Waspadai Hipertensi Paru pada Pasien Gangguan Jantung Bawaan
Deteksi dini serta penapisan yang lebih masif diperlukan, terutama kepada pasien dengan gangguan jantung bawaan. Ini karena sebagian besar pasien hipertensi paru memiliki gangguan jantung bawaan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diperkirakan jumlah pasien hipertensi paru di Indonesia mencapai 25.000 pasien. Namun, baru sekitar 800 pasien yang telah terdiagnosa. Deteksi dini serta penapisan yang lebih masif diperlukan, terutama pada pasien dengan jantung bawaan. Ini karena sebagian besar pasien hipertensi paru memiliki gangguan jantung bawaan.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada/Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Lucia Kris Dinarti, mengatakan, dari 1.262 pasien yang diteliti, setidaknya ditemukan 87 persen pasien hipertensi paru yang memiliki penyakit jantung bawaan. Sementara 12 persen pasien tidak diketahui penyebabnya dan 1 persen lainnya disebabkan oleh penyakit lain, seperti HIV dan lupus.
”Kewaspadaan akan adanya hipertensi paru ini perlu semakin ditingkatkan oleh masyarakat, terutama dengan faktor risiko seperti penyakit jantung bawaan. Penanganan harus cepat dan tepat diberikan karena sekitar 50 persen pasien yang tanpa pengobatan meninggal dalam dua tahun,” tuturnya dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Minggu (15/11/2020).
Ia menambahkan, penyakit hipertensi paru juga lebih banyak dialami perempuan. Deteksi dini pada penyakit ini juga masih kurang karena tidak jarang pasien hipertensi paru justru mendapatkan penanganan untuk penyakit paru lainnya.
Hipertensi paru merupakan gangguan kesehatan yang menyebabkan pembuluh darah di paru-paru menebal. Kondisi ini membuat aliran darah menjadi terhambat sehingga kinerja jantung untuk memompa darah semakin berat. Biasanya, hipertensi paru ditandai dengan gejala sesak napas, bibir kebiruan, mudah lelah, sering pingsan, serta kaki membengkak.
Sejumlah pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendiagnosis hipertensi paru. Itu, antara lain, dengan pemeriksaan rekam jantung (EKG), rontgen dada, pemeriksaan paru dengan pemindai CT (computed tomography), mengukur kadar oksigen dalam darah, penyadapan jantung kanan, dan pemeriksaan darah.
”Pengobatan untuk pasien hipertensi paru sudah lebih baik saat ini. Namun, dari 14 jenis obat yang digunakan untuk pasien hipertensi paru, baru ada empat jenis yang tersedia di Indonesia. Itu pun belum semua obat yang ada dapat ditanggung oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” kata Lucia.
Bambang Budi Siswanto, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Harapan Kita, menambahkan, selain keterbatasan obat, jumlah dokter yang memiliki spesifikasi hipertensi paru masih amat minim. Dari seluruh provinsi di Indonesia masih ada 21 provinsi yang belum memiliki dokter dengan peminatan khusus hipertensi paru.
Kondisi ini menyebabkan pelayanan kepada pasien menjadi lebih panjang. Pasien pun harus pergi ke luar kota untuk mendapatkan terapi ataupun pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Biaya yang dikeluarkan juga menjadi lebih besar untuk akomodasi, sekalipun biaya pelayanan kesehatan sudah ditanggung melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
”Pelayanan kesehatan kita juga masih belum terintegrasi. Hal ini perlu terus diperbaiki agar kualitas layanan kepada pasien bisa lebih optimal. Harapan hidup dari pasien serta produktivitas pasien pun bisa meningkat,” tuturnya.
Kelompok pendukung
Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia Indriani Ginoto menyampaikan, kesadaran serta pemahaman masyarakat terhadap penyakit hipertensi paru seharusnya sudah lebih baik. Berbagai informasi dan edukasi cukup banyak diberikan, terutama dari komunitas pendukung. Selain edukasi, dorongan untuk pengadaan obat yang dibutuhkan juga terus diperkuat agar pasien bisa mendapatkan layanan yang terbaik.
”Penanganan yang kurang optimal bisa juga disebabkan karena pengetahuan tentang hipertensi paru masih kurang. Pengetahuan ini tidak hanya diperlukan bagi pasien, tetapi juga keluarga pasien. Peran keluarga juga orang terdekat sangat dibutuhkan untuk mendukung pengobatan pasien,” katanya.
Psikolog klinis dari Pijar Psikologi, Retno Utari, menuturkan, pasien dengan penyakit kronis, seperti hipertensi paru, rentan mengalami stres dan depresi. Penyebabnya bisa karena kejenuhan dalam menjalani prosedur medis, bosan dalam mengonsumsi obat-obatan, kehilangan daya aktualisasi diri, serta adanya perubahan fisik dan kurangnya pemahaman terhadap kondisi yang dialami.
Karena itu, dukungan keluarga dan masyarakat serta tim dokter sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan pengobatan pasien. ”Selain untuk mengawasi kepatuhan dalam menjalankan terapi obat, keluarga dan kelompok pendukung juga berperan untuk mencegah pasien dengan penyakit kronis mengalami depresi yang justru dapat memperburuk kondisi pasien,” ucap Retno.