Tingkatkan Pelacakan Covid-19, Pendaftaran Tenaga Sukarelawan Dibuka
Pemerintah berupaya meningkatkan pelacakan Covid-19 melalui perekrutan sukarelawan. Pelacakan yang andal penting untuk menangani wabah agar memutus rantai penularannya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Delapan bulan sejak kasus Covid-19 pertama dilaporkan di Indonesia, target pemeriksaan kasus di laboratorium belum juga tercapai. Sistem pelacakan dan penelurusan kontak yang belum optimal bisa menjadi penyebabnya. Karena itu, kapasitas sumber daya terus ditingkatkan, salah satunya melalui penambahan jumlah tenaga sukarelawan di lapangan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Budi Hidayat di Jakarta, Selasa (3/11/2020), mengatakan, pelacakan kontak kasus Covid-19 merupakan titik kritis untuk menghentikan transmisi penularan di masyarakat. Upaya pelacakan tersebut perlu dilakukan secara komprehensif, mulai dari pendataan kontak, karantina, dan pemantauan kondisi selama masa karantina.
”Saat ini di beberapa provinsi melaporkan adanya tren penurunan angka positif. Namun, apakah ini betul-betul kondisi yang sesungguhnya karena dari data sampel yang diperiksa juga menurun. Jika penurunan kasus terjadi karena upaya pelacakan kontak yang kurang, itu perlu dikhawatirkan. Pelacakan harus lebih cepat dan menjangkau jumlah yang lebih besar agar kasus bisa terdeteksi,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas minimal untuk pemeriksaan kasus terkait Covid-19, yaitu 1 kasus per 1.000 penduduk per minggu. Jumlah itu perlu dipenuhi agar upaya pengedalian penularan penyakit yang disebabkan oleh virus korona jenis baru, yakni SAR-CoV-2 bisa optimal.
Namun, berdasarkan data yang dianalisis Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah kasus yang diperiksa di Indonesia belum memenuhi standar tersebut. Jumlah tertinggi dicapai pada periode 12-18 Oktober 2020 dengan pemeriksaan sebanyak 0,82 kasus per 1.000 penduduk per minggu. Setelah itu, jumlah pemeriksaan justru menurun di dua minggu berikutnya menjadi 0,74 kasus per 1.000 penduduk dan 0,62 kasus per 1.000 penduduk.
Budi menyampaikan, kolaborasi dan koordinasi dari semua pihak, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, amat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan dalam penanganan pandemi. Kolaborasi ini juga diperlukan dalam upaya pelacakan kontak. Berbagai pedoman telah diterbitkan, tetapi pemonitoran dan supervisi tetap diperlukan agar upaya pelacakan bisa maksimal.
Kerahkan sukarelawan
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan yang juga Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Alexander K Ginting menambahkan, penguatan pelacakan kasus juga dilakukan dengan menambah tenaga sukarelawan untuk pelacakan dan pengelolaan data di 51 kabupaten/kota yang tersebar di 10 provinsi prioritas penanganan Covid-19. Sementara 10 provinsi prioritas itu adalah Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Ditargetkan, sekitar 8.000 sukarelawan akan diberdayakan di 1.612 puskesmas yang tersebar di semua provinsi prioritas. Para sukarelawan ini akan bertugas untuk membantu dinas kesehatan setempat untuk menyusun analisis epidemiologi serta memberikan rekomendasi kebijakan terhadap pengendalian Covid-19 di wilayah masing-masing.
Ditargetkan, sekitar 8.000 sukarelawan akan diberdayakan di 1.612 puskesmas yang tersebar di semua provinsi prioritas.
”Diharapkan dengan penguatan ini, target minimal 80 persen kasus baru untuk pelacakan kontak yang dilanjutkan dengan karantina maksimal 72 jam sejak dikonfirmasi bisa tercapai. Selain itu, pemanfaatan aplikasi Silacak juga bisa lebih dimanfaatkan agar pelacakan bisa lebih komprehensif dan sistematis,” tutur Alexander.
Secara teknis, pembukaan pendaftaran untuk sukarelawan pelacakan kasus mulai dilakukan pada 1-6 November 2020. Pendaftaran bisa dilakukan melalui dinas kesehatan setempat atau situs web Satgas Covid-19.
Pada 3 November, pelatihan akan dilakukan oleh setiap dinas kesehatan di daerah. Materi pelatihan yang diberikan meliputi dasbor sistem informasi, aplikasi Silacak, cara melalukan pelacakan kasus, pendampingan karantina dan isolasi mandiri, stigma dan komunikasi risiko, serta promosi kesehatan.
Proses pelacakan dari para sukarelawan mulai dilakukan pada 9 November 2020 dengan periode waktu selama dua bulan. Setiap tenaga sukarelawan akan mendapatkan hak sekitar Rp 150.00 sampai Rp 360.000 per hari.
Stigma
Staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus anggota Subbidang Tracing Satgas Penanganan Covid-19, Retno Asti Wedhani, menuturkan, stigma menjadi masalah paling banyak dikeluhkan oleh petugas saat melakukan pelacakan kontak. Dari hasil survei yang dilakukan di Jawa Timur, ada 67,7 persen responden yang menyatakan stigma merupakan masalah utama dalam pelacakan, kemudian kapasitas petugas yang kurang dan sistem pelacakan lemah.
Menurut dia, stigma ini terjadi karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat. Selain itu, bisa juga karena informasi yang diterima adalah informasi yang keliru serta adanya ketakutan dan rasa cemas. Akibatnya, banyak orang yang mendapatkan stigma ini harus diusir dari tempat tinggalnya, dikucilkan oleh masyarakat, dikeluarkan dari pekerjaan, ataupun menjadi menutupi kondisi status kesehatannya.
”Untuk mengatasi persoalan stigma, dibutuhkan metode atau cara pemberian informasi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keterampilan komunikasi publik dan interpersonal sangat dibutuhkan oleh petugas yang melakukan komunikasi risiko ke masyarakat luas, misalnya melalui kampanye kesehatan dengan bahasa daerah setempat,” ujar Retno.