Menjaga Kesehatan untuk Sekarang, Besok, dan Nanti
Pandemi Covid-19 menjadi momentum menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menerapkan pola hidup sehat. Kondisi kesehatan warga di masa mendatang ditentukan oleh kebiasaan yang dijalani saat ini.
Pandemi Covid-19 menjadi alarm panjang yang mengingatkan setiap orang bahwa kesehatan adalah hal yang utama. Ketika fondasi kesehatan rapuh, berbagai aspek kehidupan lainnya lumpuh. Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk menjadikan kesehatan sebagai investasi jangka panjang masih kurang.
Masyarakat urban pun semakin terbuai dengan gaya hidup sedentari yang cenderung kurang gerak. Ini diperburuk dengan konsumsi makanan yang mengandung garam, gula, dan lemak berlebih. Aktivitas fisik juga tidak dijalankan secara konsisten.
Pada usia 23 tahun, Maria Harini tergolong sangat muda untuk memiliki penyakit kronis. Tahun lalu, ia baru saja lulus dari bangku kuliah. Namun, ia kini harus rutin setiap minggu melakukan cuci darah di rumah sakit. Aktivitas hariannya pun harus dibatasi karena ia tidak boleh terlalu lelah. Keluarganya akhirnya memutuskan agar Maria tidak mengambil pekerjaan formal.
Kondisi ini bermula sekitar dua tahun lalu. Ketika sedang mengerjakan tugas akhir, Maria jatuh pingsan. Waktu tidurnya selama beberapa hari sebelumnya memang amat kurang, hanya tiga sampai empat jam setiap hari. Ia juga jarang minum air putih. Pola makannya pun tidak teratur. Namun, biasanya dalam sekali makan langsung dalam porsi besar.
Baca juga: Di Tengah Pandemi, Penanganan Penyakit Tidak Menular Butuh Modifikasi
”Sebelumnya memang tidak pernah membatasi makan, malah cenderung berlebih. Sejak kecil sudah terbiasa banyak makan. Menunya pun sering yang berlemak. Kebetulan sekeluarga juga suka makan makanan manis dan berlemak,” tuturnya.
Ketika ia pingsan dan dibawa ke rumah sakit, barulah Maria tahu kalau dirinya memiliki tekanan darah tinggi. Sebelumnya tidak pernah ada gejala yang dialami. Bahkan, setelah ia dibawa ke rumah sakit, kondisinya tetap baik.
Karena itu, meskipun dokter telah mengimbau untuk menjaga makan dan waktu istirahat, ia tidak terlalu mengindahkan. Itu juga karena kebiasaan makan di keluarga tidak berubah. Padahal, ibunya sudah lama mengalami diabetes.
”Susah membatasi makan ibu waktu itu karena kalau kita larang malah kita yang dimarahi. Ya, jadi saya tetap ikut saja. Baru setelah tahun lalu saya masuk rumah sakit dalam kondisi kritis dengan ginjal yang rusak, pola hidup keluarga kami baru berubah. Menyesal juga tidak berarti,” katanya.
Dampak Covid-19
Ketua Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Samosir mengatakan, pandemi Covid-19 semakin memperburuk kondisi pasien gagal ginjal kronis yang harus melakukan cuci darah. Di tengah risiko penularan yang tinggi, pasien masih harus rutin ke rumah sakit setiap satu sampai tiga kali seminggu. Sementara jika tidak melakukan cuci darah, kondisi kesehatannya akan memburuk.
Dari data Kementerian Kesehatan, setidaknya terdapat 52 pasien Covid-19 meninggal dengan komorbid penyakit ginjal. Itu dengan rentang usia 6 tahun sampai di atas 60 tahun. Selain penyakit terkait ginjal, kasus meninggal akibat Covid-19 juga ditemukan dengan komorbid penyakit tidak menular lain, seperti hipertensi, diabetes, dan jantung.
Baca juga: Pola Hidup Tidak Sehat, Prevalensi Penyakit Tidak Menular Meningkat
”Kekhawatiran pasien akan penularan Covid-19 semakin bertambah dengan beban biaya tes usap pemeriksaan Covid-19. Banyak pasien cuci darah harus menanggung biaya pemeriksaan Covid-19 secara mandiri. Padahal, pemeriksaan ini harus dilakukan setiap 10 hari sekali, bahkan ada yang setiap minggu. Jika tidak, rumah sakit tidak akan melayani cuci darah,” tuturnya.
