Di Tengah Pandemi, Penanganan Penyakit Tidak Menular Butuh Modifikasi
Penanganan penyakit tidak menular agar tidak dilupakan di tengah pandemi. Apalagi, mereka dengan penyakit ini juga memiliki keparahan bila tertular Covid-19. Di sisi lain, pola makan dan beraktivitas fisik agar dijaga.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah keterbatasan pelayanan kesehatan di masa pandemi, modifikasi pelayanan pada pasien penyakit tidak menular mutlak dibutuhkan. Penyakit tidak menular, terutama dengan jenis penyakit kronis, membutuhkan pengobatan serta monitoring rutin untuk mencegah timbulnya komplikasi penyakit yang lebih parah.
Dewan Penasihat dan Dewan Etik Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Anwar Santoso menuturkan, penyakit tidak menular menjadi penyebab tertinggi kematian di Indonesia, yakni sekitar 73 persen. Deteksi yang terlambat serta penanganan yang tidak tepat semakin meningkatkan risiko kematian pada pasien dengan penyakit tersebut.
”Di masa pandemi, bukan tidak mungkin jika kondisi penyakit tidak menular di masyarakat menjadi semakin parah. Ini karena terganggunya upaya pencegahan dan pelayanan pengobatan di fasilitas kesehatan. Belum lagi gaya hidup yang semakin berisiko,” katanya di Jakarta, Sabtu (17/10/2020).
Menurut data Kementerian Kesehatan, sebelum masa pandemi, beban penyakit tidak menular di Indonesia sudah berat. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit tidak menular meningkat dari tahun 2013.
Penyakit kanker meningkat dari 1,4 persen menjadi 1,8 persen. Selain itu, juga penyakit lain, seperti stroke naik dari 7 persen menjadi 10,9 persen, ginjal kronis naik dari 2 persen menjadi 3,8 persen, dan jantung naik dari 0,5 persen menjadi 1,5 persen.
Beban penyakit tidak menular ini semakin tinggi dengan kian tingginya faktor risiko yang terjadi di masyarakat. Itu terlihat dari tingginya kasus hipertensi, diabetes melitus, kurangnya aktivitas fisik, serta kurangnya konsumsi sayur dan buah.
Pada Riskesdas 2018, prevalensi hipertensi pada masyarakat usia lebih dari 18 tahun mencapai 34,1 persen. Ini artinya hampir sepertiga penduduk mengalami hipertensi. Gangguan kesehatan ini perlu diperhatikan karena gejalanya yang tidak spesifik, tetapi menjadi pemicu berbagai penyakit, seperti jantung dan stroke.
Modifikasi
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma menuturkan, pasien dengan penyakit tidak menular yang sifatnya kronis, seperti jantung, membutuhkan pengobatan rutin. Jika tidak, kondisi pasien bisa memburuk. Kewaspadaan lain yang juga perlu diperhatikan, pasien dengan penyakit tidak menular juga termasuk dalam kelompok yang rentan tertular Covid-19.
”Pasien penyakit tidak menular tetap memerlukan perhatian khusus dari semua pihak di masa pandemi. Untuk itu, rumah sakit harus memfasilitasi pasien dengan mempermudah akses pasien dalam berobat. Modifikasi dalam pelayanan ke pasien juga sangat diperlukan,” tuturnya.
Lia menuturkan, bentuk modifikasi pelayanan yang bisa dijalankan, antara lain, dengan telekonsultasi dan pemberian terapi untuk jangka waktu yang lebih panjang. Rumah sakit pun perlu memberikan informasi dan edukasi yang memadai pada seluruh pasien yang dirawat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan sejumlah ajuran dalam penanganan penyakit kronis selama masa pandemi. Anjuran itu, antara lain, dengan merancang ulang strategi tatalaksana penyakit kronis dengan membatasi jumlah kunjungan di fasilitas pelayanan kesehatan, mengintegrasikan pemberian layanan untuk semua penyakit, memperpanjang rencana pengobatan, dan memastikan pelayanan tetap berjalan meski kunjungan langsung dibatasi.
Wakil Sekretaris Jenderal Perki Ade Meidian Ambari menyatakan, selain pada perawatan pasien, upaya pencegahan dan deteksi dini juga tetap harus berjalan. Kebiasaan masyarakat di masa pandemi yang lebih banyak berada di rumah yang minim aktivitas semakin berisiko menyebabkan penyakit tidak menular. Kebiasaan berisiko itu, antara lain, makan tinggi gula, garam, lemak; kurang aktivitas fisik; serta merokok.
Ia menyarankan, setidaknya aktivitas fisik berupa kegiatan kardio tetap dilakukan setidaknya 30 menit setiap hari. Aktivitas ini bisa dilakukan di dalam rumah sehingga tetap menghindari risiko penularan Covid-19.
Selain itu, perhatikan pula makanan yang dikonsumsi. Ini karena masyarakat yang lebih banyak bekerja di rumah cenderung lebih sering membeli makan melalui aplikasi pemesanan daring dengan pilihan makanan cepat saji.
Anwar menambahkan, kesadaran masyarakat untuk rutin melakukan pemeriksaan dasar seharusnya makin meningkat karena faktor risiko yang juga besar. ”Pemeriksaan ini sederhana dan bisa dilakukan di rumah, antara lain dengan pemeriksaan tekanan darah, berat badan, serta lingkar perut. Kemudian hasil dari pemeriksaan ini bisa dikonsultasikan ke dokter melalui telemedicine,” ujarnya.