Indonesia yang telah memiliki Jaminan Kesehatan Nasional bisa memanfaatkan kekayaan data di dalamnya untuk membantu menanggulangi pandemi. Ini belajar dari negara lain seperti Taiwan yang sukses menggunakan strategi itu.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Di tengah sengkarut data dalam penanganan pandemi Covid-19, Indonesia seolah melupakan aset berharga, yaitu program Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal, di dalamnya ada gudang data yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membantu mengatasi pandemi.
Pandemi Covid-19 membuka salah satu kelemahan mendasar di Indonesia, yaitu lemahnya data, karena tidak ada data yang dilaporkan dan mutunya yang diragukan. Tiadanya data ini membuat masyarakat kesulitan memahami situasi wabah sesungguhnya dan epidemiolog kesulitan memproyeksikan situasi ke depan.
”Garbage in, garbage out,” ujar epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengomentari buruknya pendataan Covid-19 di Indonesia. Artinya, kira-kira, jika input datanya bermasalah, data yang dihasilkan pun bermasalah. Maka, kebijakan yang dibuat berdasarkan data yang salah juga keliru, di antaranya pembuatan zonasi di Indonesia yang bisa menciptakan keamanan palsu karena tidak didukung parameter kecukupan tes.
”Memang ada perbaikan, tetapi masih banyak bolongnya," kata Pandu. Kelemahan data Covid-19 di Indonesia meliputi tiadanya informasi waktu seketika (real time) setiap kasus yang ditemukan, riwayat perjalanan setiap kasus, data hasil pelacakan dan kluster penularan, jumlah tes setiap kabupaten/kota, jumlah yang dirawat di rumah sakit, jumlah yang masuk di ruang perawatan intensif atau ICU, serta jumlah pasien yang meninggal dan faktor risikonya.
Kelemahan soal data ini juga terungkap dari laporan evaluasi penanganan atau Intra-Action Review (IAR) Covid-19 di Indonesia yang diinisiasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Salah satu rekomendasi dalam laporan IAR Covid-19 pada Agustus 2020 lalu adalah agar Indonesia ”meningkatkan ketepatan dan kelengkapan laporan melalui New all Record untuk pelaporan kasus dari fasilitas kesehatan dan laboratorium untuk analisis data yang digunakan untuk strategi respons.”
Selain itu, direkomendasikan juga integrasi data dan berbagi informasi antara Public Health Emergency Operation Centre (PHEOC), dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dengan multisektor dan mitra, termasuk Sistem Bersatu Lawan Covid-19 Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19.
Jadi, Satgas ternyata tidak memiliki data lengkap terhadap penyelidikan epidemiologi dan data penelusuran kontak secara nasional yang seharusnya dimiliki Kemenkes. Tak mengherankan, pada Juli 2020, mereka mengajukan permintaan data Nomor S-01/PERPRES82/07/2020 kepada Kemenkes.
Salah satu temuan lain dalam IAR adalah belum adanya audit medis untuk petugas kesehatan di Indonesia yang meninggal karena Covid-19. Situasi ini menyebabkan hingga saat ini kita tidak memiliki informasi memadai mengenai faktor risiko dan penyebab tingginya kematian tenaga kesehatan di Indonesia.
”Padahal, data ini sebenarnya ada dan tersedia kalau ada inisiatif memanfaatkan data di JKN-KIS. Mereka mestinya punya data paling lengkap soal kesehatan publik di Indonesia hingga di tingkat individu,” kata Pandu.
Data tersedia
Besaran data bisa dilihat dari banyaknya jumlah peserta dan jaringan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sampai dengan 1 November 2018, jumlah peserta JKN sebanyak 205.071.003 jiwa atau hampir mencakup 80 persen total populasi Indonesia.
Dalam hal memberikan pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 22.914 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 2.456 rumah sakit (termasuk di dalamnya klinik utama) yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
”Banyak institusi pelayanan kesehatan dan banyak negara yang telah melakukan uji coba pemanfaatan big data analytics, serta berhasil memecahkan masalah dasar dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan, seperti mengurangi re-admisi, meningkatkan efektivitas layanan kesehatan, dan meningkatkan mutu layanan,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam seminar internasional ”Big Data Analysis for Improving Health Policy”, Rabu (07/11/2020).
Peneliti kesehatan digital dan dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Anis Fuad, mengatakan, mahadata (big data) yang dimiliki JKN tidak hanya bisa berguna meningkatkan layanan mereka, tetapi juga bisa dipakai untuk membantu menangani pandemi. Sejumlah negara juga menggunakannya dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini dengan dukungan lembaga asuransi kesehatan nasional.
”Pemerintah Taiwan bisa menjadi contoh sukses yang telah memanfaatkan mahadata pada Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance/NHI) mereka untuk mengatasi pandemi ini,” sebut Anis Fuad yang juga peneliti kesehatan digital.
Pemanfaatan itu, mulai dari penyediaan data informasi medis untuk membantu penyelidikan epidemi hingga mempermudah klaim layanan kesehatan jarak jauh (telemedicine) untuk orang-orang dalam isolasi rumah dan karantina rumah.
Untuk membantu penyelidikan epidemi, Administrasi Asuransi Kesehatan Nasional (NHIA) Taiwan memberi pusat pengendali epidemi mereka daftar harian pasien yang harus menjalani karantina dan isolasi mandiri besera analisis medisnya, selain analisis harian pasien dengan penyakit pernapasan dan diare.
Berikutnya, jika menemukan kasus yang dicurigai, segera merujuknya ke laboratorium pemeriksaan terdekat secara daring dengan sistem yang dinamakan MediCloud NHI. Dengan mekanisme ini, dokter di klinik lokal dapat dengan cepat membantu pasien terduga Covid-19 dan kemungkinan penyebarannya di rumah sakit bisa ditekan.
Semua data kesehatan orang yang berisiko tinggi, seperti tenaga medis profesional serta penghuni dan pekerja panti untuk perawatan jangka panjang, terus dipantau MediCloud ini. Jika orang-orang tersebut di atas mengunjungi rumah sakit, risiko tertular Covid-19 dapat dievaluasi dengan baik.
Sementara orang yang memiliki kebutuhan medis mendesak selain demam atau gejala pernapasan selama isolasi rumah dan karantina rumah, mereka dapat melakukan pengobatan jarak jauh yang diatur oleh otoritas kesehatan setempat. Seluruh biayanya akan ditanggung NHI.
Anis mengatakan, Indonesia seharusnya meniru Taiwan memanfaatkan data JKN untuk memotret kondisi pandemi saat ini lebih baik. ”Misalnya, untuk menyingkapi tingginya kematian tenaga kesehatan, JKN pasti punya data individu lengkap, termasuk riwayat sakit, faktor risiko, dan komorbidnya (penyakit penyerta),” katanya.
Jika masalahnya privasi pasien, tambah Anis, ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang bisa jadi dasar untuk membuka data demi kepentingan penanganan wabah.
Sebagi perbandingan, saat ini Telkomsel sudah diperbolehkan menggunakan data di telepon genggam untuk kepentingan pelacakan melalui aplikasi PeduliLindungi. Hal serupa mestinya bisa diterapkan untuk penyelidikan kasus terkait Covid-19.
”Prinsipnya, data yang dikumpulkan dari dana publik, termasuk yang ada di JKN, seharusnya sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Kuncinya integrasi dan transparansi,” kata Pandu.