Gagal ginjal menjadi salah satu penyakit tidak menular yang prevalensinya terus meningkat. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi gagal ginjal kronis 0,38 persen. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2013 yang hanya 0,2 persen.
Selain gagal ginjal, prevalensi penyakit tidak menular lain juga meningkat, seperti kanker, stroke, diabetes melitus, penyakit jantung, dan hipertensi. Peningkatan ini berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat yang tidak sehat. Data Riskesdas memperlihatkan semakin banyak masyarakat yang tidak menjalankan hidup sehat.
Penduduk yang kurang aktivitas fisik naik dari 26,1 persen pada 2013 menjadi 33,5 persen pada 2018. Konsumsi makan buah dan sayur juga sangat rendah. Prevalensi masyarakat usia di atas lima tahun yang kurang mengonsumsi sayur dan buah pada 2018 mencapai 95,9 persen.
Jumlah ini lebih tinggi daripada 2013 yang sebesar 93,5 persen. Selain itu, kebiasan merokok juga semakin mengkhawatirkan. Prevalensi perokok pemula usia 10-18 sebesar 9,1 persen. Ini jauh dari target nasional pada 2019 yang harus dicapai sebesar 5,4 persen.
Baca juga: Penyakit Tidak Menular Jadi Masalah Nasional
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie mengatakan, penyakit tidak menular menjadi beban negara. Itu terlihat dari biaya program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Beban pembiayaan penyakit katastropik yang tergolong dalam penyakit tidak menular, seperti jantung, kanker, dan stroke, pada periode Januari-Oktober 2019 mencapai Rp 16,2 triliun.
Upaya pengendalian penyakti tidak menular tidak cukup hanya dengan sosialisasi dan edukasi. Sebagian masyarakat mengetahui jika kebiasan hidup tidak sehat, seperti merokok, mengonsumsi makanan yang tinggi gula garam dan lemak, serta kurang aktivitas fisik dapat memicu terjadinya penyakit. Namun, itu tidak juga membuat masyarakat sadar untuk mengubah gaya hidupnya.
Karena itu, edukasi yang masif juga perlu disertai lingkungan yang mendukung. Regulasi yang tegas untuk melarang konsumsi rokok pada anak usia kurang dari 18 tahun diperlukan. Iklan-iklan rokok luar ruangan ataupun daring juga perlu dilarang. Selain itu, penerapan tanda bahaya pada makanan yang tinggi kandungan gula, garam, dan lemak belum terimplementasi.
Komitmen pemerintah daerah untuk menyediakan ruang terbuka hijau yang lengkap dengan sarana olahraga pun kurang. Sebagian pemerintah daerah juga belum memiliki peraturan daerah tentang kawasan tanpa asap rokok. Masyarakat juga kurang bisa bertanggung jawab akan dirinya sendiri untuk menjadikan kesehatan sebagai investasi jangka panjang.
”Persoalan ini melibatkan lintas sektor kepentingan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat jelas mengatur setiap kementerian/lembaga memiliki tanggung jawab untuk menyehatkan masyarakat. Jika ini bisa dilakukan dengan baik, setidaknya 50 persen persoalan penyakit tidak menular bisa diselesaikan,” tutur Cut.
Baca juga: Hipertensi, Menyerang dalam Sunyi
Ia berharap pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum untuk semakin menyadarkan masyarakat tentang pentingnya hidup sehat. Meskipun kesehatan bukan segala-galanya, segala-galanya tetap tidak akan bermakna tanpa kesehatan.
Hari Kesehatan Nasional yang diperingati setiap 12 November ini diharapkan menjadi momentum untuk mendorong agar masyarakat lebih memahami bahwa kondisi kesehatan yang terjadi pada lima sampai 10 tahun yang akan datang bergantung pada kebiasaan saat ini. ”Hidup sehat tidak hanya untuk hari ini, tapi untuk waktu yang akan datang,” ucapnya.