Masa pandemi Covid-19 ini kian membuka kesadaran akan arti penting kesehatan jiwa. Ini bisa menjadi momen untuk memberikan perlindungan dan payung hukum lebih detail pada UU Kesehatan Jiwa.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai keterbatasan yang dialami selama masa pandemi membuat setiap orang rentan mengalami gangguan jiwa. Sementara kesadaran masyarakat akan gangguan tersebut masih kurang. Edukasi dan sosialisasi serta intervensi dengan peraturan yang tegas diperlukan untuk memperkuat kesadaran masyarakat akan kesehatan jiwa.
Psikiater yang juga Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan, ketidakpastian yang terjadi karena pandemi Covid-19 dapat memicu rasa tertekan pada jiwa seseorang. Seluruh faktor yang mendukung kesehatan jiwa manusia juga terpengaruh. Itu mulai dari faktor biologi, psikologi, sosial, dan ekonomi.
”Persoalan kesehatan jiwa ini terlihat dari survei yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Dari 4.010 responden, sebanyak 64,8 persen yang melakukan swapemeriksaan (pemeriksaan mandiri) mengalami masalah psikologi. Ini paling banyak terjadi pada usia 17-29 tahun dan di atas usia 60 tahun,” katanya di Jakarta, Selasa (10/11/2020), dalam diskusi ”Kesehatan Mental Terkendali: Untuk Kesehatan Diri yang Berarti”.
Menurut dia, masalah psikologis yang dialami pada usia lebih dari 60 tahun bisa disebabkan kecemasan dan ketakutan akan penularan Covid-19. Berbagai informasi dan pemberitaan menyebutkan, usia 60 tahun ke atas termasuk dalam kelompok rentan yang dapat mengalami perburukan ketika tertular Covid-19. Selain itu, sebagian besar penduduk pada usia ini juga memiliki komorbid atau penyakit penyerta yang dapat memperburuk kondisi kesehatan.
Sementara itu, pada usia 17-29 tahun bisa disebabkan karena persoalan pekerjaan. Pada studi yang dilakukan di Kanada, Amerika Utara, pengangguran yang terjadi akibat pandemi diproyeksikan dapat memicu peningkatan kasus bunuh diri. Oleh karena itu, kondisi ini perlu diantisipasi dengan baik.
Nova menambahkan, kerentanan akan bunuh diri juga dialami oleh penduduk usia remaja. Padahal, remaja yang berisiko melakukan bunuh diri memiliki kemungkinan lima kali lipat melakukan bunuh diri di kemudian hari.
Kondisi pandemi Covid-19 dinilai semakin berisiko pada usia remaja. Hal itu karena terganggunya empat dimensi ketahanan jiwa remaja, yakni dimensi ketidakberdayaan (hopelessness), kesepian (loneliness), kepemilikam atau pengakuan (belongingness), serta beban (burdensomeness).
”Empat dimensi ini teramplifikasi di masa pandemi. Dampak kesehatan jiwa ini nyata sehingga harus diantisipasi agar tidak semakin berlarut. Pemerintah pun diharapkan bisa lebih fokus pada isu kesehatan jiwa dengan segera menerbitkan aturan turunan dari UU Kesehatan Jiwa yang sudah hampir enam tahun tidak ada tindak lanjutnya,” tuturnya.
Stigma
Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Trianto menuturkan, stigmatisasi pada penderita Covid-19 juga menjadi pemicu terjadinya gangguan jiwa. Stigma ini dapat merusak kesehatan mental dan fisik pasien ataupun penyintas Covid-19.
Karena itu, sosialisasi terkait penularan Covid-19 terus dilakukan kepada masyarakat luas. Hal itu bertujuan agar pemahaman dan kesadaran masyarakat akan penyakit ini semakin tinggi sehingga bisa mengikis stigma yang justru dapat memperburuk proses penanganan.
”Stigma dapat mendorong terjadinya depresi dan stres pada seseorang. Stigma yang biasanya muncul seperti penolakan sosial, gosip, kekerasan fisik, dan penolakan layanan. Ini sangat berbahaya apabila masyarakat mendukung stereotip dan labelisasi pada penderita Covid-19,” ucap Hery.
Stigma tersebut salah satunya dialami Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Muhammad Bakir yang juga merupakan penyintas Covid-19. Ketika ia dan seluruh anggota keluarganya terdiagnosis positif Covid-19, tidak sedikit tetangga di tempat tinggalnya menjauhi mereka. Hal ini membuat psikologis mereka cukup terbebani.
”Di lain sisi, rekan kantor sangat membantu dan memberikan perhatian yang besar. Dukungan ini yang justru membuat kami bisa bersemangat untuk bisa kembali pulih. Perilaku dan mental yang positif, menurut saya, mendukung proses kesembuhan kami sekeluarga,” tuturnya.
Revolusi mental
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dalam siaran pers, mengatakan, capaian program Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) di Indonesia masih harus ditingkatkan. Indeks Capaian Revolusi Mental pada 2018 sebesar 67,01 sementara pada 2024 ditargetkan bisa mencapai 74,3.
”Ini (indeks capaian revolusi mental) yang harus dan akan terus kita tingkatkan pencapaiannya. Caranya dengan melihat persepsi masyarakat untuk mendukung tercapainya lima dimensi GNRM. Kita masih perlu kerja keras untuk mencapai target yang sudah kita lakukan bersama,” katanya.
Adapun lima indikator dalam pencapaian target GNRM 2015-2019 adalah program Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Gerakan Indonesia Bersatu.
Capaian Gerakan Indonesia Melayani dapat diukur melalui perubahan rekrutmen aparatur sipil negara berbasis komputer, peningkatan layanan dasar berbasis masyarakat, serta layanan publik berbasis daring. Sementara capaian Gerakan Indonesia Bersih, salah satunya dengan mewujudkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) serta keberhasilan tata kelola lahan gambut untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang ditandai dengan 93,6 persen penurunan titik api.
Gerakan Indonesia Tertib dapat dicapai apabila 80 persen pengaduan masyarakat berhasil terselesaikan dengan memanfaatkan jaringan komunikasi elektronik. Capaian Gerakan Indonesia Mandiri diwujudkan dengan menghadirkan berbagai kemudahan akses ekonomi bagi masyarakat, termasuk penyediaan modal kewirausahaan.
Sementara itu, capaian Gerakan Indonesia Bersatu dibuktikan dengan menjalankan pemerintahan berasaskan gotong royong, meningkatnya kerukunan umat beragama, penanganan berita hoaks, dan kolaborasi adat budaya di daerah.
”GNRM berperan dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter. Hal itu untuk menjawab tantangan megatren dunia berupa demografi global, persaingan sumber daya alam, perubahan iklim, perkembangan teknologi, kenaikan kelas menengah, dan sebagainya,” tutur Muhadjir.