Regulasi Tegas Dukung Peningkatan Literasi Gizi Masyarakat
Literasi gizi sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat akan jenis pangan yang mengandung gizi. Ini akan menentukan pilihan dan berdampak pada kesehatan dan pertumbuhannya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemahaman masyarakat terkait gizi seimbang masih sangat minim sehingga berbagai persoalan gizi sulit diatasi. Sosialisasi dan edukasi di masyarakat saja dinilai tidak cukup Regulasi yang tegas dalam pembatasan pangan yang tinggi gula, garam, dan lemak diperlukan.
Ketua Majelis Kesehatan Pengurus Pusat Aisyiyah Chairunnisa menuturkan, seseorang dengan literasi gizi yang baik akan memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mendapatkan serta memahami informasi terkait gizi yang baik pula. Dengan begitu, mereka pun akan paham akan pangan yang aman dan seimbang untuk dirinya dan keluarganya sehingga terhindar dari masalah tengkes ataupun gizi buruk.
“Kondisi di Indonesia saat ini menandakan kurangnya literasi gizi di masyarakat. Kita diharapkan oleh beban gizi ganda, yaitu gizi berlebihan yang ditandai dengan kegemukan dan obesitas serta gizi kurang yang berdampak pada stunting (tengkes). Kondisi ini bisa berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikologis seorang anak,” tuturnya di Jakarta, Jumat (30/10/2020).
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi anak obesitas pada usia 5-18 tahun meningkat dari 8 persen pada 2013 menjadi 9,2 persen pada 2018. Kondisi serupa terjadi pada anak dengan tengkes. Meski prevalensi tengkes menurun dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018), jumlah ini jauh dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni kurang dari 20 persen.
Selain itu, masalah lain yang juga timbul akibat pemahanan gizi yang kurang adalah tingginya angka anemia. Prevalensi anemia pada usia 15-24 tahun sebesar 32 persen atau naik hampir dua kali dari tahun 2013 sebesar 18,4 persen. Sementara, prevalensi anemia pada ibu hamil usia 15-24 tahun mencapai 84,6 persen.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menuturkan, persoalan anemia pada remaja dapat berdampak jangka panjang. Remaja putri dengan anemia berisiko tinggi untuk tetap mengalami anemia ketika sedang hamil. Kondisi ini dapat berbahaya bagi kesehatannya juga bayinya. Bayi yang lahir dari ibu dengan anemia bisa memiliki berat badan lahir rendah dan mengalami tengkes di kemudian hari.
“Kalau dibiarkan, kekurangan gizi yang ditandai dengan anemia ini bisa menjadi persoalan kesehatan kronis. Remaja saat ini cenderung menjaga berat badannya namun dengan cara yang salah. Di lain sisi, banyak juga remaja yang lebih suka mengonsumsi makanan siap saji. Anemia ini tidak melihat berat badan melainkan kandungan nutrisi dalam tubuh,” tutur dia.
Pemerintah sudah berupaya untuk menjalankan program pemberian tablet tambah darah pada remaja. Sayangnya, kepatuhan remaja dalam mengonsumsi tablet ini masih sangat kurang. Kegiatan yang menarik juga modifikasi tablet yang diberikan sudah dilakukan tetapi itu belum bisa meningkatkan keinginan remaja untuk mengonsumsinya.
Dalam Riskesdas 2018, jika terhitung satu tahun ada 52 minggu, hanya 5,4 persen anak usia 12-15 tahun yang memperoleh dan meminum TTD lebih dari 52 butir dalam setahun. Adapun pada usia 16-18 hanya 2,5 persen dan pada usia 19 tahun hanya 1,3 persen.
Kental manis
Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) Arif Hidayat, menuturkan, masih tingginya konsumsi produk kental manis sebagai pengganti susu menjadi persoalan lain yang juga terkait dengan minimnya literasi gizi di masyarakat. Pemahaman yang salah ini membuat masyarakat, terutama anak-anak mengalami masalah gizi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan YAICI bersama dengan PP Aisyiyah pada September-Oktober 2020, terdapat 16,1 persen anak usia balita di DKI Jakarta mengonsumsi kental manis setiap hari. Dari 603 ibu yang menjadi responden, sebanyak 25,3 persen diantaranya memahami produk kental manis sebagai susu. Dari responden yang mengonsumsi kental manis ini sekitar 72 persen membelinya dalam bentuk produk kemasan sachet.
“Sosialisasi berkesinambungan yang dilakukan berbagai pihak baik pemerintah maupun organisasi masyarakat amat diperlukan. Selain itu, sebaiknya pada label terkait peruntukan kental manis lebih diperketat dengan usia minimal tiga tahun bukan hanya 12 bulan. Perlu juga ditambahkan informasi tentang kandungan gula yang tinggi pada penyajian kental manis,” tutur Arif.
Widyastuti menyampaikan, regulasi yang tegas dari pemerintah pusat juga dibutuhkan untuk menekan konsumsi kental manis sebagai susu di masyarakat. Ini diperlukan karena pengawasan di tingkat pemerintah daerah saja tidak cukup.
“Pembatasan terkait konsumsi gula, garam, dan lemak di tingkat produsen, termasuk pembatasan gula pada produk kental manis harus disuarakan dari pemerintah pusat. Konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan ini tidak hanya berdampak pada persoalan gizi tetapi juga meningkatkan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung,” katanya.