Pandemi Covid-19 berdampak pada terjadinya gangguan kecemasan pada sejumlah orang. Mereka yang mengalami gangguan kecemasan biasa merasa khawatir berlebih dan susah tidur. Pengelolaan emosi yang baik bisa mengatasinya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan kecemasan selama pandemi Covid-19 merupakan reaksi wajar karena wabah berlangsung secara lama. Orang dihadapkan pada kondisi berbeda dengan masa sebelumnya. Namun, semua emosi negatif di dalam diri harus dikelola agar tak meningkat jadi depresi.
Terlebih pandemi Covid-19 berdampak nyata pada kehidupan banyak orang. Kondisi ekonomi yang ikut terpengaruh karena pandemi berdampak pada pemutusan hubungan kerja di sejumlah sektor usaha.
Bagi mereka yang terkena langsung dampak pandemi Covid-19 dalam kehidupannya, stabilitas emosi mereka juga terkadang ikut terganggu. Dalam enam bulan terakhir, Marta (29) sudah menjalani tujuh kali wawancara kerja. Semuanya gagal. Kegagalan membuat perempuan asal Palembang, Sumatera Selatan, ini tidak percaya diri.
”Pokoknya selama menganggur ini aku merasa tidak pede. Ketika wawancara kerja berikutnya, misalnya, selalu ada kekhawatiran bahwa hasilnya akan sama seperti sebelumnya,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (7/11//2020).
Marta sebelumnya bekerja di salah satu perusahaan di Sudirman Central Business District, Jakarta. Pada awal April lalu, ia diberhentikan lantaran keuangan perusahaan memburuk. Padahal, dia baru tiga bulan bekerja di tempat itu. Karena tak kunjung mendapat pekerjaan baru di Jakarta, Marta memutuskan pulang ke Palembang.
Di Palembang, tak banyak kesempatan untuk memulihkan diri. Dia tak bisa berlibur karena khawatir dengan penularan virus korona baru. Jadi, dia hanya fokus melamar pekerjaan untuk segera mengakhiri status penganggur.
Namun, perasaan cemas sering kali muncul saat seleksi kerja. Sekarang, dia sedang wawancara di dua perusahaan di Jakarta. Sesi wawancara bersama perusahaan public relation sudah berlangsung kemarin.
Seleksi pun dilanjutkan dengan tes membuat strategi komunikasi terhadap sebuah merek dagang yang sedang terkena masalah. Dia sudah mengerjakan tes ini. Hasil tes itu belum keluar. Namun, dia sudah menyimpulkan tidak akan lulus tes tersebut.
”Kalau lagi stres seperti itu, aku menelepon teman. Diskusi. Kalau aku pendam sendiri, aku bisa enggak tidur semalam suntuk karena kepikiran terus,” ujarnya.
Pengajar psikologi di Universitas Indonesia, Dini Rahma Bintari, dalam diskusi daring bertajuk ”Tinjauan Kesehatan Mental di Masa Pandemi Covid-19” menjelaskan, kecemasan selama Covid-19 merupakan hal wajar. Sebab, wabah membuat situasi jadi tidak normal.
Jika semua sudah dilakukan dan masih belum bisa meredakan cemas, Anda bisa curhat dengan teman atau ahli kesehatan mental. Sekarang banyak layanan kesehatan jiwa yang bisa diakses secara daring.
Orang harus bisa menerima rasa cemas dan emosi negatif lainnya lalu mengubahnya menjadi hal positif. Perasaan ini pun harus diceritakan kepada orang lain. ”Sadari bahwa Anda hidup bersama seluruh dunia. Jadi, berbagilah tentang perasaan Anda kepada orang lain yang dipercaya,” jelasnya.
Gangguan kecemasan terjadi jika seseorang khawatir berlebihan dan susah tidur. Orang dengan gangguan kecemasan selalu mencari berita negatif tentang sebuah kondisi. Mereka juga mudah marah dan bersifat kompulsif di luar batas. ”Jika dibiarkan, hal ini akan meningkat jadi depresi,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal ini, jelasnya, orang harus membatasi informasi negatif. Ingat hal-hal yang menyenangkan di masa lalu. ”Ini bisa dengan mengunggah lagi di media sosial dokumentasi ketika berlibur di masa lalu. Pokoknya segarkan kembali ingatan Anda dengan hal menyenangkan,” tambahnya.
Latihan pernapasan perut juga bisa dilakukan agar tetap rileks. Olahraga ringan pun bisa mengurangi gangguan cemas. ”Jika semua sudah dilakukan dan masih belum bisa meredakan cemas, Anda bisa curhat dengan teman atau ahli kesehatan mental. Sekarang banyak layanan kesehatan jiwa yang bisa diakses secara daring,” ujarnya.
Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) selama Maret-Oktober 2020 menunjukkan, semakin lama pandemi, intensitas kecemasan dan depresi semakin naik. Ketidakpastian kapan pandemi berakhir akan membuat kemunculan gangguan jiwa itu meningkat, bahkan hingga beberapa tahun pascapandemi dinyatakan selesai.
Di luar soal kesehatan jiwa di masa pandemi, Indonesia juga menanggung beban akibat gangguan mental, perilaku, dan penyalahgunaan obat. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Siti Khalimah mengatakan, sekitar 6.200 orang dipasung, sekitar 1.800 kasus bunuh diri per tahun, dan 3,3 juta kasus penyalahgunaan napza. Data itu hanyalah puncak gunung es (Kompas, 21/10/2020).