktober 2022. Studi ini bertujuan untuk melihat kekebalan yang dipicu vaksin ini, apakah bisa bertahan hingga dua tahun.
Namun, Moderna memastikan, dalam beberapa pekan ke depan pihaknya akan segera mengajukan proposal penggunaan vaksin mRNA-1273 untuk keadaan darurat (emergency use authorization/EUA) ke Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drugs Administration/FDA).
Moderna mengungkapkan, pihaknya dapat memproduksi 20 juta dosis vaksin hingga akhir 2020 dan menurut rencana memproduksi 500 juta-1 miliar dosis pada 2021. Pada Agustus lalu, Moderna menyatakan, perkiraan harga satu dosis vaksin yang dikembangkannya ini berkisar 32 dollar AS-37 dollar AS (Rp 449.000-Rp 519.000).
Belum ada kabar apakah Pemerintah Indonesia akan membeli vaksin ini. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah sepakat untuk membeli vaksin dari tiga firma farmasi dan biotek, yakni Sinovac Biotech, Sinopharm, dan CanSino Biologics.
Beberapa pekan lalu, Pemerintah Indonesia juga menjajaki pembelian calon vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi AstraZeneca dan University of Oxford sebanyak 100 juta dosis, tetapi belum ada kepastian lebih lanjut.