Stigma sosial terkait Covid-19 memicu diskriminasi terhadap para korban. Keterbukaan informasi dan keseriusan dalam layanan kesehatan menjadi kunci mengatasi persoalan ini.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Stigma sosial terkait Covid-19 telah menjadi problem global, tetapi di Indonesia dampaknya lebih dalam karena belum ada langkah serius untuk mengatasinya. Selain mempersulit upaya untuk memutus siklus penularan, stigma memicu diskriminasi dan berdampak ekonomi terhadap penyintas.
Sebagian penyintas Covid-19 bahkan masih mengalami stigma dan diskriminasi setelah dinyatakan sembuh. Ini, misalnya, dialami Kristin, penyintas Covid-19 dari Mojokerto, Jawa Timur, yang masih dirumahkan dari tempatnya bekerja sekalipun sudah dinyatakan sembuh sejak dua bulan lalu.
”Saya disuruh di rumah dulu dan dipotong gaji separuh. Pemilik yayasan sekolah belum mengizinkan saya kembali masuk kerja dengan alasan menjaga agar orangtua murid tidak khawatir,” kata Kristin, yang dihubungi Senin (12/10/2020).
Sebelumnya, Kristin dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan pemeriksaan dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR). Selain dia, anaknya yang masih berumur 6 tahun, ibunya (72) dan ayahnya (76) juga positif Covid-19.
”Awal-awal hancur, seperti kiamat. Apalagi, waktu itu tetangga sempat mau mengusir kami sekeluarga, untung keluarga adik bisa menyakinkan masyarakat di sini bahwa kami bisa isolasi mandiri,” ujarnya.
Seluruh keluarga Kristin akhirnya dinyatakan sembuh setelah menjalani isolasi mandiri. Namun, setelah sembuh, ternyata mereka tetap tidak mudah untuk menjalani kehidupan normal.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, mengatakan, stigma terkait Covid-19 sangat berat, terutama jika dialami pekerja harian dan sektor informal yang menjadi penopang ekonomi keluarga.
”Status positif Covid-19 akan sangat berat bagi mereka. Siapa yang akan menjamin anak dan istri jika mereka menjalani isolasi atau perawatan. Belum lagi jika distigma dan diskriminasi, misalnya warungnya tidak laku,” tuturnya.
Kondisi ini akan membuat mereka cenderung menolak pemeriksaan dan menghindar dari upaya pelacakan. Pada akhirnya, upaya memutus rantai penularan akan sulit dilakukan.
Status positif Covid-19 akan sangat berat bagi mereka. Siapa yang akan menjamin anak dan istri jika mereka menjalani isolasi atau perawatan. Belum lagi jika distigma dan diskriminasi.
Stigma merajelala kalau masyarakat mendapatkan pengetahuan tidak lengkap, bahkan salah tentang Covid-19, bagaimana penularannya, dan bagaimana mencegahnya. ”Akibatnya, orang menduga-duga dan berprasangka buruk terhadap mereka yang dianggap membawa virus. Akhirnya muncul diskriminasi,” kata Imam.
Ketidaklengkapan informasi cenderung menimbulkan kecemaasan. Sebaliknya, jika masyarakat memahami apa yang dihadapi dan bagaimana menghadapinya, maka tingkat kecemasan menurun. ”Misalnya, kalau kita memahami soal risiko gempa dan berlatih menghadapinya dan tahu harus bagaimana, kalau benar terjadi tidak panik. Kelengkapan pengetahuan dan kepastian bisa mengatasi masalah ini menjadi sangat penting,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dia, upaya yang harus dilakukan adalah melakukan edukasi yang terus-menerus dan mengklarifikasi berbagai penyimpangan informasi. Selain itu, perlu ada aturan dan sanksi kepada pelaku diskriminasi.
Menurut dia, pemerintah, selaku regulator, tidak boleh membiarkan stigma yang terjadi di masyarakat. Apalagi, jika stigma itu sudah mengarah pada terjadinya diskriminasi, seperti yang banyak dialami tenaga kesehatan.
Selain itu, harus dilakukan upaya konstruksi terhadap persepsi masyarakat bahwa orang yang terkena Covid-19 tidak boleh distigma, tetapi sebaliknya, harus didukung secara sosial. ”Ini harus melibatkan tokoh dan orang yang didengar masyrakat dalam satu gerakan yang masif dan terus-menerus,” katanya.
Transparansi informasi
Ahli biostatistik Indonesia yang mengajar di University of South Australia, Beben Benyamin, mengatakan, stigma sosial terkait Covid-19 juga terjadi di banyak negara lain, termasuk di Australia. ”Stigma di sini biasanya terkait kelompok minoritas,” katanya.
Namun, stigma ini tidak sampai mengarah pada terjadinya diskriminasi karena ada sanksi tegas tentang hal ini. ”Yang membedakan Australia dan Indonesia sepertinya soal kerahasiaan data pasien, keseriusan dan kejelasan pemerintah menangani ini, terutama dalam hal tes gratis dan hasilnya cepat, menindaklanjuti pasien positif, dan isolasi kontak, sehingga stigma bisa diminimalisasi," kata Beben.
Sebagai contoh, sekalipun nama pasien tidak dibuka, informasi mengenai riwayat perjalanan, meliputi tempat penularan dan waktu penularan diumumkan terbuka ke publik. Ini menjadikan masyarakat bisa belajar mengenai risiko penularan dan apa yang harus dilakukan untuk menghindari.
”Saya kira kunci mengatasi stigma sosial adalah adanya keterbukaan dan keseriusan pelayanan. Jadi, masyarakat secara umum percaya terhadap pemerintah sehingga tidak panik ketika akhirnya terkena Covid-19,” ujarnya.