Teknologi Radioterapi Kanker Membuat Terapi Lebih Presisi
Pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan tingkat presisi dan akurasi dalam terapi kanker. Meski begitu, kompetensi sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut masih minim.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi inovasi di bidang kedokteran terus berkembang, tak terkecuali pada pelayanan terapi kanker. Pemanfaatan teknologi ini dinilai dapat meningkatkan tingkat presisi dan akurasi dalam terapi. Meski demikian, kompetensi sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut masih minim.
Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia (PORI) Soehartati A Gondhowiardji mengatakan, terdapat beberapa teknologi inovasi dalam layanan radioterapi yang berkembang dan sudah digunakan di Indonesia. Itu, antara lain, teknologi tomoterapi, halcyon, dan versa hd.
”Fasilitas radioterapi dengan tingkat tinggi ini dapat membantu mengetahui letak dan target sel kanker lebih presisi. Risiko toksisitas pun bisa dikurangi. Selain itu, dosis radiasi pada organ yang bukan menjadi target pun bisa lebih minim,” katanya, di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Ia menuturkan, penggunaan teknologi memang dapat membantu pelayanan terapi menjadi lebih baik. Namun, prosedur yang harus dijalankan pun lebih kompleks dengan melibatkan para ahli dari multidisiplin.
Prosedur tersebut mulai dari proses diagnosis dan penentuan stadium kanker yang dialami pasien, penentuan letak kanker yang menjadi target radiasi, perencanaan terapi, pelaksanaan terapi radiasi, sampai proses verifikasi. Berbagai prosedur yang dilalui tersebut bersifat mutlak untuk menjamin keamanan pasien dan kualitas dari terapi radiasi yang dilakukan.
Soehartati mengatakan, pemanfaatan teknologi untuk radioterapi kanker amat membantu penanganan terapi pada pasien. Kualitas hidup pasien pun diharapkan bisa semakin meningkat. Namun, disparitas layanan kesehatan yang masih ditemui di Indonesia membuat pelayanan dengan teknologi tingkat tinggi ini masih berpusat di kota besar, bahkan hanya tersedia di DKI Jakarta.
Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) pada 2020, jumlah alat radioterapi di Indonesia berupa akselerator linier (Linac) hanya 55 unit. Dengan keterbatasan tersebut, sebaran layanan tersebut lebih banyak berada di Jawa dan Sumatera. Satu unit hanya tersedia untuk seluruh Pulau Kalimantan dan satu unit di Papua.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas layanan kesehatan, termasuk layanan kanker. Pada 2021, kapasitas pelayanan berupa sarana dan prasarana serta peralatan kesehatan untuk terapi kanker akan diperkuat di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.
Kita berupaya untuk memenuhi saran radioterapi sehingga tidak hanya terpusat di daerah kota besar, tetapi harus sampai ke pelosok Tanah Air, khususnya di Indonesia tengah dan timur. (Abdul Kadir)
”Layanan radioterapi kanker saat ini memang belum merata. Namun, kita berupaya untuk memenuhi saran radioterapi sehingga tidak hanya terpusat di daerah kota besar, tetapi juga harus sampai ke pelosok Tanah Air, khususnya di Indonesia Tengah dan timur,” tuturnya.
Namun, Kadir menyampaikan, persoalan lain yang juga harus segera diatasi yaitu persoalan sumber daya manusia yang belum merata, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Peningkatan jumlah ketersediaan alat kesehatan untuk radioterapi kanker diharapkan juga didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten.
Karena itu, ia berharap organisasi profesi terkait bisa mendukung tersedianya sumber daya manusia yang dibutuhkan. Dengan demikian, pelayanan kepada masyarakat bisa lebih optimal. Masyarakat yang berada di luar Jawa pun tidak lagi harus datang ke Jakarta untuk menjalani layanan terapi yang dibutuhkan.
Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusmo (RSCM) Lies Dina Liastuti menuturkan, pemanfaatan teknologi serta pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia diperlukan agar masyarakat tetap bisa mendapatkan pelayanan yang optimal. Di masa pandemi, akses masyarakat ke pusat pelayanan kesehatan menjadi terbatas. Ini terutama dialami pasien yang tinggal di luar kota ataupun luar pulau.
Ia mengatakan, selama masa pandemi Covid-19, jumlah kunjungan pasien dalam pelayanan kanker mulai Februari sampai Mei 2020 menurun 45 persen. Sebagian pasien tidak mengakses layanan kesehatan karena alasan cemas dan khawatir tertular Covid-19. Kekhawatiran ini wajar karena pasien kanker menjadi salah satu kelompok yang rentan tertular penyakit yang disebabkan virus korona tersebut.
”Kolaborasi dengan berbagai pihak sangat dubutuhkan untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi saat ini. Layanan dengan teknologi mutakhir diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan bagi pasien kanker,” katanya.