Tingkat penerimaan publik terhadap vaksin Covid-19 di sejumlah negara, menurut survei global, cukup tinggi. Kepercayaan publik kepada pemerintah menjadi penentu.
Oleh
Ahmad Arif dan Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei global menyimpulkan, tingkat penerimaan publik terhadap vaksin Covid-19 di 19 negara mencapai 72 persen. Namun, tingkat penerimaan publik di Indonesia jauh di bawah itu. Data tersebut menjadi peringatan agar Pemerintah RI hati-hati dan membenahi komunikasi terkait vaksin.
Survei di 19 negara itu dilakukan tim peneliti dari CUNY School of Public Health and Health Policy (CUNY SPH), Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal), Vaccine Confidence Project at the London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), dan Georgetown University Law School. Hasil survei tersebut dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine, Rabu (21/10/2020).
Responden riset ini berasal dari sejumlah negara, antara lain China, Brasil, Afrika Selatan, Meksiko, Amerika Serikat, India, Spanyol, Inggris, Jerman, Singapura, Swedia, Nigeria, Polandia, dan Rusia.
Sementara survei terpisah oleh Laporcovid19, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana menemukan, penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia lebih rendah dari 19 negara itu.
Dari 2.109 responden di semua provinsi, 31 persen mau menerima vaksin Biofarma-Sinovac dan 69 persen responden ragu-ragu hingga tak bersedia. Untuk vaksin Merah Putih, 44 persen responden bersedia dan 56 persen responden ragu-ragu hingga tak mau menerima.
Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dari Laporcovid19, mengatakan, rendahnya penerimaan vaksin di Indonesia menandai lemahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi ini. Selain komunikasi tepercaya, pemerintah diharapkan tak buru-buru memberikan vaksin.
Kepercayaan publik
Menurut data survei Covid-Score kepada lebih dari 13.426 orang di 19 negara, 72 persen responden kemungkinan akan menggunakan vaksin, 14 persen akan menolak, dan 14 persen ragu-ragu. Itu berarti, puluhan juta orang kemungkinan menghindari vaksin.
”Keraguan terhadap vaksin ini terkait kurangnya kepercayaan kepada pemerintah. Penerimaan vaksin lebih tinggi di negara di mana kepercayaannya lebih tinggi,” kata Jeffrey V Lazarus, peneliti dan koordinator studi ISGlobal.
Negara dengan skor penerimaan tertinggi terkait vaksin adalah China, 87 persen. China memiliki persentase tanggapan negatif terendah, yakni 0,7 persen. Di sisi lain, Polandia memiliki tanggapan negatif tertinggi, sebesar 27 persen. Sementara responden Rusia memberikan tanggapan positif paling sedikit 55 persen. Di Singapura, yang menyatakan menerima vaksin 67,94 persen dan India 74,53 persen.
Ayman El-Mohandes, anggota tim peneliti, mengatakan, data ini menunjukkan pentingnya menumbuhkan kepercayaan publik terhadap vaksin dan pemahaman bahwa vaksinasi membantu mengendalikan penyebaran Covid-19 dalam keluarga dan komunitas.
Keraguan terhadap vaksin ini terkait kurangnya kepercayaan kepada pemerintah. Penerimaan vaksin lebih tinggi di negara di mana kepercayaannya lebih tinggi.
Penerimaan vaksin lebih tinggi di kalangan orang tua dibandingkan kelompok di bawah 22 tahun. Selain itu, keputusan orang tentang vaksinasi bergantung banyak faktor. Sejak survei dilakukan akhir Juni 2020, isu vaksin kian dipolitisasi dan gerakan antivaksin lebih agresif.
Data survei global dan Indonesia itu menjadi pelajaran RI agar lebih hati-hati dan memperbaiki komunikasi publik terkait vaksin. Apalagi, menurut data Kementerian Kesehatan, per April 2020, cakupan imunisasi dasar lengkap cuma 21,2 persen, lebih rendah daripada April 2019 (25,9 persen).
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, meminta pemerintah tak memaksakan vaksin impor dengan penggunaan darurat. ”Tunggu uji klinik di Indonesia dan evaluasinya. Aspek keamanan publik harus diutamakan, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ujarnya.
Menurut Dicky, penggunaan darurat butuh syarat ketat. Selain ada pandemi, harus ada bukti awal ilmiah kuat, termasuk hasil uji klinis fase ketiga. Setelah penyuntikan lengkap, hasilnya dipantau minimal dua bulan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan tiga bulan setelah penyuntikan.
China menerapkan penggunaan darurat vaksin ini untuk warga mereka sejak Juli 2020. Seharusnya hasilnya dipublikasikan agar dikaji secara ilmiah. Sejumlah negara maju, seperti Jerman, tak memilih penggunaan darurat, tetapi menambah jumlah orang yang diuji klinis.
Permintaan agar vaksin yang digunakan setelah melalui uji klinis pada populasi di Indonesia juga diutarakan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto dalam keterangan tertulis. Vaksin yang dipakai harus disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) mengingatkan agar vaksin Covid-19 yang digunakan terbukti efektivitas, keamanan, dan imunogenitasnya. ”Ini tak perlu tergesa-gesa, sambil mengingatkan warga menerapkan protokol kesehatan,” kata Ketua Papdi Sally A Nasution.
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan, dukungan semua pihak diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, terutama pada upaya diseminasi program dan pemberdayaan warga dalam menjalankan protokol kesehatan.
Menurut Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pada 19 Oktober 2020, kasus Covid-19 di Indonesia paling banyak ditemukan pada kelompok usia 19-59 tahun. Kasus kematian tertinggi pada kelompok usia lebih dari 45 tahun, yang 42 persen di antaranya pada usia di atas 60 tahun.