Menjamin Perlindungan bagi Pahlawan Kesehatan
Para tenaga kesehatan terus berjibaku dalam pertempuran melawan Covid-19. Perlindungan dari penularan penyakit itu dan penghargaan bagi mereka selayaknya diberikan.
JAKARTA, KOMPAS – Delapan bulan sudah pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Satu per satu tenaga kesehatan pun tumbang. Sebagian dari mereka turut tertular, bahkan tidak sedikit yang berpulang.
Layakanya pejuang yang bertempur melawan musuh, tenaga kesehatan tanpa lelah berupaya menyelamatkan pasien Covid-19. Perlindungan yang optimal harus dipastikan karena pandemi ini belum tentu usai dalam waktu singkat.
Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sampai 9 November 2020, setidaknya ada 159 tenaga dokter meninggal akibat Covid-19. Sementara Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat hingga 7 November 2020, terdapat 113 perawat meninggal karena Covid-19. Secara akumulasi, sebanyak 3.141 perawat tertular penyakit yang disebabkan oleh virus Sars-Cov-2 ini.
“Perawat yang tertular akhirnya tidak bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat. Begitu pula dengan perawat yang tidak positif, beban kerja pun menjadi bertambah karena harus melayani pasien yang menjadi tanggung jawab rekan sejawatnya yang tertular. Padahal jumlah perawat saat ini terbatas,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat PPNI Harif Fadhillah, di Jakarta, Senin (9/11/2020).
Baca juga Tenaga Kesehatan Terus Berguguran
Meski begitu, para perawat tetap bersemangat menjalankan tugasnya. Ini dilakukan meski ritme kerja serta ritme kehidupan mereka berubah sejak pandemi ini teridentifikasi di Indonesia pada awal Maret 2020. Sebagian perawat yang harus bertugas secara intensif di fasilitas kesehatan rujukan Covid-19 pun harus berkorban untuk tidak bertemu dengan keluarganya. Ini dilakukan untuk menjaga anggota keluarga dari risiko penularan.
Harif menuturkan, upaya pemerintah melindungi dan mengapresiasi kinerja perawat jauh lebih baik dari awal pandemi berlangsung. Komitmen itu terlihat dari penyediaan tempat tinggal sementara, kepastian alat pelindung diri yang terstandar, serta insentif yang memadai.
Perawat yang tertular akhirnya tidak bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Meski begitu, sejumlah kendala masih dialami sejumlah perawat terutama mereka yang berada di daerah terpencil. Para perawat yang berstatus tenaga honorer dan sukarelawan pun belum mendapatkan hak yang harusnya diterima. Risiko penularan Covid-19 amat besar, bahkan bisa mengancam nyawa. Kondisi ini seharusnya diiringi pula dengan upaya perlindungan yang maksimal.
“Komitmen pemerintah daerah di sejumlah wilayah masih belum optimal. Perawat yang bertugas di puskesmas pun juga belum mendapatkan jaminan perlindungan dan insentif yang mencukupi,” tuturnya.
Baca juga Perlindungan Tenaga Kesehatan
Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi menyampaikan, upaya perlindungan bagi para tenaga kesehatan, baik dokter, dokter gigi, maupun perawat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, dan pimpinan fasilitas kesehatan. Para tenaga kesehatan merupakan benteng pertahananan terakhir yang harus dilindungi secara penuh.
Masyarakat pun diharapkan bisa turut berperan dengan berupaya menekan risiko penularan. Dengan penularan yang semakin kecil, jumlah pasien yang dirawat pun lebih terkendali. Warga sebaiknya waspada bahwa penyakit ini masih terjadi. Langkah pencegahan dengan protokol kesehatan mutlak untuk dipatuhi agar kasus penularan Covid-19 bisa ditekan.
“Kami meminta masyarakat untuk sabar, sadar, dan mempunyai daya juang dalam upaya-upaya penanganan pandemi Covid-19. Salah satu caranya dengan berpartisipasi aktif melakukan testing agar dapat melindungi dirinya sekaligus juga orang disekitar,” ucap Adib.
Apresiasi
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyampaikan, pemerintah berupaya memastikan agar setiap tenaga kesehatan terlindungi dari risiko penularan ketika sedang bertugas. Pasokan alat pelindung diri dipastikan tetap tersedia, mulai dari masker, kaca mata pelindung, gaun medis, sarung tangan medis, dan sepatu pelindung.
