Sebanyak 323 tenaga kesehatan di Tanah Air meninggal akibat Covid-19. Kesungguhan untuk terus bersama mengatasi Covid-19 menjadi bagian penghormatan kepada para pahlawan kemanusiaan ini.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tenaga kesehatan yang gugur akibat Covid-19 tak hanya meninggalkan dukacita bagi keluarga, tetapi juga bagi sejawat dan para mantan pasien. Indonesia kehilangan putra-putri terbaik, yang gugur demi keselamatan dan kesehatan rakyat.
Leri Afbeki (28), warga Desa Belitang, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, terpukul begitu mengetahui dokter spesialis olahraga, Edward Edarladdar Tambunan (54) dari Bandung, Jawa Barat, meninggal akibat Covid-19 pada 29 September 2020. ”Almarhum adalah pahlawan. Dia penyelamat hidup dan sudah saya anggap ayah angkat,” kisah Leri, Minggu (8/11/2020).
Saat berusia empat tahun, Leri didiagnosis menderita paru-paru basah. Kondisinya kritis saat dibawa orangtuanya berobat ke dokter Edward, yang kala itu bertugas di Puskesmas Kayu Agung. ”Itu puskesmas terdekat dan beliau dokter satu-satunya. Beliau yang merawat saya sampai sembuh,” kata Leri.
Selama bertahun-tahun, Leri berobat kepada Edward atau dikenal sebagai dokter Edo hingga sudah seperti keluarga. Setiap berkunjung ke keluarga Leri, Edo memberi layanan dan membawa obat bagi warga desa. Saat marbut masjid di desanya sakit parah, Edo membawanya dengan mobil sekitar tujuh jam ke Palembang dan menanggung seluruh biaya. Edo lalu dibayar satu tandan pisang.
Namun, saat Leri berumur 10 tahun, Edo pindah tugas sehingga komunikasi mereka terputus. Bertahun-tahun keluarga Leri mencari Edo hingga menemukan berita di internet bahwa Edo meninggal. Kemudian, Leri menuliskan utang budi keluarganya di ”pusara digital”, laman Laporcovid19 untuk mendokumentasikan tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19.
Kehilangan besar
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di antara para dokter yang meninggal, 10 orang di antaranya merupakan guru besar dan 68 dokter spesialis. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi mengatakan, dalam perang melawan pandemi, tenaga kesehatan ibarat pasukan khusus.
”Di Indonesia, satu dokter melayani sekitar 30.000 orang. Jadi, kalau satu orang meninggal, sebanyak itulah yang kehilangan layanan kesehatan,” ujarnya.
Selain Leri, sekitar 1.000 orang lain memberikan kesaksian terhadap para tenaga kesehatan yang gugur di ”pusara digital” Laporcovid. Banyak di antaranya bersaksi tentang kebaikan, dedikasi, hingga utang budi atas bantuan para tenaga kesehatan yang gugur dalam pandemi ini. Itu menunjukkan betapa banyak orang kehilangan para tenaga kesehatan tersebut.
Di Indonesia, satu dokter melayani sekitar 30.000 orang. Jadi, kalau satu orang meninggal, sebanyak itulah yang kehilangan layanan kesehatan.
Yoan Maukar (32), warga Surabaya, misalnya, mengisahkan utang budinya kepada Boediwarsono, dokter spesialis penyakit dalam yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. ”Beliau adalah dokter keluarga kami. Almarhum ayah, tante, dan keluarga besar kami selalu berobat kepada beliau. Saat saya sakit demam berdarah dan paru-paru basah, beliau juga yang menyembuhkan,” kata Yoan.
Yoan mengenang Boediwarsono sebagai sosok yang ramah dan memberikan optimisme kepada para pasien. ”Saat saya kena paru-paru basah, parah sekali. Takut tak bisa selamat, tapi dokter Boedi meyakinkan saya pasti sembuh,” katanya.
Sementara itu, kepergian Rohaetin (32), perawat di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, akibat Covid-19 meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan rekannya. Sejumlah rekan kerja jatuh pingsan saat melepas jenazahnya.
Sebelumnya, Rohaetin sempat dirawat di ruangan isolasi. Kondisinya yang hamil tua membuat tim dokter memutuskan untuk operasi caesar. Jumat (30/10/2020), anak keduanya lahir dalam kondisi sehat. ”Almarhumah belum sempat melihat langsung anaknya, baru lewat foto dan video. Saat mengandung, almarhumah tetap menjalankan tugasnya untuk menolong orang,” kata Ahmad Kunaefi (44), paman Rohaetin.
Kepala Ruangan High Care Unit (HCU) RSD Gunung Jati Sofyar Irawan menuturkan, saat positif Covid-19, almarhumah baru akan cuti. Meski tengah mengandung, Rohaetin ingin terus merawat pasien, apalagi jumlah perawat di HCU berkurang karena sebagian perawat bekerja di ruangan isolasi.
Maut pun merenggut nyawa Miftah Fawzi Sarengat (34), peserta program dokter spesialis di RSUD Soetomo, Juni lalu. Residen spesialis penyakit dalam ini dikenal ramah dan selalu mau membantu orang lain. ”Dokter Miftah meninggal, padahal tinggal sedikit lagi lulus. Saya kehilangan karena almarhum adalah kakak angkatan yang amat baik,” kata Koordinator Tim Bantuan Residen Jagaddhito Probokusumo.
Tak tergantikan
Lain lagi kisah Pantja Wibowo (48), dokter anestesi di Rumah Sakit Premier Bintaro, yang kehilangan rekan-rekan sejawatnya. Salah satu rekan kerja yang juga adik kelasnya yang meninggal adalah Hadio Ali Khazatsin, dokter yang meninggal karena Covid-19. ”Dia dokter muda yang pintar dan berdedikasi. Dia juga dokter istri saya,” tuturnya.
Pantja juga kehilangan atas meninggalnya perawat Setyo Ari Wibowo. ”Saya kenal baik dia. Dulu dia perawat 118. Orangnya rajin dan lucu. Kalau ada yang butuh bantuan darurat, ia selalu siap,” katanya.
Covid-19 juga merenggut nyawa guru dan suri teladan Lukman Shebubakar, dokter spesialis ortopedi di RS Umum Pusat Fatmawati, serta Prof Bambang Sutrisna, dokter dan pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia. ”Saya menikmati didikan dari guru yang ramah dan memiliki integritas. Dedikasinya untuk menolong dibuktikan dengan praktik meski sudah sepuh,” ujarnya.
Mereka yang telah gugur tak bisa kembali. Namun, mereka gugur untuk menjaga asa kehidupan. ”Indonesia kehilangan besar dengan meninggalnya para tenaga kesehatan. Saya kehilangan lima guru,” kata Tri Maharani, dokter spesialis emergensi dari Kediri yang juga sukarelawan pusara digital Laporcovid.
Untuk menjadi dokter terlatih minimal 10 tahun, dokter spesialis butuh waktu 20 tahun, dan guru besar diraih dalam 30-40 tahun. ”Ilmu, pengalaman, dan pengabdian mereka tak tergantikan. Tugas kami melanjutkan perjuangan sejawat dan guru-guru untuk melayani negeri, sampai akhir,” ujarnya. (IKI/BRO/NCA/FLO)