Kolaborasi Vaksin Covid-19 BioNTech-Pfizer, Melampaui Rivalitas Seribu Tahun
Kerja sama dan pertemanan personal antara peneliti Jerman asal Turki, Ugur Sahin dan Ozlem Tureci, dengan CEO Pfizer Albert Bourla asal Yunani jadi simbol harapan melawan pandemi Covid-19 yang telah melumpuhkan dunia.

BioNTech, perusahaan bioteknologi yang berbasis di Mainz, Jerman, didirikan oleh pasangan suami istri peneliti Jerman berdarah Turki, Dr Ugur Sahin (55) dan Dr Ozel Tureci (53). BioNTech bersama Pfizer mengembangkan vaksin Covid-19 yang diklaim memiliki efektivitas 90 persen.
Dalam beberapa hari terakhir, pemberitaan Covid-19 didominasi dengan kabar kesuksesan Pfizer dan BioNTech mengembangkan calon vaksin yang memiliki efektivitas 90 persen. Sekilas, melihat Pfizer dan BioNTech, muncul kesan sebuah hubungan kerja sama yang konvensional antara perusahaan farmasi Amerika Serikat dan sekumpulan pakar biotek asal Jerman.
Namun, melihat lebih dalam, ada sesuatu yang tidak biasa dari pencapaian ini, ada kisah mengenai imigran dalam pasangan suami-istri peneliti Jerman berdarah Turki serta pertemanan lintas batas antagonisme Yunani-Turki di balik calon vaksin Covid-19 yang paling menjanjikan ini.
BioNTech, perusahaan bioteknologi yang berbasis di Mainz, Jerman, didirikan oleh pasangan suami istri peneliti Jerman berdarah Turki, Dr Ugur Sahin (55) dan Dr Ozel Tureci (53).
Sahin dilahirkan di Iskanderun, Turki. Saat ia berusia empat tahun, keluarganya pindah ke Koln, Jerman, dan orangtuanya bekerja di pabrik Ford. Bercita-cita menjadi dokter, ia lulus pendidikan dokter dari Universitas Koln. Pada 1993, ia pun meraih gelar doktorat bidang imunoterapi sel tumor.
Baca juga: Perlu Data Lebih Lengkap Sebelum Menyambut Vaksin Pfizer-BioNTech
Di awal kariernya, Sahin bertemu dengan Tureci, yang kini menjabat sebagai chief medical officer BioNTech. Tureci adalah putri dari seorang dokter imigran asal Istanbul.

Warga berjalan di depan kantor pusat perusahaan farmasi Pfizer di New York City, Amerika Serikat, Senin (9/11/2020). Pfizer mengumumkan hasil positif uji klinis vaksin yang mereka kembangkan dan terbukti 90 persen efektif mencegah penularan Covid-19.
Pada 2001, pasangan suami istri ini mendirikan perusahaan farmasi Ganymed Pharmaceuticals yang berfokus pada mengembangkan obat kanker. Pada 2016, perusahaan ini mereka jual dengan nilai 1,6 miliar dollar AS.
BioNTech pada setahun terakhir pun nilai valuasinya terus melambung. Dari 4,6 miliar dollar AS pada 2019, hingga kini meningkat lebih dari empat kali lipat menjadi 21 miliar dollar AS pada akhir pekan lalu. Kini, Sahin dan Tureci masuk dalam daftar 100 orang terkaya Jerman.
Meski demikian, Sahin dan Tureci masih tetap menggunakan sepeda untuk pergi ke kantor dari apartemen sederhana tempat mereka tinggal bersama anak tunggal mereka. Mereka tidak memiliki mobil.
Kesuksesan BioNTech menjadi simbol bagaimana kebijakan membuka gerbang imigrasi yang diambil Pemerintah Jerman bukanlah hal yang buruk. Anggota Parlemen Jerman, Johannes Vogel, menulis di Twitter-nya bahwa jika sayap kanan politik Jerman yang berkuasa, tidak akan ada BioNTech di Jerman.
”Hal yang membuat kita kuat adalah imigrasi, ekonomi berbasis pasar, dan masyarakat yang terbuka,” tulisnya.
Pandangan senada disampaikan oleh Christian Odendahl, kepala ekonom think tank terkemuka Eropa, Centre for European Reform, melalui Twitter-nya.
”Keterbukaan terhadap imigrasi menjadi persoalan yang rumit di Jerman. Program ’pekerja tamu’ pasca-perang dunia saat itu menimbulkan reaksi yang ambivalen di masyarakat. Namun, salah satu imigran yang datang saat itu adalah ayah dari Sahin, yang datang ke Koln untuk bekerja di Ford. Sekarang, anaknya berpeluang untuk mengakhiri pandemi global,” kata Odendahl.
Mustafa Prize
Calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan BioNTech bisa tergolong baru. Tidak menggunakan virus korona yang dilemahkan, vaksin ini bekerja dengan cara merancang kode genetik pada messenger-RNA (mRNA) yang kemudian diinjeksikan ke tubuh manusia.
Molekul mRNA ini berisi set instruksi yang akan memproduksi jenis protein yang sama yang digunakan oleh virus korona untuk masuk ke dalam sel manusia (spike protein). Spike protein ini tidak berbahaya jika berdiri sendiri.