Menurut dia, ketersediaan alat pelindung diri kini tidak lagi menjadi persoalan. Stok ketersediaannya pun masih mencukupi. Setiap dinas kesehatan juga telah menyiapkan stok sesuai dengan kebutuhan.
Pemerintah daerah pun berupaya melindungi para tenaga kesehatan dari paparan Covid-19. Di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, pemda setempat menyiapkan APD, insentif, hingga isolasi di hotel. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto, pihaknya menyiapkan tes usap tenggorokan dua pekan sekali bagi tenaga kesehatan.
Selain itu, penyaluran insentif dan santunan bagi tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 sudah lebih baik, terutama setelah adanya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020 yang menjadi revisi dari aturan sebelumnya. Dari aturan yang baru ini, menurut Oscar, prosedur penyaluran insentif dan santunan menjadi lebih pendek sehingga bisa lebih cepat diberikan.
Anggaran untuk insentif tenaga kesehatan yang dikelola Kementerian Kesehatan sebesar Rp 1,9 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 1,8 triliun telah disalurkan. Selain itu, dari Rp 1,024 triliun anggaran yang dialokasikan untuk dokter yang sedang melaksanakan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang diperbantukan untuk menangani Covid-19, sebesar Rp 989 miliar telah disalurkan.
Besaran insentif bagi tenaga medis yang menangani Covid-19 antara lain untuk dokter spesialis Rp 15 juta per bulan, dokter umum dan dokter gigi Rp 10 juta, bidan dan perawat Rp 7,5 juta, serta tenaga medis lain Rp 5 juta. Mereka bertugas di rumah sakit (RS) milik pemerintah pusat, RS lapangan untuk pasien Covid-19, RS swasta, kantor kesehatan pelabuhan, dan laboratorium rujukan pemeriksaan sampel Covid-19.
Untuk dana santunan, Sekretaris Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan Trisa Wahjuni Putri menuturkan, hingga 4 November 2020, tercatat ada 137 tenaga kesehatan yang mendapatkan santunan. Jumlah ini memang dibawah laporan organisasi profesi, itu karena diperlukan proses verifikasi dan pendataan yang harus dipenuhi dalam penerimaan santunan.
Secara rinci, jumlah dana santunan kematian yang dialokasikan sebesar Rp 60 miliar. Dari besaran tersebut, realisasi dana santunan yang telah diberikan sebesar Rp 36,3 miliar atau sekitar 61 persen. Itu antara lain diberikan kepada 43 ahli waris dari tenaga kesehatan di Jawa Timur, 17 ahli waris dari tenaga kesehatan di Jawa Tengah, dan 15 ahli waris bagi tenaga kesehatan di DKI Jakarta.
Trisa mengatakan, masyarakat juga organisasi profesi diimbau untuk segera melaporkan tenaga kesehatan yang bertugas menangani kasus Covid-19. Dengan begitu, para tenaga kesehatan bisa segera mendapatkan hak-haknya.
“Perlindungan pun terus kami tingkatkan, baik berupa pengaturan jam kerja juga penyediaan alat pelindung diri. Nyawa satu tenaga kesehatan sangat berarti. Karena satu dokter misalnya, itu bertanggung jawab untuk melayani 100.000 penduduk. Setiap nyawa sangat berharga bagi bangsa ini,” tuturnya.
Belum merata
Namun, penyaluran insentif dan santunan bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 belum merata. Toto Yulianto (42), suami dokter Elianna Widiastuti, Ketua Tim Gugus Covid-19 di Puskesmas Halmahera, Semarang, yang meninggal pada 28 Juni 2020, misalnya, belum mendapat santunan. ”Keluarga kami belum mendapat santunan, tetapi untuk keluarga adik istri, dokter Sang Aji Widi Aneswara, sudah dapat. Padahal, kami mengajukannya bareng,” kata Toto.
Elianna dan Sang Aji adalah kakak-adik yang meninggal karena Covid-19. Sebelumnya, ayah mereka meninggal karena Covid-19.
Dari Pemerintah Kota Semarang, Toto mendapat penghargaan karena dedikasi istrinya menangani Covid-19. Namun, status kematian istrinya karena Covid-19 tak diakui Kemenkes karena tak ada tes usap. Saat itu, mendapat tes usap tak mudah. Bagi Toto, istrinya adalah pahlawan yang mengabdi hingga ajal menjemput. (AHMAD ARIF/ABDULLAH FIKRI ASHRI)