Masker Kain Hasilkan Partikel Tak Kasatmata, Rajinlah Mencucinya!
Menurut sebuah studi, masker kain melepaskan partikel tak kasatmata berupa serat katun saat dipakai. Para ahli menyarankan agar publik rutin mencuci maskernya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah studi yang dilakukan tim peneliti dari University of California, Amerika Serikat, mengungkap bahwa masker kain dapat menghasilkan partikel tak kasatmata berupa serat katun berukuran mikron. Belum ada penelitian tentang dampaknya terhadap transmisi virus korona baru. Namun, ahli menyarankan agar publik rutin mencuci masker sehabis digunakan.
Selain University of California, Icahn School of Medicine at Mount Sinai di New York juga terlibat dalam studi ini. Peneliti mencari tahu efektivitas masker dalam menahan transmisi yang dikeluarkan pengguna masker. Hasil studi dipublikasi secara daring di ScientificReportpada Kamis (24/9/2020).
Peneliti mengobservasi sepuluh relawan berusia 18-45 tahun. Mereka diminta bernapas, berbicara, batuk, dan menggerakkan rahang seperti mengunyah permen karet di depan sebuah corong. Corong dihubungkan dengan laminar air flow atau kotak kerja steril.
Pengujian dilakukan dengan dan tanpa masker. Masker yang digunakan adalah masker kain berlapis tunggal, kain berlapis ganda, kertas tisu, masker medis, dan N95.
Hasilnya, masker dari kain dan kertas tisu dapat mengeluarkan banyak partikel berukuran mikron ke udara saat penggunanya bernapas, bicara, dan batuk. Hal serupa tidak tampak ketika pengguna memakai masker medis dan N95.
Masker medis dan N95 dapat menekan emisi yang keluar dari hidung dan mulut masing-masing sebesar 90 persen dan 74 persen. Ini jika dibandingkan dengan kondisi tanpa masker. Pelindung wajah pun dapat mencegah partikel airborne.
Masker-masker kain yang diproduksi dari pabrik masih baru dan belum dicuci. Kami berhipotesis bahwa mungkin mencuci masker bisa menghilangkan debu di permukaan.
Belum ada penelitian yang menghubungkan partikel itu dengan penyebaran Covid-19. Namun, sebuah penelitian pada tahun 1940 menyebut bahwa seseorang bisa terinfeksi influenza dari debu selimut yang terpapar virus, kemudian terbang di udara.
”Masker-masker kain yang diproduksi dari pabrik masih baru dan belum dicuci. Kami berhipotesis bahwa mungkin mencuci masker bisa menghilangkan debu di permukaan (masker),” kata Sima Asadi, salah stau penulis dalam studi ini.
Ia menambahkan, eksperimen mereka sesungguhnya tidak menguatkan hipotesis itu. Itu karena emisi yang keluar dari masker yang belum dicuci dan sudah dicuci tidak jauh berbeda. Namun, para peneliti tetap menyarankan publik mencuci masker kain sebagai pencegahan.
Juru Bicara Infectious Diseases Society of America Ravina Kulllar mengatakan, studi tersebut tidak menunjukkan ada partikel menular yang dikeluarkan dari masker. ”Jadi, belum jelas apa artinya ini dari sudut pandang penyakit menular,” ucapnya kepada WebMD.
Adapun peneliti senior di studi ini, William Ristenpart, meminta publik tetap menggunakan masker. Katanya, studi ini tidak boleh dijadikan argumen untuk pergi ke ruang publik tanpa masker.
Bahan masker menentukan
Menurut studi berjudul ”Low-cost Measurement of Facemask Efficacy for Filtering Expelled Droplets During Speech” oleh Duke University di AS, efektivitas masker tergantung oleh bahan yang digunakan. Selain itu, kepatuhan pengguna dalam mengenakan masker dan ketepatan pemakaian juga menentukan.
Ada 14 masker yang dibandingkan satu sama lain untuk menahan percikan (droplet) dan aerosol. Masker itu adalah masker bedah tiga lapis, masker N95, masker N95 dengan katup pernapasan, masker rajut, masker katun-propilena, masker Maxima AT satu lapis, masker katun satu lapis, neck fleece, bandana, dan beragam jenis masker katun dua lapis. Peneliti juga menguji sebaran droplet dari orang yang tidak mengenakan masker.
Hasilnya, masker N95 paling efektif menahan transmisi percikan dari hidung dan mulut dengan skor 0 persen. Semakin mendekati 0 skornya, semakin baik pula efektivitasnya.
Adapun skor untuk masker medis tiga lapis adalah 0-0,1 persen. Skor untuk masker katun-propilena, katun, dan N95 dengan katup pernapasan berkisar 0-0,2 persen. Adapun skor masker rajut ialah 0,1-0,6 persen.
Dari seluruh masker yang diuji, bandana dan neck fleece berada di peringkat akhir. Skor efektivitas masker dari bandana adalah 0,2-1,2 persen, sementara neck fleece 0,6 persen hingga lebih dari 1,2 persen. Efektivitas neck fleece terburuk dibandingkan semua masker. Pengaruh neck fleece lebih kurang sama dengan tidak mengenakan masker sama sekali.
Kementerian Kesehatan Indonesia meminta masyarakat agar tidak lagi menggunakan masker scuba dan buff (atau neck fleece). PT Kereta Commuter Indonesia juga melarang penumpang bermasker scuba dan buff. Alasannya karena masker itu tidak memberikan perlindungan maksimal dari Covid-19.
Selanjutnya, Badan Standardisasi Nasional menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk masker kain. Masker kain yang sesuai standar minimal memiliki dua lapis kain dan dapat dicuci berulang kali.