Hilirisasi dan Pengakuan Bantu Pengembangan Obat Modern Asli Indonesia
Potensi obat-obatan alami untuk menjadi herbal ataupun fitofarmaka bagi kemandirian obat dalam negeri sangat tinggi. Hal ini karena keragaman kekayaan hayati Nusantara yang hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan obat modern asli Indonesia berbahan baku alam masih menemui sejumlah kendala sehingga kurang dapat bersaing dengan obat kimia dari impor. Pengembangan obat ini harus didukung hilirisasi dan pengakuan bahwa obat modern asli Indonesia ini setara dengan obat lainnya.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro dalam webinar bertajuk ”Pengembangan OMAI (Obat Modern Asli Indonesia) untuk Kemandirian Obat Nasional”, Jumat (6/11/2020) menyampaikan, 95 persen bahan baku obat yang digunakan di Indonesia masih berasal dari impor. Ketergantungan ini karena industri kimia di Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
”Kita punya industri kimia dasarnya, tetapi untuk membuat bahan baku obat diperlukan turunan dari industri tersebut dan ini yang belum kita miliki. Kalau kita ingin mengurangi ketergantungan impor, kita harus investasi di pabrik bahan kimia yang merupakan turunan dari kimia dasar tersebut,” ujarnya.
Meski demikian, Bambang menilai, investasi dan pengembangan bahan baku kimia untuk obat membutuhkan proses yang panjang dan belum dapat melepaskan dari ketergantungan impor. Kondisi ini membuat Indonesia perlu lebih fokus mengembangkan bahan baku obat lainnya yang berasal dari herbal. Pengembangan bahan baku herbal juga lebih berpeluang karena keanekaragaman hayati yang melimpah di Indonesia.
Menurut Bambang, saat ini sudah banyak lembaga penelitian maupun perguruan tinggi di Indonesia melakukan ekstraksi dari keragaman hayati yang berpotensi untuk dijadikan obat. Namun, pengembangan fitofarmaka atau obat berbahan alam kerap menemui sejumlah hambatan seperti proses uji klinis yang lama dan mahal.
Selain itu, belum dimasukkannya fitofarmaka di dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyulitkan obat ini kurang bersaing dibandingkan dengan obat berbahan kimia dari bahan baku impor. Oleh karena itu, Bambang memandang perlu ketegasan dan keberpihakan dari sejumlah pihak termasuk Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan obat yang berasal dari kekayaan alam Indonesia.
”Upaya kita dari ekstraksi sampai riset dan pengembangan obat ini harus didukung dengan hilirisasi, terutama memasukkan dalam daftar JKN sehingga bisa didukung BPJS Kesehatan. Kemudian perlu juga pengakuan bahwa obat modern asli Indonesia ini setara dengan obat lainnya,” ungkapnya.
Tiga jenis
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan, obat berbahan alam dibagi menjadi tiga, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka. Pengembangan OHT dan fitofarmaka menggunakan prinsip farmakologi modern.
Peneliti melakukan penelitian di laboratorium Pusat Riset Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, kawasan industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020).Ketiga obat berbahan alam tersebut memiliki proses pengembangan yang berbeda. Proses pengembangan jamu hanya sampai pada tahap simplisia atau bahan alami tanpa olahan, sedangkan OHT dilakukan satu tahap lagi, yaitu ekstraksi. Sementara pengembangan fitofarmaka setelah ekstraksi dilakukan juga tahap fraksionasi atau pemisahan unsur tertentu.
Menurut Khayam, saat ini sudah terdapat 15 perusahaan di Indonesia yang memproduksi OHT dan fitofarmaka. Adapun jumlah obat yang dihasilkan perusahaan tersebut, yakni OHT 27 jenis dan fitofarmaka 21 jenis. Pengembangan jenis obat alam ini juga terus didorong melalui Satuan Tugas Percepatan dan Pemanfaatan Fitofarmaka.
”Proses lelang untuk bahan baku obat ini sudah menggunakan konsep TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang nantinya berlaku dua tahun ke depan. Sinergi harus terus dilakukan karena penelitian sudah banyak dilakukan, tetapi masih banyak tahap yang belum tuntas. Jadi diharapkan obat ini sampai ke tahap uji klinis dan praklinis hingga kelayakan ekonomi,” katanya.
Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dita Novianti Sugandi mengemukakan, sejak 2017, Kemenkes telah fokus untuk mendorong pengembangan obat berbahan alam. Dorongan ini juga dilakukan melalui pembuatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
”Untuk masuk dalam Fornas sendiri ada beberapa kriteria salah satunya memiliki nomor izin edar dengan indikasi terapi yang sudah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jadi, tidak ada niat untuk menghalangi penggunaan OMAI dalam JKN karena sebetulnya sudah ada aturan permenkes lain yang membolehkan dan mendukung penyediaan OMAI untuk fasyankes dalam melakukan pelayanan,” katanya.
Pendiri Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Hardhi Pranata, menambahkan, pihaknya terus mendorong para dokter menggunakan OMAI melalui sejumlah program di antaranya pendidikan dan sosialisasi edukasi. ”Permasalahannya dokter dianggap tidak kompeten memakai OMAI, OHT, maupun fitofarmaka. Masalah lainnya adalah dari pendidikan kedokteran juga tidak ada sertifikasi kompetensi,” tambahnya.