Berlomba Menemukan Vaksin Covid-19
Spike protein yang diproduksi oleh manusia ini akan memicu sistem kekebalan tubuh terhadap protein tersebut. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh manusia akan sudah imunitas terhadap virus korona ketika virus tersebut datang.
Studi penggunaan mRNA ini telah mengantarkan Sahin mendapatkan Mustafa Prize 2019, sebuah hadiah terhadap ilmuwan yang disebut oleh jurnal ilmiah Science sebagai Nobel Muslim.
Keterbukaan terhadap imigrasi menjadi persoalan yang rumit di Jerman. Program ’pekerja tamu’ pasca-perang dunia saat itu menimbulkan reaksi yang ambivalen di masyarakat. Namun, salah satu imigran yang datang saat itu adalah ayah dari Sahin, yang datang ke Koln untuk bekerja di Ford. Sekarang, anaknya berpeluang untuk mengakhiri pandemi global.
Metode penggunaan mRNA ini awalnya diteliti oleh Sahin sebagai mekanisme sebuah vaksin kanker yang ia kembangkan. Pada prinsipnya, dengan mendeteksi setiap mutasi gen yang dimiliki oleh miliaran sel kanker yang dimiliki oleh penderita kanker, Sahin dapat merancang vaksin yang akan memicu tubuh untuk melawan sel-sel kanker tersebut secara spesifik.
”Kami menganalisis kanker dari pasien, lalu mengidentifikasi karakteristik uniknya. Dengan pengetahuan itu, kami merancang vaksin yang sesuai dengan individu tersebut,” kata Sahin. Efektivitas metode mRNA untuk melawan sel kanker ini pun telah terbukti dan dipublikasikan di jurnal medis ternama, Nature, pada 2017.
Geser fokus
Sejak awal didirikan, perusahaan ini awalnya fokus untuk mengembangkan vaksin kanker tersebut. Keterlibatan BioNTech terhadap pengembangkan vaksin Covid-19 baru bermula pada awal Januari 2020, ketika Sahin membaca artikel di jurnal medis The Lancet mengenai munculnya epidemi virus korona di China.
Para peneliti BioNTech yang saat itu masih menikmati liburan akhir tahun memilih masuk kerja lebih awal dan memulai sebuah proyek yang diberi nama ”Project Lightspeed” yang bertujuan mengembangkan vaksin Covid-19 sesegera mungkin.
”Saat itu kami tidak melihatnya sebagai peluang, tetapi tugas untuk segera mengembangkan vaksin,” kata Sahin.
Setelah mengembangkan sejumlah calon vaksin, BioNTech pun perlu mencari partner agar dapat segera melakukan uji klinis dan jika sukses mendapatkan izin edar secepat mungkin.

