Setiap Jam, Dua Anak Balita Meninggal akibat Pneumonia
Orangtua perlu mengenal tanda bahaya pneumonia pada anak berusia di bawah lima tahun. Jika tak segera ditangani, penyakit radang paru akut tersebut bisa mengancam keselamatan jiwa anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap jam setidaknya dua anak balita di Indonesia meninggal karena pneumonia. Radang paru akut ini menjadi penyebab kematian kedua tertinggi pada anak di Indonesia. Berbagai upaya pengendalian perlu lebih gencar dilakukan karena penyakit ini bisa dicegah dan ditangani sejak dini.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Nastiti Kaswandani menuturkan, pneumonia terjadi secara mendadak dalam waktu singkat. Perjalanan penyakit ini terjadi dalam waktu kurang dari dua minggu sehingga kondisi anak yang mengalami pneumonia cepat memburuk.
”Jika terlambat mendapatkan pertolongan akan berbahaya bagi kondisi anak, bahkan bisa menyebabkan kematian. Karena itu, ketika ada gejala harus cepat dibawa ke fasilitas kesehatan,” katanya di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Nastiti mengatakan, keterlambatan penanganan pada pneumonia biasanya disebabkan gejala yang muncul tidak spesifik, seperti demam, batuk, dan pilek. Namun, apabila gejala itu terjadi secara berlanjut, orangtua harus segera membawa anak ke fasilitas kesehatan terutama ketika anak mengalami sesak napas dengan frekuensi cepat serta terlihat ada tarikan dada yang amat kuat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi pneumonia pada anak usia di bawah lima tahun sebesar 2,1 persen. Selain itu, pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi kedua pada anak balita setelah diare. Pada 2018, terdapat 19.000 anak balita yang meninggal akibat pneumonia di Indonesia.
Menurut Nastiti, anak di Indonesia semakin rentan mengalami pneumonia karena tingginya faktor risiko yang dialami. Kerentanan itu antara lain bayi yang lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2.500 gram, anak dengan gizi kurang dan gizi buruk, serta tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
”Anak yang tidak mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif juga rentan mengalami pneumonia. Selain itu, hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah pada pajanan polusi, terutama polusi dalam rumah, yaitu asap rokok. Sayangnya, masih banyak orangtua kurang peduli pada faktor risiko ini,” tuturnya.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati menuturkan, pemerintah menyiapkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang lebih komprehensif, termasuk untuk penanganan kasus pneumonia pada anak. Salah satunya melalui manajemen terpadu balita sakit (MTBS) berbasis masyarakat.
Anak yang tidak mendapat air susu ibu eksklusif rentan mengalami pneumonia. Hal tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah pada pajanan polusi, terutama polusi dalam rumah, yaitu asap rokok.
MTBS berbasis masyarakat merupakan pendekatan kesehatan anak balita yang terintegrasi untuk meningkatkan akses pada perawatan kesehatan esensial bayi dan anak balita. Penanganan itu difokuskan pada upaya preventif, promotif, dan deteksi dini penyakit.
”Lewat manajemen pelayanan kesehatan ini juga pemerintah memastikan pelayanan dasar kesehatan anak balita seperti imunisasi bisa berjalan optimal. Pada masa pandemi Covid-19, pelayanan juga tetap berjalan dengan memastikan protokol kesehatan yang ketat,” kata Erna.