Kesenjangan layanan kesehatan jiwa antardaerah di Indonesia masih tinggi. Selain karena sumber daya manusia kesehatan jiwa terbatas, stigma dan diskriminasi juga menghambat layanan kesehatan tersebut.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesehatan jiwa masih belum dipandang sama penting dengan kesehatan fisik. Akibatnya, kesenjangan layanan kesehatan jiwa di Indonesia sangat tinggi. Stigmatisasi dan rendahnya pengetahuan membuat tantangan membangun kepedulian kesehatan jiwa makin besar.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Siti Khalimah dalam webinar Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan, di Jakarta, Minggu (18/10/2020), mengatakan, kesehatan jiwa tidak sama dengan sakit jiwa. Kesehatan jiwa juga berperan besar dalam mewujudkan sumber daya manusia unggul.
”Kesehatan jiwa harus diupayakan hingga seseorang bisa produktif, berguna untuk lingkungannya, hingga mampu beradaptasi dengan masalah yang dihadapi,” katanya. Untuk mewujudkan hal itu, seseorang harus sehat fisik, mental, spiritual, dan sosialnya.
Meski kesehatan jiwa merupakan bagian integral untuk mewujudkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, nyatanya kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata. Kesenjangan pengobatan jiwa di Indonesia masih tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kesenjangan pengobatan orang dengan gangguan jiwa mencapai 90 persen. Sementara studi terakhir WHO menyebut kesenjangan layanan kesehatan jiwa di negara berpendapatan menengah bawah mencapai 80 persen.
”Kesenjangan itu sudah makin turun karena upaya membangun kesehatan jiwa makin luas dan puskesmas sudah melakukan pelayanan kesehatan jiwa,” ujarnya. Meski turun, kesenjangan itu diyakini tetap tinggi.
SDM terbatas
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Pungkas Bahjuri Ali mengatakan, 75 persen puskesmas di Indonesia belum memiliki layanan kesehatan jiwa. Terbatasnya sumber daya manusia terkait kesehatan jiwa menjadi salah satu pemicunya.
Kesehatan jiwa harus diupayakan hingga seseorang bisa produktif, berguna untuk lingkungannya, hingga mampu beradaptasi dengan masalah yang dihadapi.
Hingga 31 Desember 2018, ada 9.993 puskesmas di Indonesia. Sedangkan empat provinsi belum memiliki rumah sakit jiwa. Membangun rumah sakit jiwa sebanyak-banyaknya juga tidak langsung menyelesaikan masalah karena terbatasnya tenaga kesehatan jiwa.
Untuk sekitar 270 juta penduduk Indonesia sekarang, Indonesia hanya memiliki 1.053 dokter spesialis kedokteran jiwa dan 2.800-an psikolog klinis (Kompas, 15 Oktober 2020). Jumlah perawat kesehatan jiwa lebih sedikit lagi. Semua itu umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar.
Indonesia juga tidak memiliki pusat kesehatan mental masyarakat, seperti yang ada di Thailand. Fungsi layanan kesehatan jiwa itu biasanya digabungkan dengan layanan puskesmas yang sudah ada. Namun, penambahan fungsi itu juga sering kali menimbulkan protes dari tenaga kesehatan karena beban yang harus ditanggung puskesmas menjadi sangat besar.
Keterbatasan layanan dan akses itu membuat hanya sedikit persoalan kesehatan jiwa yang tertangani. Kementerian Kesehatan mencatat ada 6.200-an kasus pasung dan 1.800-an kasus bunuh diri setiap tahun. Sementara jumlah kasus penyalahgunaan napza mencapai 3,3 juta orang yang sebagian besar adalah anak muda.
Namun, semua data itu hanyalah fenomena gunung es. Artinya, kasus yang tercatat jauh lebih kecil dibandingkan dengan persoalan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa membuat penyakit jiwa masih dipandang sebagai aib yang harus ditutupi.
”Masyarakat belum memandang penyakit jiwa sejajar dengan penyakit fisik, seperti demam berdarah, hipertensi, atau diabetes melitus,” ujar Khalimah.
Pungkas mengatakan, kesehatan jiwa juga menjadi isu yang jarang dibicarakan dalam pengambilan kebijakan. Padahal, kesehatan jiwa berperan besar dalam menyiapkan generasi emas Indonesia menghadapi puncak bonus demografi ataupun 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Indikator pembangunan
Kesehatan jiwa juga menjadi salah satu indikator dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030. Selain itu, gangguan jiwa juga menjadi salah satu dari 10 penyebab disabilitas di Indonesia yang membuat seseorang tidak bisa produktif, seperti depresi dan kecemasan. Bahkan, prevalensi disabilitas akibat gangguan jiwa itu lebih tinggi dibandingkan dengan disabilitas akibat stroke.
Dengan berbagai keterbatasan itu, peneliti kesehatan mental komunitas dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sherly Saragih Turnip, mengatakan, yang bisa dilakukan untuk mempercepat layanan dan meningkatkan akses kesehatan jiwa adalah dengan memperkuat dan memberdayakan masyarakat.
Komunitas berperan besar dalam menjaga kesehatan jiwa masyarakat melalui upaya promotif dan preventif hingga persoalan jiwa yang mereka hadapi tidak berkembang menjadi gangguan jiwa yang membutuhkan bantuan tenaga kesehatan jiwa. Pemberdayaan ini jauh lebih murah daripada jika harus membiayai pengobatan gangguan jiwa.
”Investasi kesehatan mental harus dilakukan mulai sekarang meski hasilnya tidak bisa dirasakan saat ini,” katanya.
Hasil pemberdayaan itu akan dirasakan dalam beberapa dekade ke depan dengan terciptanya sumber daya manusia bangsa yang tidak hanya sehat fisik, tetapi juga sehat mentalnya. Dengan demikian, para pemimpin bangsa nantinya tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal yang merusak bagi bangsanya.
Selain itu, tambah Pungkas, advokasi tentang kesehatan jiwa perlu terus digalakkan, khususnya kepada para pimpinan ataupun pengambil keputusan. Selama pemahaman mereka tentang kesehatan jiwa tidak terbangun, maka implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa akan sulit hingga kesenjangan layanan kesehatan jiwa tetap terjadi dan penyiapan sumber daya manusia unggul terhambat.