Komunikasi publik yang efektif bisa meningkatkan pemahaman masyarakat terkait Covid-19. Dengan pemahaman yang benar, stigma terhadap penderita dan penyintas penyakit tersebut diharapkan tak terjadi lagi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kurangnya pemahaman terkait penularan Covid-19 memicu stigma sosial di masyarakat. Untuk itu, komunikasi publik perlu dilakukan secara masif dan terstruktur dengan melibatkan seluruh sektor, terutama tokoh masyarakat.
Sejauh ini, stigma sosial terkait Covid-19 menjadi problem global, tetapi di Indonesia dampaknya lebih dalam karena belum ada langkah serius mengatasinya. Selain mempersulit upaya memutus siklus penularan, stigma memicu diskriminasi dan berdampak ekonomi terhadap penyintas.
Sebagian penyintas Covid-19 bahkan masih mengalami stigma dan diskriminasi setelah dinyatakan sembuh, seperti dialami Kristin, penyintas Covid-19 dari Mojokerto, Jawa Timur.
Ia dirumahkan dari tempatnya bekerja sekalipun dinyatakan sembuh sejak dua bulan lalu. ”Saya disuruh di rumah dulu dan dipotong gaji separuh. Pemilik yayasan sekolah belum mengizinkan saya masuk kerja, alasannya menjaga orangtua murid tidak khawatir,” kata Kristin, Senin (12/10/2020).
Untuk menghapus stigma terkait Covid-19, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Wiku Adisasmito ketika dihubungi di Jakarta, Senin (12/10/2020) mengatakan, promosi kesehatan terkait penularan Covid-19 makin digencarkan. Ini dilakuka agar masyarakat memiliki pemahaman utuh tentang penyakit tersebut sehingga tak tidak ada lagi stigma sosial.
“Komunikasi publik akan dilakukan dengan lebih baik dan masif agar terjadi penetrasi yang mendalam di masyarakat. Pemahaman terkait Covid-19 harus dimengerti mulai dari pencegahan, proses penularan, upaya pengendalian, dan cara menanganinya. Dengan begitu, diharapkan juga sekaligus bisa mengurangi masalah stigma,” katanya.
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 secara rinci membagi tugas dan tanggung jawab dalam penangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Salah satu bidang yang dibentuk adalah bidang komunikasi publik dan perubahan perilaku.
Melalui pembentukan bidang yang secara spesifik ini, pendekatan komunikasi di masyarakat dalam penyampaian edukasi dan informasi terkati Covid-19 diharapkan bisa lebih baik. Selain itu, Satgas Penanganan Covid-19 kini juga bekerja sama dengan setidaknya 4.700 jurnalis di tingkat nasional maupun regional untuk menggaungkan promosi kesehatan terutama terkait perubahan perilaku di masa pandemi.
Wiku menyampaikan, gaya hidup dan pemahaman yang minim terkait upaya promosi dan preventif di bidang kesehatan menjadi tantangan untuk mencapai perubahan perilaku masyarakat. Konsep sakit dan sehat juga belum sepenuhnya dipahami. Dalam berbagai intervensi kesehatan pun saat ini masih lebih banyak yang berfokus pada upaya kuratif dan rehabilitatif.
“Upaya yang harus difokuskan saat ini yakni promosi dan preventif. Jika hal ini bisa diperkuat, persoalan stigma seharusnya tidak lagi jadi masalah. Ini tidak hanya untuk penanganan Covid-19 melalinkan juga persoalan penyakit lain, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular,” tuturnya.
Beragam bentuk
Menurut dia, stigma yang terjadi di masyarakat ditemui dalam beragam bentuk. Stigma atau pemahaman negatif lebih banyak ditemui dalam bentuk penolakan sosial terhadap pasien Covid-19. Sejumlah orang masih menilai penularan Covid-19 terjadi karena perilaku yang buruk sehingga menjadi aib.
Padahal, di masa pandemi, penularan bisa dialami oleh siapa pun terutama pada kelompok rentan. Penularan ini memang terjadi karena adanya ketidakdisiplinan masyarakat. Namun, bukan berarti orang yang tertular harus dihindari dan dijauhi.
“ Semangat bergotong royong dan saling peduli di masyarakat harusnya bisa lebih dihidupkan. Sudah banyak yang melakukan, tetapi perlu lebih luas lagi. Dengan begitu, ketika ada yang tertular bisa langsung ditangani sehingga bisa mencegah terjadinya penularan,” katanya.
Pemerintah juga bekerja sama dengan pengelola penginapan untuk menyediakan tempat isolasi bagi pasien dengan gejala ringan ataupun tanpa gejala. Ini dilakukan untuk memfasilitasi warga yang tinggal di rumah yang tidak memungkinkan untuk isolasi mandiri. Fasilitas ini juga diharapkan bisa mengatasi masih adanya penolakan dari lingkungan terhadap pasien Covid-19.
“Meski begitu, sebanyak apa pun fasilitas hotel yang disediakan tidak akan mampu menyelesaikan masalah penularan Covid-19 jika tidak ada gerakan masif untuk mencegah penularan Covid-19,” tutur Wiku.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan mengatakan, komunikasi publik yang dijalankan juga harus lebih banyak melibatkan tokoh masyarakat setempat, baik tokoh agama, tokoh budaya, maupun pemimpinan adat di setiap daerah. Masyarakat Indonesia yang beragam membutuhkan cara pendekatan yang berbeda-beda pula.
Dengan melibatkan tokoh masyarakat dalam edukasi terkait penularan Covid-19, diharapkan masyarakat bisa menerima informasi yang diberikan secara baik. Informasi yang diberikan pun disampaikan lebih menarik sehingga bisa lebih cepat dipahami. Ini diperlukan karena tidak semua masyarakat mampu menerima pesan yang disampaikan secara formal dan satu arah.
Menurut Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia Sumatera Selatan Subhan, pada awal pandemi, terjadi stigmatisasi terhadap tenaga kesehatan di daerah itu. Seiring masifnya sosialisasi dan tersedianya fasilitas penunjang perawatan, stigma terhadap tenaga kesehatan perlahan terkikis.