Cuci Tangan, Cara Mencegah Penularan Korona yang Disepelekan
Praktik menjaga kebersihan tangan menjadi salah satu cara efektif mencegah penularan Covid-19. Meski mudah dilakukan, kebiasaan tersebut kerap disepelekan. Karena itu, kampanye cuci tangan perlu lebih masif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA/SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Ajakan untuk membiasakan diri mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sudah sejak lama digelorakan. Bahkan, perilaku mencuci tangan sudah masuk dalam kurikulum yang diajarkan kepada anak usia dini. Namun, nyatanya, kesadaran masyarakat untuk mencuci tangan dengan baik dan benar masih rendah.
Pada masa pandemi Covid-19, kampanye mencuci tangan semakin masif. Tidak ada habis-habisnya ajakan ini disuarakan di berbagai media, baik media konvensional, media daring, serta media sosial. Itu dilakukan karena mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir menjadi salah satu upaya efektif untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Setidaknya 35 persen risiko penularan bisa dicegah dengan mencuci tangan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyatakan, tangan bisa menjadi sarana penularan Covid-19. Sebabnya, tangan merupakan bagian tubuh yang paling sering bersentuhan dengan wajah, terutama mata, hidung, dan mulut. Bagian wajah tersebut menjadi pintu utama masuknya virus ke dalam tubuh seseorang.
Meski manfaatnya cukup besar serta mudah dilakukan, kepatuhan serta kedisiplinan masyarakat untuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir masih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan, meski sebagian besar masyarakat mengaku sering mencuci tangan, masih ada 5,37 persen masyarakat tidak pernah atau jarang sekali mencuci tangan ketika berada di luar rumah. Selain itu, sebanyak 19,25 persen mengaku jarang mencuci tangan.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan, pandemi Covid-19 seharusnya bisa menjadi pengingat yang kuat bagi masyarakat untuk lebih mengintensifkan perubahan perilaku masyarakat, terutama terkait kebiasaan mencuci tangan. Cara ini dinilai efektiif untuk mencegah penularan berbagai penyakit, termasuk Covid-19.
”Namun, di samping kesadaran perilaku masyarakat, hal lain yang perlu ditingkatkan adalah akses terhadap fasilitas cuci tangan yang terbatas. Setidaknya 40 persen dari populasi dunia atau sekitar 3 miliar orang tidak memiliki akses ke sarana fasilitas cuci tangan, baik di rumah, sekolah, tempat kerja, dan ruang publik lainnya yang menjadi tempat orang berkumpul,” tuturnya dalam acara peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia, Kamis (15/10/2020), di Jakarta.
Kolaborasi lintas sektor
Oleh karena itu, komitmen serta kolaborasi dari lintas sektor untuk memastikan ketersediaan pada akses fasilitas cuci tangan juga penting. Perubahan perilaku masyarakat untuk terbiasa mencuci tangan sulit terbentuk jika akses pada sarana dan prasarana yang dibutuhkan sulit dijangkau. Peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta pihak swasta amat diperlukan.
Di samping kesadaran perilaku masyarakat, hal lain yang perlu ditingkatkan adalah akses terhadap fasilitas cuci tangan yang terbatas.
Direktur Perumahan dan Permukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti menuturkan, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan itu terutama untuk mendukung ketersediaan sarana dan prasarana tempat cuci tangan pakai sabun (CTPS) di fasilitas publik. Ketersediaan infrastruktur CTPS secara nasional masih kurang.
Data BPS menyebutkan, secara nasional, tingkat ketersediaan fasilitas CTPS di rumah tangga sekitar 50 persen. Sementara ketersediaan di pasar 48,59 persen, tempat ibadah 25 persen, tempat kerja 18 persen, dan pusat perbelanjaan seperti mall baru 23 persen.
”Ini memperlihatkan bahwa kondisinya masih jauh dari harapan. Padahal, seharusnya ketersediaan sarana prasarana ini bisa mencapai 80 persen. Ini penting juga untuk sekaligus memastikan ketersediaan air bersih dan perilaku yang baik. Karena dari 50 persen rumah tangga yang memiliki fasilitas CTPS, keluarga yang sering mencuci tangan baru sekitar 30 persen,” tutur Tri.
Kondisi itu menunjukkan, ketersediaan sarana dan prasarana untuk mencuci tangan berserta ketersediaan air bersih juga perlu diiringi dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan. Kesadaran ini harus terus digerakkan dan ditanamkan sejak usia dini.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menilai, gerakan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir merupakan investasi jangka panjang untuk mendukung ketahanan kesehatan masyarakat. Kebiasaan mencuci tangan tidak hanya efektif untuk mencegah penularan Covid-19, tetapi juga persoalan kesehatan lainnya, seperti diare juga malanutrisi.
Untuk itu, kesadaran mencuci tangan perlu ditanamkan mulai dari usia anak. Pendidikan di keluarga dan sekolah perlu diperkuat. Konsep mencuci tangan yang diajarkan pun perlu dipastikan dilakukan dengan baik dan benar. Disarankan, cuci tangan dilakukan sebelum makan, setelah buang air, setelah menyentuh benda di tempat umum, serta sebelum menyentuh bagian wajah.
Mencuci tangan juga tidak sekadar membasahi tangan, tetapi memastikan seluruh permukaan tangan dicuci dengan sabun dan air mengalir mulai dari bagian telapak tangan, punggung tangan, ibu jari, kuku, dan sela-sela jari. Setidaknya, cuci tangan ini dilakukan selama 20 detik. Jika sulit mengakses fasilitas mencuci tangan, hand sanitizer ataupun gel yang mengandung alkohol bisa digunakan.