Stigma sosial terkait Covid-19 masih terjadi meski pandemi telah berlangsung lebih dari tujuh bulan. Situasi itu menghambat pemeriksaan, pelacakan, dan penanganan pasien penyakit yang disebabkan virus korona baru itu.
Oleh
AHMAD ARIF/ DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Stigma terkait Covid-19 terjadi di Indonesia sejak kasus pertama terdeteksi awal Maret 2020, bahkan meluas. Itu disebabkan belum terbangunnya komunikasi terpercaya, dan lemahnya edukasi ke publik. Padahal, selain menjadi masalah sosial yang memicu kecemasan dan depresi, stigmatisasi mempersulit upaya memutus rantai penularan.
Stigma di masyarakat beragam, mulai dari prasangka buruk, dijauhi lingkungan sekitar, hingga diusir dari tempat tinggal. Albert Ade, penyintas Covid-19, menuturkan, saat ia positif terkena Covid-19, sejumlah warga di lingkungan sekitar khawatir tertular, dan menjauhinya.
Sementara itu, Putri Oktaviani, penyintas Covid-19, mengungkapkan, tetangganya yang juga menderita Covid-19 mengalami stigma sosial dari lingkungan sekitar. Tetangganya menjadi buah bibir dan dijauhi lingkungan sekitar antara lain jaga jarak jika melintasi depan rumah warga yang terkena Covid-19.
Sejauh ini korban stigma sosial terkait Covid-19 mulai dari orang diduga terinfeksi, pasien terkonfirmasi, tenaga kesehatan, hingga keluarga mereka. "Banyak orang menolak diperiksa dan tak mau terbuka karena takut stigma. Covid-19 dianggap sebagai aib," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Akmal Taher, di Jakarta, Minggu (11/10/2020).
Munculnya stigma terkait Covid-19 menunjukkan buruknya literasi kesehatan, yang terjadi sejak lama. "Stigma terhadap HIV/AIDS, kusta, dan penyakit menular lain merupakan masalah lama di Indonesia," ujarnya. Di negara lain seperti Thailand, masalah stigma ditangani dengan serius sejak sebelum pandemi.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menilai, stigma itu lebih karena khawatir dan takut terhadap penderita. "Seharusnya bisa dicegah jika penanganan di awal optimal,” katanya.
Sebagian orang takut membuka status positif Covid-19 karena enggan dijauhi lingkungannya. Itu menghambat pemeriksaan, pelacakan, dan penanganan pasien. Situasi makin berbahaya jika ada orang dengan penyakit penyerta tinggal bersama.
Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dan inisiator Laporcovid-19 mengatakan, stigma terkait Covid-19 diperparah ketidakjelasan penanganan pasien, termasuk keterlambatan pemeriksaan dan respons layanan kesehatan terdekat. Timnya menerima banyak keluhan. Salah satunya, anak-anak kos di Depok, Jawa Barat, diusir karena positif Covid-19, sedangkan puskesmas tak membantu pencarian lokasi isolasi dan perawatan.
Bermacam stigma
Hasil survei Laporcovid-19 bersama Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi UI menunjukkan, mereka yang pernah dan sedang terpapar Covid-19 mengalami stigma. Adapun stigma yang dialami meliputi menjadi buah bibir 55,25 persen, dijauhi 33,15 persen, dijuluki penyebar virus 24,86 persen, dan dirundung di media sosial 9,39 persen.
Selain itu ada juga yang ditolak saat memakai fasilitas umum 4,42 persen, dibiarkan tak mendapat bantuan 4,42 persen, diusir dari tempat tinggal 3,31 persen, dan diberhentikan dari tempat kerja 0,5 persen.
Dicky Pelupessy, tim peneliti yang juga dosen Fakultas Psikologi UI mengatakan, survei daring pada Agustus 2020 itu diikuti 181 responden. Responden dari kalangan tenaga kesehatan 56,35 persen, dan lainnya bekerja sebagai guru, pekerja harian, buruh, pelajar, TNI/Polri, dan lain-lain.
Stigma ini dialami penyintas terutama sejak ditetapkan sebagai pasien Covid-19 mencapai 39,78 persen, saat menjadi suspek 26,52 persen, saat memeriksakan ke fasilitas kesehatan 12,71 persen, setelah sembuh 12,71 persen, dan mendapat perawatan 8,9 persen.
Menurut Dicky, implikasi stigma bagi pasien ini tergolong serius. Sebanyak 66,3 persen mengalami gangguan depresi kategori rendah, dan 33,7 persen depresi kategori tinggi. Dampaknya, 78,4 persen mengalami gangguan kecemasan kategori rendah dan 21,5 mengalami kecemasan skala tinggi.
Mereka terkategori depresi berat, yakni mengalami 9 dari 12 gejala, di antaranya tak bisa konsentrasi, sulit tidur, sulit membuat keputusan, merasa di bawah tekanan, hilang kepercayaan diri, hingga merasa tak bahagia.
Adapun depresi kategori sedang mengalami 4-8 gejala. "Ini berpengaruh jangka panjang bagi korban dan mengganggu produktivitas. Apalagi banyak yang mengalami stigma meski dinyatakan sembuh," katanya.
Tenaga kesehatan
Di kalangan tenaga kesehatan, stigma menjadi masalah amat serius. Herni Susanti, dosen keperawatan jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan UI berpendapat, stigma terhadap perawat dan keluarganya memicu kecemasan dan depresi. Bahkan, ada yang berpikir untuk mengakhiri hidup.
Survei terhadap 1.172 perawat menunjukkan, semua responden mengalami stigmatisasi, 26 persennya mengalami stigma tinggi dan 74 persen merasakan stigma rendah. ”Stigmatisasi yang mereka alami amat berat, di tengah tekanan pekerjaan meningkat,” ujarnya.
Berbagai bentuk stigma yang dialami antara lain, warga sekitar menghindar saat melihat perawat, diusir dari tempat tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga mereka dikucilkan, dilarang menikahi mereka, hingga ancaman diceraikan suami atau istri.
Herni menjelaskan, berdasarkan studi lanjutan dengan pendekatan kualitatif, ditemukan pergeseran bentuk stigma ke perawat. "Pengusiran berkurang, mungkin karena perawat membatasi diri saat berinteraksi dengan lingkungan. Namun, stigma di masyarakat meluas, karena kasus meningkat," katanya.
Psikolog anak dan keluarga, Mira Amir menyampaikan, stigma di masyarakat disebabkan informasi yang diterima terbatas. Itu diperburuk dengan distorsi informasi di media sosial. “Penyampaian informasi yang kurang bisa diterima bisa jadi penyebabnyak,” tuturnya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan menilai, pemahaman warga yang salah terkait konsep sakit dan sehat perlu jadi perhatian. Kondisi sehat harus dipelihara, dan kondisi sakit mesti segera ditangani, bukan dihindari. Stigma makin berat dialami pasien karena sistem pelayanan kesehatan belum optimal.