Foto dokumentasi Oktober 2020, yang dirilis oleh perusahaan farmasi Pfizer, ini memperlihatkan ruang penyimpanan berpendingin untuk menyimpan vaksin Covid-19. Fasilitas penyimpanan seukuran lapangan sepak bola ini tengah dibangun di Kalamazoo, Michigan, Amerika Serikat.
Saat itu, Pfizer dan Biontech telah bekerja sama untuk bersama-sama mengembangkan sebuah vaksin flu sejak 2018. Tidak sampai tiga bulan setelah Sahin memulai Project Lightspeed, kedua perusahaan tersebut sepakat untuk berkolaborasi mengembangkan vaksin Covid-19.
Di masa awa kolaborasi itu, Sahin berdiskusi dengan CEO Pfizer Albert Bourla berkali-kali dalam sehari. Baru akhir-akhir ini, keduanya berdiskusi setiap akhir pekan untuk membicarakan progres dalam seminggu. Setelah berbulan-bulan berbincang jarak jauh, baru pada September lalu, keduanya bertemu langsung saat Bourla berkunjung ke Eropa.
Dari rangkaian diskusi tersebut, Sahin mengungkapkan, dirinya telah menjalin persahabatan dengan Bourla. Kesamaan kisah hidup sebagai ilmuwan dan imigran menjadi pemicunya.
”Kami sadar bahwa ternyata dia berasal dari Yunani dan saya berasal dari Turki. Jadi, dari awal, hubungan kami sangat personal,” kata Sahin.
Ini pun mendapat apresiasi dari Bourla. Ia memercayai Sahin sepenuhnya dan mengaguminya sebagai individu yang berintegritas. ”Ugur (Sahin) adalah pribadi yang sangat unik, tidak suka diskusi bisnis; yang ia pedulikan hanya sains-nya. Dia adalah seorang peneliti dan orang yang berprinsip. Saya memercayainya 100 persen,” kata Bourla.
Relasi antara pendiri BioNTech yang keturunan Turki dan CEO Pfizer yang berdarah Yunani pun menjadi pembicaraan di jagat dunia maya. Ini seakan menjadi contoh bagaimana perbedaan suku bangsa tidak menghalangi persaudaraan.
Pakar komputasional biologi Massachussetts Institute of Technology (MIT), Manolis Kellis, menilai bahwa hubungan Sahin dan Bourla sangat mengagumkan. ”Sebuah kisah inspiratif mengenai para imigran yang memiliki mimpi, semangat, dan ketangguhan,” tulisnya di Twitter.
Rivalitas seribu tahun
Konflik dan rivalitas yang mengikat Yunani dan Turki bisa dibilang telah mendarah daging. Dalam memoarnya, Years of Renewal (2000:210-212), mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger menyebut rivalitas antara Yunani dan Turki yang tecermin pada krisis di Siprus 1970-an sebagai konflik yang melampaui rasionalitas.
Pada 1974, junta militer Yunani melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Siprus untuk menyatukan pulau tersebut sebagai bagian dari Yunani. Kurang dari sepekan, militer Turki menginvasi Siprus. Konflik itu berakhir dengan hampir 10.000 militer dan sipil dari kedua pihak tewas dan 250.000 warga sipil Siprus kehilangan tempat tinggal.
Konflik antara Yunani dan Turki, kata Kissinger, adalah sebuah konflik etnis, konflik atas dasar nilai primordial. Setiap pihak mengacu pada suatu fantasi terhadap era keemasan masing-masing, di mana pihak lawan takluk secara absolut. Konsiliasi dianggap sebuah kekalahan, tidak ada ruang kompromi.
”Selama berabad-abad, orang Yunani dan Turki memelihara kebencian mereka terhadap satu sama lain. Dan, dari waktu ke waktu, mereka melepaskan kemarahan mereka melalui pembantaian dan bentuk kekejaman lainnya,” tulis Kissinger.
Akar konflik ini dipercaya bermula sejak hampir seribu tahun yang lalu, di masa Abad Pertengahan.

Sengketa Perbatasan Laut Yunani-Turki
Alexis Heraclides, akademisi yang juga mantan penasihat di Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan, titik awal konflik Yunani-Turki adalah peperangan antara tentara Kristen Ortodoks Byzantium dan Muslim Seljuk pada 1071. Fase ini pun berakhir pada keberhasilan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel pada 1453.
Fase kedua adalah selama 1453-1821; sebuah periode di mana bangsa Yunani melihatnya sebagai korban penjajahan Turki selama 400 tahun. Di sisi lain, Turki melihat periode ini sebagai masa yang penuh toleransi dan multikulturalisme.
”Ada pandangan yang kuat di tiap-tiap negara bahwa konflik Yunani-Turki itu memang berlangsung lama (perennial) dan bersifat primordial,” kata Heraclides dalam esainya, The Essence of Greek-Turkish Rivalry: National Narrative and Identity, yang diterbitkan oleh pusat studi Yunani dan Eropa Tenggara Hellenic Observatory London School of Economics (LSE) pada 2011.
Heraclides mengatakan, orang Yunani berpandangan bahwa orang Turki adalah rival tertua dan musuh terkejam. Menurut Yunani, orang Turki adalah invaders, penjajah, yang telah mengambil tanah leluhur mereka.

Tentara Yunani menahan sekumpulan migran yang menyeberang dari Turki ke Yunani, dekat Desa Protoklisi di wilayah Evros, Yunani, Selasa (10/3/2020).
Di sisi lain, orang Turki melihat bahwa orang Yunani sebagai bangsa yang ”tidak tahu terima kasih” meski telah dibiarkan hidup tenteram dan sejahtera di bawah kekuasaan Ottoman.
Namun, Heraclides mengingatkan bahwa meski setiap pandangan yang dimiliki ini adalah sebuah retrospektif, bukan naratif yang historis; prasangka berbasis ”sejarah” ini hanyalah sebuah konstruk sosial.
”Mereka masing-masing dengan sengaja melupakan bagian-bagian dari sejarah mereka di mana mereka hidup bersama dengan damai,” ujarnya.
Demikian halnya dengan partnership pengembangan calon vaksin BNT162b2 antara BioNTech dan Pfizer.
Kerja sama dan pertemanan personal antara Ugur Sahin, Ozlem Tureci, dan Albert Bourla tidak hanya menjadi simbol harapan melawan pandemi yang telah melumpuhkan dunia hampir setahun terakhir, tetapi juga kekuatan manusia untuk bersama berkolaborasi melintasi suku, agama, ras, dan batasan artifisial lainnya.
Bourla mengatakan, ia dan Sahin telah sepakat untuk bersama-sama menikmati raki, sebuah minuman hasil fermentasi yang populer baik di Yunani maupun Turki jika vaksin sukses dikembangkan. ”Hanya ada satu lawan. Virus dan waktu,” ujarnya. (NYTIMES/WSJ/REUTERS/FORBES)