Tenaga Kesehatan Paling Rentan Mengalami Stigma Terkait Covid-19
Stigma sosial terkait Covid-19 di Indonesia dipicu oleh kurangnya pemahaman mengenai penularan penyakit tersebut. Tenaga kesehatan menjadi kelompok yang paling rentan mengalami stigma.
Informasi yang simpang siur serta edukasi yang minim membuat masyarakat kurang tepat memahami penularan Covid-19. Akibatnya, stigma sosial pun muncul. Ini terutama dialami oleh pasien serta tenaga kesehatan yang langsung berhadapan dengan kasus Covid-19.
Stigma yang terjadi di masyarakat amat beragam, mulai dari menjadi prasangka buruk, dijauhi oleh lingkungan sekitar, sampai diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Kondisi itu tidak hanya berdampak pada kondisi seseorang yang mengalami stigma, tetapi juga menghambat upaya pengendalian Covid-19 pada aspek pelacakan, pemeriksaan, serta perawatan kasus.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menilai, penularan Covid-19 muncul karena saat ini terjadi pandemi di seluruh dunia. Siapa pun bisa tertular ketika tidak terlindungi.
”Stigma yang terjadi juga lebih karena adanya kekhawatiran dan ketakutan terhadap orang yang tertular. Ini seharusnya bisa diatasi dan dicegah jika upaya penanganan di awal bisa lebih optimal,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (10/10/2020).
Baca juga : Empati Semakin Penting untuk Pasien Covid-19
Menurut dia, semakin menyebarnya penularan Covid-19 di Indonesia salah satunya karena penanganan yang kurang tepat ketika kasus pertama dipublikasikan. Pada saat itu, identitas dari pasien tidak dibuka secara benar.
Ketika terjadi pandemi, keterbukaan identitas pasien perlu dilakukan meskipun secara terbatas. Artinya, identitas terkait lokasi tempat tinggal serta nama dan usia, juga kondisi kesehatannya perlu disampaikan secara terbatas kepada pihak yang berwenang dalam pelacakan kasus. Itu terutama pada petugas kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan aparat desa atau wilayah.
Stigma yang terjadi juga lebih karena adanya kekhawatiran dan ketakutan terhadap orang yang tertular. Ini seharusnya bisa diatasi dan dicegah jika upaya penanganan di awal bisa lebih optimal.
Keterbukaan identitas pasien secara terbatas ini sangat diperlukan untuk mendukung pelacakan kasus di lapangan. Apabila pelacakan cepat dilakukan dan pemeriksaan segera dijalankan, rantai penularan kasus bisa diputus. Sayangnya, proses ini juga masih menjadi persoalan sampai hampir delapan bulan pandemi ini terjadi di Indonesia.
Daeng mengatakan, stigma atau sikap negatif yang telanjur terjadi secara komunal sekarang harus disikapi dengan sosialisasi serta pendekatan yang masif. Pendekatan yang dilakukan pun perlu lebih banyak menyinggung aspek sosial masyarakat, tidak lagi sekadar terkait isu kesehatan saja.
Baca juga : Stigma Menjadikan Covid-19 Lebih Berbahaya
”Peran sosiolog sangat dibutuhkan saat ini. Komunikasi untuk memerangi sikap negatif tidak bisa hanya dilawan dari pelayanan medis. Pendekatan ke pemimpin masyarakat pun dibutuhkan. Sebab, kalau tak segera diatasi, stigma ini menghambat proses pelacakan, testing, sampai perawatan pasien,” lanjutnya.
Ia mencontohkan, sebagian orang sampai takut membuka status positif Covid-19 karena tidak mau mendapatkan ”label” sakit dan dihindari oleh lingkungannya. Akibatnya, proses pelacakan pun menjadi terhambat. Risiko penularan justru dapat semakin meluas karena penanganan tidak segera dilakukan.
Kondisi ini akan semakin berbahaya apabila ada orang dengan komorbid yang tinggal bersama. Orang dengan komorbid atau penyakit penyerta sangat berisiko mengalami perburukan ketika tertular Covid-19. Jika tidak segera ditangani, risiko kematian pun mengancam.
”Hal-hal seperti inilah yang harus diantisipasi. Bahkan, petugas kesehatan pun turut mengalami stigma. Beban ini menjadi makin berat ketika petugas kesehatan juga sampai tertular Covid-19. Sosialisasi secara masif terkait informasi Covid-19 yang benar harus lebih gencar dan menggerakkan semua pihak,” tutur Daeng.
Hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, yang dilakukan selama 30 hari sejak 30 April 2020, mendapati 21,7 persen orang dari 277 tenaga kesehatan yang diteliti merasa dijauhi oleh keluarga dan teman. Alasannya, tenaga kesehatan tersebut bekerja di rumah sakit rujukan.
Dari ketakutan ini kemudian menyebabkan kecemasan dari tenaga kesehatan. Sebanyak 67,9 persen tenaga kesehatan merasa dirinya membahayakan keluarga. Selain itu, sebanyak 28,2 persen tenaga kesehatan merasa stigma dari masyarakat membuat mereka semakin buruk.
Baca juga : Tanggung Stigma Covid-19, Tenaga Kesehatan Dihantui Risiko Gangguan Jiwa
Psikolog anak dan keluarga Mira Amir menyampaikan, stigma yang terjadi di masyarakat bisa disebabkan pengetahuan dan informasi yang diterima belum cukup. Keterbatasan informasi yang diterima itu diperburuk dengan distorsi informasi yang salah yang beredar di media sosial.
”Penyampaian informasi yang kurang bisa diterima juga bisa jadi penyebabnya. Sekalipun itu informasi penting, bentuk komunikasi yang disampaikan juga perlu diperhatikan. Misalnya melalui tokoh masyarakat yang disegani atau melalui media sosial dengan gaya bahaya yang menarik,” tuturnya.
Dampak lebih lanjut, stigma yang dialami oleh pasien Covid-19 juga menimbulkan beban ganda dalam proses perawatan. Pasien tidak hanya mengalami gangguan kesehatan secara fisik, tetapi juga berisiko mengalami gangguan psikologis dan sosiologis. Kondisi ini dapat memperburuk kondisi seseorang dan justru menghambat proses kesembuhannya.
Peran fasilitas kesehatan primer
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menilai, pemahaman masyarakat yang salah terkait konsep sakit sehat juga perlu menjadi perhatian. Konsep ini diartikan sebagai kondisi sehat yang harus diusahakan dan dipelihara serta kondisi sakit yang harus segera ditangani, bukan dihindari.
”Sikap negatif itu seharusnya lebih ditujukan kepada orang yang tidak mengusahakan dan memelihara kesehatannya, bahkan pada mereka yang bisa merugikan orang lain. Pada pandemi Covid-19, ini seharusnya ditujukan kepada orang yang tidak memakai masker, yang tidak menjaga jarak, serta tidak menjaga kebersihan dirinya,” katanya.
Stigma ini menjadi makin berat dialami pasien karena sistem pelayanan kesehatan belum optimal. Ketika mengalami stigma, ada seseorang yang tertular Covid-19 kebingungan mencari rumah sakit atau tempat perawatan rujukan. Pada saat bersamaan, ia merasa diusir dari tempat tinggalnya karena dihindari lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, penguatan pada sistem pelayanan kesehatan di masyarakat, terutama yang berada di tingkat pertama, perlu segera dilakukan. Kapasitas yang dimiliki untuk melakukan pelacakan dan pemeriksaan kasus bisa dioptimalkan. Setidaknya, hal itu bisa dilakukan dengan membenahi sistem informasi kesehatan dari rumah sakit sampai puskesmas.
Ede menyebutkan, dengan sistem informasi yang baik, kasus yang dilaporkan di rumah sakit bisa langsung diterima oleh puskesmas. Jadi, proses pelacakan kasus bisa segera dijalankan agar penemuan kasus lebih cepat dilakukan. Upaya untuk memutus penularan akan semakin baik. Penolakan serta keterlambatan penanganan kasus juga bisa diatasi.
”Seluruh aparat desa mulai dari RT/RW juga perlu mendapatkan informasi yang utuh terkait penanganan Covid-19. Protokol kesehatan sudah ada, tetapi belum tersampaikan dengan baik. Jadi, upaya pencegahan yang berjalan pun tidak lagi 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), tetapi 3M TS atau 3M tanpa stigma,” katanya.